Partisipasi angkatan kerja wanita di
negara-negara dunia ketiga telah meningkat secara dramastis pada tahun 1990 di
mana untuk negara-negara Asia meningkat sampai 4,3%. Tetapi kebanyakan kaum
wanita tersebut hanya bekerja di tempat-tempat yang tidak banyak menghasilkan
pendapatan, mereka terpusat di sektor pertanian sebanyak 80% atau sektor-sektor
informal perkotaan 25 hingga 40%. Kaum wanita hampir selalu mengalami
diskriminasi dalam hal perolehan imbalan dan peningkatan dalam pekerjaan
(Todaro, 2000).
Di sejumlah kawasan di dunia ini, wanita
banyak terlibat dalam arus imigrasi desa kota, mayoritas penduduk di banyak
perkotaan terdiri dari kaum wanita. Meskipun secara historis perpindahan kaum
wanita selalu dalam rangka mengiringi sang suami. Tetapi akhir-akhir ini banyak
wanita yang merantau sendirian ke kotakota meninggalkan keluarganya di kampung
dalam rangka mencari peluang-peluang ekonomi guna meningkatkan status dan taraf
hidupnya.
Seperti halnya di negara berkembang lainnya,
Indonesia mengalami tekanan berat dari pertambahan jumlah angkatan kerja yang
terus meningkat setiap tahunnya, penyediaan lapangan usaha bagi mereka
merupakan masalah nasional yang paling rumit dalam situasi perekonomian yang
tidak terlalu cerah seperti sekarang, sebagai akibat belum pulihnya resesi
ekonomi. Penyediaan lapangan usaha bagi wanita memerlukan pertimbangan khusus
mengingat adanya hambatan norma budaya atau agama sehingga tidak setiap
lapangan usaha cocok untuk mereka. Wanita di Indonesia boleh dikatakan sangat
beruntung dibandingkan dengan di Negara lainnya.
Wanita di Indonesia berpeluang sama besarnya
dengan laki-laki dalam memasuki lapangan kerja. Di beberapa negara lain seperti
wanita-wanita Hindu dan Arab wanita kurang mendapat tempat dalam kegiatan
ekonomi di perkotaan. Wanitawanita Hindu dan Arab bukan saja tidak hadir
sebagai penjual di pasar-pasar, mereka juga minoritas sebagai pembeli, karena
prialah yang berbelanja makanan maupun pakaian. Kenyataan ini sangat berbeda
dengan keadaan di Indonesia, di mana kegiatan perdagangan menurut hasil
beberapa penelitian justru didominasi oleh kaum wanita.
Wanita merupakan sumber daya ekonomi yang
tidak kalah penting dibandingkan dengan pria, wanita sesungguhnya memegang
fungsi yang sangat penting dalam keluarga. Keberadaan wanita dalam rumah tangga
bukan sekedar pelengkap reproduksi saja, namun lebih daripada itu banyak
penelitian membuktikan bahwa wanita ternyata seringkali memberikan sumbangan
yang besar bagi kelangsungan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga serta
masyarakat.
Tingkat partisipasi kerja wanita pada umumnya
memang masih rendah bila dibandingkan dengan pria. Di mana jumlah tenaga kerja
perempuan yang terlibat dalam pasar kerja hanya sekitar separuh dari jumlah
pria (Suyanto, 2006). Tetapi keberadaan wanita yang secara absolut lebih besar
dari pada penduduk laki-laki, wanita merupakan potensi yang harus dimanfaatkan
untuk menunjang kelancaran proses pembangunan. Pemberdayaan wanita harus
dilakukan sesegera mungkin agar wanita dapat mengisi kegiatan pembangunan
sehingga anggapan bahwa wanita itu hanya menjadi beban pembangunan bisa
dihilangkan.
Walaupun kaum wanita banyak terlibat dalam
berbagai kegiatan ekonomi, mereka cenderung hanya menggeluti usaha sangat kecil
atau sambilan sebagai bagian dari strategi kelangsungan hidup keluarganya.
Dalam konteks ini, kebutuhan mereka akan kredit baik untuk modal kerja maupun
untuk modal investasi sukar terpenuhi. Mereka dihadapkan pada kendala tidak
memiliki jaminan, mengingat sebahagian besar status pemilikan tanah atas nama
sang suami, sekalipun tanah tersebut dimiliki secara bersama-sama.
Sekalipun partisipasi wanita dalam pasar
kerja meningkat secara signifikan, diskriminasi terhadap wanita pekerja tetap
menjadi masalah besar. Sebagian dari perbedaan tingkat upah antara wanita dan
laki-laki hanya diterangkan oleh diskriminasi seksual (ILO, 2003). Diskriminasi
itu sering tercermin dalam perlakuan dan persyaratan bekerja yang berbeda,
lebih banyak wanita dari laki-laki yang dipekerjakan secara paruh waktu dengan
atau tanpa kontrak untuk waktu terbatas atau sebagai pekerja borongan. Hubungan
kerja demikian sangat merugikan para pekerja, mereka umumnya dibayar upah
secara harian tanpa tunjangan dan kepastian.
Pada pihak lain tingkat upah perempuan
pekerja tetap lebih rendah dibandingkan dengan tingkat upah pria pekerja dan
peningkatan partisipasi wanita dalam berbagai kegiatan ekonomi belum diikuti
dengan integrasi kebutuhan serta masalah wanita yang lebih efektif dalam proses
pengambilan keputusan. Sebagian besar wanita pekerja berada dalam sektor non
formal. Hasil pembangunan yang dinikmati wanita masih terbatas oleh karena
rendahnya kualitas sumber daya manusia yang mereka miliki. Kemungkinan wanita
memperoleh pendidikan dan pelatihan masih lebih terbatas jika dibandingkan
dengan saudara laki-lakinya.
Tags
HRD