Sejarah
perkembangan fenomenologis dalam dunia filsafat sudah dikenal oleh
filsup-filsup sejak dahulu kala. Secara etimologis, fenomenologi berasal dari
kata Yunani, phainomenon yang merujuk pada arti “yang menampak”. Fenomena
adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga,
suatu objek ada dalam relasi kesadaran.
Dewasa
ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir
yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan
penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.
Fenomenologi
sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di
universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund
Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya,
seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar
fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus
eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia mahluk sadar atau jalan
kehidupan subjek-subjek sadar (Engkus Kuswarno, 2009:3).
Fenomenologin
tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad ke-20. Abad ke-18 menjadi awal
digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan yang
menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara
inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert. Sesudah
itu, filosof Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi
dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi
untuk psikologi deskriptif, dimana menjadi awalnya Edmund Husserl mengambil
istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai “kesengajaan”.
Sebelum
abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang saling
bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari
penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang
terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah
pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah
bahan-bahan yang diterima oleh panca indera.
Sedangkan
di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan
timbul dari kekuatan pikiran manusia
atau rasio. Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi
syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai
pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh
oleh rasio. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang
benar sebab akal dapat menurunkan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri.
Dari dua
pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani
keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau
fenomena. Sedangkan fenomena sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang tampak dengan
sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep
dari objek. Sejak pemikiran tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal
pembahasan para filsafat pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana
sebuah pengetahuan dibangun.
Fenomenologi
bagi Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi
membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-tipe aktivitas mental
subjektif, pengalaman, dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut
masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model
kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat
radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar pengetahuan dan
pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik
yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena
tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat
dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang
tampak namun berusaha menggali makna di balik setiap gejala tersebut.
Pada
tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada
tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara,
intersubjektivitas, kesengajaan praktis, dan konteks sosial dari tindakan
manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal
ini.
Saat ini
fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki
metode dan dasar filsafat yang komrehensif dan mandiri. Fenomenologi juga
dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang
mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran yang
dinamakan dengan “kesengajaan” oleh Husserl. Struktur kesadaran dalam
pengelaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari
penampakkannya.
Tags
Filsafat