Pengertian penyitaan berasal dari terminologi
Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa indonesia “beslag” namun istilah
bakunya ialah kata sita atau penyitaan.
Beberapa
pengertian penyitaan yaitu:
- Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama paksa berada ke dalam keadaan penjagaan.
- Tindakan paksa penjagaan (custody) itu ditahukan secara resmi (official) berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim.
- Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut.
Dengan mempertahankan pengertian tersebut,
dapat dikemukakan beberapa esensi fundamental sebagai landasan penerapan
penyitaan yang perlu diperhatikan.
Sita merupakan tindakan
hukum eksepsional
Sita merupakan tindakan hukum yang diambil
pengadilan mendahului pemeriksaan pokok perkara atau mendahului putusan. Sering
sita itu dilakukan pada saat proses pemeriksaan perkara sedang berjalan.
Dalam penyitaan ini seolah-olah pengadilan
telah menghukum tergugat lebih dulu. Sebelum pengadilan sendiri menjatuhkan
putusan. Bila kita analisis, penyitaan membenarkan putusan yang belum
dijatuhkan. Tegasnya, sebelum pengadilan menyatakan pihak tergugat bersalah
berdasarkan putusan. Tergugat sudah dijatuhi hukuman berupa penyitaan harta
sengketa atau harta kekayaan tergugat.
Itu sebabnya, tindakan penyitaan merupakan
tindakan hukum yang sangat ekspensional. Pengabulan penyitaan merupakan tindakan
hukum pengecualian, yang penerapannya mesti dilakukan pengadilan dengan segala
pertimbangan yang hati-hati sekali. Tidak boleh diterapkan secara serampangan
tanpa alasan yang kuat, yang tidak didukung oleh fakta yang mendasar.
Jangan sampai terjadi sita telah diletakkan
atas harta kekayaan tergugat, tetapi gugatan ternyata ditolak oleh pengadilan.
Kebijakan mengabulkan sita jaminan, sejak semula sebaiknya sudah dilandasi oleh
bukti-bukti yang kuat tentang akan dikabulkan gugatan penggugat.
Oleh karena penjatuhan sita seolah-olah
merupakan pernyataan kesalahan tergugat sebelum putusan dijatuhkan, dengan
sendirinya tindakan penyitaan menimbulkan berbagai dampak yang harus dipikul
tergugat. Antara lain dari segi kejiwaan. Dengan adanya penyitaan tentunya telah
menempatkan tergugat dalam suasana dalam posisi keresahan dan kehilangan harga
diri. Karena di dalam proses persidangan berlangsung, sedang putusan yang akan
dijatuhkan belum tentu akan menghukum dan menyalahkan tergugat, namun dengan
adanya penyitaan, kepercayaan masyarakat terhadap tergugat sudah mulai hilang
dan luntur. Dapat kita simpulkan bahwa pengadilan berdampak psikologis.
Dengan memperhatikan akibat-akibat negatif
seperti ini, para hakim harus dituntut untuk teliti di dalam menjalankan
permohonan sita. Hakim harus menyadari bahwa situ atau penyitaan adalah
bergerak dapat sangat eksepsional, sita memaksakan kebenaran gugatan, dimana
sebelum putusan dijatuhkan kepada tergugat atau sebelum putusan untuk
menghukumnya belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi tergugat telah
dihukum dan dinyatakan bersalah dengan jalan menyita harta kekayaannya.
Sita sebagai tindakan
perampasan
Pada hakikatnya penyitaan merupakan perintah
perampasan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat. Perintah
perampasan itu, dilakukan pengadilan dalam surat penetapan berdasarkan
permohonan tergugat.
Perampasan harta tergugat tersebut adakalanya:
Bersifat permanen
Penyitaan
bisa bersifat permanen, apabila penyitaan kelak dilanjutkan dengan perintah
penyerahan kepada Penggugat berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap, atau apabila penyitaan dilanjutkan kelak dengan penjualan lelang untuk
melunasi pembayaran hutang tergugat kepada penggugat.
Bersifat Temporer
(Sementara)
Penyitaan
yang dilakukan atas harta sengketa atau harta kekayaan tergugat dapat
dinyatakan bersifat temporer apabila hakim memerintahkan pengangkatan sita.
