Pendidikan sebagai sistem merupakan salah
satu sudut pandang terhadap dunia pendidikan. Pendidikan adalah upaya sadar
untuk memfasilitasi perkembangan dan peningkatan potensi peserta didik. Inti
pendidikan adalah kegiatan pembelajaran. Dengan demikian layanan pendidikan
adalah penyediaan berbagai sumber daya yang dibutuhkan untuk mendukung
terkondisikannya proses pembelajaran yang baik atau bermutu.
Cara yang paling tepat untuk memahami kinerja
sebuah organisasi adalah dengan melihatnya sebagai suatu sistem. Keberadaan
serangkaian elemen di dalam sistem tersebut bersifat saling berhubungan dan
berfungsi sebagai sebuah unit untuk mencapai suatu tujuan (Lunenburg dan
Ornstein, 2000).
Pendidikan di sekolah sebagai sistem
merupakan suatu keseluruhan yang utuh dan mencakup subsistem-subsistem yang
saling berhubungan, saling terkait, dan saling mempengaruhi antara satu dengan
yang lainnya dalam mencapai tujuan pendidikan (Nurochim, 2008).
Komponen-komponen sistem pendidikan di
sekolah meliputi kurikulum dan pembelajaran, organisasi dan kelembagaan,
manajemen dan administrasi, keteganaan, peserta didik, pembiayaan, sarana dan
prasarana, peranserta masyarakat dan iklim/budaya sekolah. Kesembilan komponen
atau subsistem tersebut satu sama lain tidak dapat dipisahkan, melainkan saling
terkait, saling tergantung dan saling mempengaruhi. Organisasi sekolah akan
dapat berdiri tegak apabila komponen-komponen tersebut berfungsi dan berproses
dengan baik.
Sejalan dengan itu, masyarakat semakin cerdas
dalam memilih lembaga pendidikan. Mereka dapat membedakan antara sekolah yang
bermutu tinggi dan kurang bermutu. Tuntutan peningkatan mutu suatu produk atau
layanan jasa termasuk pendidikan oleh pelanggan terus berkembang dan meningkat
dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah dituntut
untuk memenuhi bahkan melebihi kebutuhan atau keinginan pelanggannya.
Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan
tidak boleh dilakukan asal-asalan dan statis tanpa semangat perbaikan
berkesinambungan. Sekolah berkewajiban melibatkan secara total semua komponen
sekolah, mengadakan pengukuran dan evaluasi diri terhadap kemajuan lembaganya,
dan melakukan perbaikan mutu pendidikan secara berkesinambungan.
Antara proses dan hasil pendidikan yang
bermutu saling berhubungan. Agar proses itu tidak salah arah maka mutu dalam
artian hasil (ouput) harus dirumuskan terlebih dahulu oleh sekolah, dan harus
jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya
(Umaedi, 2003). Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu hasil
(output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain, tanggung jawab sekolah dalam
school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi juga pada
hasil yang dicapai.
Dalam konteks sistem pendidikan, komponen
input di antaranya diwakili oleh siswa, guru, kepala sekolah, fasilitas, media,
dan sarana prasarana. Proses diwakili pengajaran, pelatihan, pembimbingan,
evaluasi dan pengelolaan.
Sementara output meliputi pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Sehubungan dengan komponen-komponen pembentuk sistem
pendidikan, Sukmadinata, dkk (2006), mengemukakan bahwa komponen input
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) raw input, yaitu siswa yang meliputi
intelek, fisik-kesehatan, sosial-afektif dan peer group; (2) instrumental
input, meliputi kebijakan pendidikan, program pendidikan (kurikulum), personil
(kepala sekolah, guru, staf TU), sarana, fasilitas, media, dan biaya; dan (3)
environmental input, meliputi lingkungan sekolah, lingkungan keluarga,
masyarakat, dan lembaga sosial, unit kerja.
Komponen proses menurut Sukmadinata, dkk
(2006), meliputi pengajaran, pelatihan, pembimbingan, evaluasi, ekstrakulikuler,
dan pengelolaan. Selanjutnya komponen output meliputi pengetahuan, kepribadian dan
performansi.
Syafaruddin dan Nasution (2005) mengemukakan
bahwa: ”proses suatu sistem dimulai dari input (masukan) kemudian diproses
dengan berbagai ativitas dengan menggunakan teknik dan prosedur, dan
selanjutnya menghasilkan output (keluaran), yang akan dipakai oleh masyarakat lingkungannya.”
Dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran
yang berkualitas, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai penjabaran lebih lanjut dari Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalamnya memuat tentang standar proses.
Dijelaskan dalam Bab I Ketentuan Umum SNP, bahwa yang dimaksud dengan standar
proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
Bab IV Pasal 19 Ayat 1 SNP lebih jelas
menerangkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemampuan sesuai bakat, minat dan perkembangan fisik
dan psikologis peserta didik.
Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai
oleh sekolah, terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau kognitif,
dapat dilakukan benchmarking, menggunakan titik acuan standar, misalnya: NEM
oleh PKG atau MGMP.
Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan
pada setiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmark) maupun yang lain
(kegiatan ekstrakurikuler), dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi
diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun
berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu
yang ingin dicapai dan skenario cara pencapaiannya.
Tags
Psikologi Pendidikan