Teori
dramaturgis menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan
merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang
mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi
dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai
interaksi tersebut (Littlejohn,1996).
Dalam teori
dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia
adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan
tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”.
Dalam
mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan
mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor
drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan
ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan
tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan
yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.
Oleh
Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah
“impression management”. Goffman
juga melihat bahwa ada perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas
panggung (“front stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama
kehidupan.
Kondisi
akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita
sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan
peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari perilaku kita.
Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang bertujuan untuk
membuat drama yang berhasil.
Sedangkan
back stage adalah keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan
kondisi bahwa tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa
mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya,
seorang ayam kampus senantiasa berpenampilan serta bersikap layaknya mahasiswi.
Tetapi, saat akan melakukan aksi menjual diri, sang ayam kampus bisa bersikap
lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap
mesra/intim untuk melepaskan segala hasrat kepada calon pelanggannya.
Saat sang
ayam kampus berada di depan publik, merupakan saat penampilan normal baginya
(saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menjaga identitas dia sebagai
seorang mahasiswa normal sehingga tidak dicurigai oleh masyarakat secara umum
dan menghindari pelanggaran norma-norma yang berlaku. Oleh karenanya, perilaku
sang ayam kampus juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh
masyarakat/publik. Saat sang ayam kampus
menjajakan dirinya, dia bebas untuk
mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya,
skenario yang disiapkan oleh sang ayam kampus adalah bagaimana sang ayam kampus
tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya.
Sebelum
berinteraksi dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya
dulu, atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan
apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran
yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi
yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung
pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian
masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan.
Masyarakat
yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan panggung-panggung
sendiri yang membuatnya bisa tampil sebagai komunitas yang bisa bertahan hidup
dengan keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan,
menciptakan panggung-panggung sendiri melalui interaksinya, yang terkadang
justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan
masyarakat melalui konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara
alamiah dan berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka.
Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu berlangsungnya.
Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan peran ini, terutama aspek
sosial psikologis yang melingkupinya.
Dramarturgi
hanya dapat berlaku di institusi total. Institusi total maksudnya adalah
institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau
keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut,
dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat tergantung
kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya.
Ciri-ciri
institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki
hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah
asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp
konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi
(termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan
lainnya.
Dramaturgi
dianggap dapat berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian
tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam
institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk
diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan.
Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum
diaplikasikan. Teori ini juga dianggap
tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang
seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan
peran individual menimbulkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan.
Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan.
Dramaturgis
dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini menyatakan
adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan adalah
pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat
dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak patut. Dramaturgis dianggap
masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia
sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran
tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk
memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif,
berlaku natural, mengikuti alur.
Tags
Filsafat