Perintah
pengangkatan sita jaminan yang seperti ini terjadi berdasarkan surat penetapan
pada saat proses persidangan mulai berlangsung, dan bisa juga dilakukan hakim
sekaligus pada saat menjatuhkan putusan, apabila gugatan penggugat ditolak.
Berbicara mengenai makna penyitaan sebagai
tindakan perampasan berdasarkan perintah hakim, makna perampasan dalam
penyitaan jangan diartikan secara sempit dan bersifat mutlak. Mengartikan
secara sempit dan mutlak, bisa menimbulkan penyalahgunaan lembaga sita jaminan.
Penyalahgunaan itu terus terjadi dalam
praktek sebagai akibat dari kelemahan menafsirkan arti sita jaminan sebagai
perampasan yang mutlak. Tidak demikian halnya bahwa sita atau penyitaan sebagai
tindakan-tindakan perampasan harta sengketa atau harta kekayaan tergugat bukan
bersifat mutlak terlepas dari hak dan penguasaan serta pengusahaan barang yang
disita dari tangan tergugat.
Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan
penafsiran maupun penyalahgunaan, perlu diketahui acuan yang tepat dan
proposional memberlakukan barang sitaan.
Acuan
yang mesti dipedomani terhadap perlakuan barang sitaan terutama bagi hakim
adalah:
- Sita semata-mata hanya sebagai jaminan. Istilah, maksud dan esensi jaminan, harta yang disita ditunjukkan untuk menjamin gugatan tergugat, agar gugatan itu tidak ilusioner.
- Hak atas benda sitaan tetap dimiliki tergugat. Sekalipun barang yang disita dirampas atas perintah hakim, hak milik atas barang tersebut masih tetap berada di tangan tergugat sampai putusan dieksekusi. Keliru sekali anggapan sementara pihak- pihak maupun hakim, yang berpendapat sita bersifat melepaskan hak milik tergugat atas barang yang disita sejak tanggal berita acara sita diperbuat.
- Penguasaan benda sitaan tetap dipegang tergugat. Sejalan dengan acuan yang menegaskan hak milik atas benda sitaan tidak tanggal dari kekuasaan tergugat, maka penguasaan atas benda sitaan tetap berada ditangan tergugat. Salah besar praktek hukum yang mengabsahkan pelimpahan benda sitaan berpindah ke tangan pengugat. Penerapan dan praktek hukum yang seperti itu, jelas bertentangan Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg.
Pada pasal tersebut secara tegas ditentukan
bahwa juru sita atau penyita meninggalkan barang yang disita dalam keadaan
semula ditempat dimana barang itu disita. Dan si tersita disuruh untuk
menyimpan atau menjaganya. Sekalipun untuk membawa dan menyimpan sebagian
barang di tempat penyimpanan yang dianggap patut, penjagaan, dan penguasaan hak
miliknya tetap ditangan si tersita, Cuma hal itu diberitahukan kepada polisi
agar barang tersebut tidak dilarikan orang.
Demikian kira-kira ringkasan yang tersimpul
pada Pasal 197 ayat 9 HIR atau Pasal 212 Rbg. Pasal ini adalah memberi
kewenangan kepada hakim atau juru sita untuk menyerahkan penjagaan, penguasaan,
dan pengusahaan barang yang disita di tangan penggugat atau dibawah penjagaan
pengadilan.
Penyitaan berdampak
psikologis
Salah
satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai dampak psikologis sita.
Dari segi pelaksanaannya, penyitaan sifatnya terbuka yang umum, seperti:
- Pelaksanaannya secara fisik dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat sekitarnya.
- Secara resmi disaksikan oleh dua orang saksi maupun oleh kepala desa, namun bisa pula di tonton oleh masyarakat luas.
- Administratif Justisial, penyitaan barang tertentu harus diumumkan dalam buku register kantor yang bersangkutan yang sesuai dengan asas publisitas.
Berdasarkan hal-hal tersebut, penyitaan
berdampak terdapat psikologis yang sangat merugikan nama baik atau kredibilitas
seseorang baik sebagai pribadi, apalagi sebagai pelaku bisnis. Tindakan
penyitaan meruntuhkan kepercayaan orang atas bonafilitas korporasi dan bisnis
yang dijalankan. Pengaruh buruk penyitaan dari segi psikologis bukan hanya
ditanggung dan menimpa diri pribadi dan bisnis tersita, tetapi berdampak luas
kepada keluarga dalam pergaulan sosial.
Tags
Hukum