Suatu perjanjian harus mengikuti syarat
sahnya perjanjian untuk memperkuat kedudukan perjanjian tersebut. Menurut Pasal
1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu:
- Adanya kata sepakat
- Kecakapan untuk membuat perjanjian
- Adanya suatu hal tertentu
- Adanya causa yang halal.
Syarat
pertama dan kedua adalah syarat yang hams dipenuhi oleh subyek suat perjanjian,
oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat
adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut
syarat obyektif.
Adapun
penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:
Kata sepakat
Kata
sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau
kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak
pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan
kehendak tersebut saling bertemu.
Menurut
Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara
dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh
pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara
timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya
"sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun
sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian
itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang- undang
bagi mereka yang membuatnya.
J.
Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang
di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan.
Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya
hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu
perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang
lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.
Di dalam
KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal
1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau
penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara
masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan,
kekhilafan dan penipuan.
Menurut
Soebekti, yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa
(psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi
apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang
diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi
objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya
orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan
persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat
unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu
perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka
perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu
pihak.
Cakap untuk membuat perjanjian
(bertindak)
Dalam
Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain
yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian.
Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata
menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:
- Orang yang belum dewasa
- Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian
- Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai
orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa
"belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh
satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu
dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak
kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Namun
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan
40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau
telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk
kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun
tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan
demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus
(telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua
puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.
Mengenai
pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345, bunyinya sebagai
berikut:
Pasal 433
Setiap orang dewasa, yang selalu berada
dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawa
pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirnya. Seorang
dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.
Pasal 345
Apabila salah satu dari kedua orang tua
meninggal dunia maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi
hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah
dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.
Selanjutnya
untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh
undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUH Perdata
disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu
perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun
hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Soebekti
menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu
perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup
kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya
dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang
yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka
orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat
dengan harta kekayaannya.
Adanya suatu hal tertentu
Yang
dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek
perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan
suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Di dalam
KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus
mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling
sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan
di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang
dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang
tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan
bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah
dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi
perjanjian.
Pada
Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal
adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang
tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.
Pembebanan
mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya berkenaan
dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak
terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan
perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud
adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan
perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang
yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia
sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah
pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta
kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif
tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu
perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan
hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak
terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.
Tags
Hukum