Sejak bergulirnya kurikulum 1994, konsep pembelajaran
tematik atau disebut juga pendekatan terpadu sudah mulai direkomendasikan
penerapannya terutama dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris di
jenjang pendidikan Sekalah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Tetapi, di Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) pendekatan tersebut
bukan hanya yang terkait dengan bahasa, tetapi juga dengan bidang studi lain.
Penekanan penggunaan pendekatan tersebut muncul kembali pada Kurikulum 2004 dan
akhirnya menjadi ketetapan dalam Standar Isi yang harus diterapkan terutama
dalam pembelajaran di kelas rendah (kelas I s.d III) Sekolah Dasar.
Penetapan pendekatan tematik dalam
pembelajaran di kelas rendah oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) ini
tidak lepas dari perkembangan akan konsep dari pendekatan terpadu itu sendiri.
Menilik perkembangan konsep pendekatan terpadu di Indonesia, pada saat ini
model pembelajaran yang dipelajari dan berkembang adalah model pembelajaran
terpadu yang dikemukakan oleh Fogarty (1990). Model pembelajaran terpadu yang
dikemukakan oleh Fogarty ini berawal dari konsep pendekatan interdisipliner
yang dikembangkan oleh Jacob (1989).
Dalam bukunya, Interdisciplinary Curriculum:
Design and Implementation, Jacob (1989) menjelaskan bahwa tumbuh-kembangnya
minat dan kebutuhan atas kurikulum terpadu (integrative curriculum) dipicu oleh
sejumlah hal berikut ini.
Perkembangan pengetahuan
Kurikulum
sekolah selalu ketinggalan dengan pertumbuhkembangan pengetahuan yang sangat
pesat dalam berbagai bidang. Kemajuan pengetahuan itu tidak serta merta dapat
diadopsi dalam kurikulum. Akibatnya, apa yang sedang dan telah dipelajari siswa
kerap basi dan usang karena telah tertinggal jauh oleh perkembangan yang
terjadi.
Fragmentasi jadwal
pembelajaran (fragmented schedule)
Merancang
dan melaksanakan pembelajaran di sekolah dibentengi oleh satuan waktu yang disebut
menit. Karena waktunya sudah habis, kegiatan belajar yang sedang berlangsung
terpaksa harus diputus, dan segera berpindah pada pelajaran yang baru. Para
siswa belajar dengan terpenggal-penggal dan terputus-putus, tanpa mempedulikan
ketuntasan dan keutuhan.
Relevansi kurikulum
Kegiatan
pembelajaran yang dialami anak menjadi membosankan dan tidak berguna, ketika
mereka tidak mengerti untuk apa mempelajari Matematika, Sejarah, IPS, IPA, dsb.
Pembelajaran hanya dilakukan demi pelajaran itu sendiri, atau sekedar
menghadapi tes dan ujian. Padahal, ketika bangun di pagi hari atau begitu
menamatkan sekolah, anak dihadapkan pada sekeranjang rmasalah kehidupan nyata
yang memerlukan pemecahan secara baik dan dari berbagai sudut pandang.
Persoalan ini pulalah yang kerap memicu perdebatan tentang apa tujuan
pendidikan sekolah, apa yang harus dialami dan dipelajari anak, dan bagaimana
semestinya pendidikan itu dilaksanakan. Kurikulum menjadi relevan dan bermakna
ketika pelajaran-pelajaran yang harus dikuasai siswa terkait satu sama lain.
Respon masyarakat terhadap
fragmentasi pembelajaran
Ketika
seorang calon dokter dididik menjadi dokter, ia tidak hanya diajar tentang
hal-hal yang bersifat fisik, bilogis, dan media. Ia pun diajari pula tentang
filosofi manusia, psikologi, etika, dan komunikasi, yang dapat membekalinya
dengan penyikapan terhadap manusia secara utuh. Spesialisasi memang penting,
tetapi pendulum akan tetap bergerak dan mengarah pada keseimbangan. Karena itu
pula, interdisiplin akan membantu siswa untuk dapat lebih baik dalam
mengintegrasikan pengetahuan dan strategi belajarnya guna menghadapi
kompleksitas dunia.
Menurut Jacob (1989), keempat hal itu
merupakan pemicu merebaknya wacana dan penerapan pendekatan interdisiplin
(selanjutnya, disingkat: PI) di sekolah-sekolah. Berdasarkan pengalamannya
selama 15 tahun berkutat dengan pendekatan tersebut, Jacob menemukan berbagai
corak atau model penerapan pendekatan interdisipliner. Perbedaan itu disebabkan
oleh pemahaman, kepercayaan diri, dan kreativitas dalam menerapkan PI. Untuk
itu pula,
Jacob
memandang perlu mendefinisikan berbagai istilah yang digunakan dan dikaitkan dengan
PI:
- Discipline field: A specifik body of teacheable knowledge with its own background of education, training, procedures, methods, and content areas.
- Interdisiplinary: A knowledge view and curriculum approach that consciously applies methodology and language from more than one discipline to examine a central theme, issue, problem, topic or experience.
Jadi pendekatan interdisiplin menekankan pada
keterkaitan (linkages) dan keterhubungan (relationship) antar berbagai
disiplin. Sifat keterhubungan antardisiplin itu pada kenyataannya melahirkan
sejumlah variasi, yang memiliki makna yang tidak persis sama (Jacob, Ed., 1989,
dan Pitts, dkk., 1991).
Di
antaranya adalah sebagai berikut.
- Paralel disiplin: Pembelajaran yang mengurutkan suatu pelajaran dengan pelajaran lain berkenaan dengan suatu isu atau konsep yang sama.
- Lintas disiplin atau crossdisciplinary: Pembelajaran yang memandang satu bidang studi dari perspektif bidang studi lain.
- Pluridisiplin: Pembelajaran yang menghubungkan antardua bidang studi yang berbeda dengan menggunakan sebuah tema.
- Multidisiplin: Pembelajaran yang bertolak dari suatu tema dengan mengusung satu bidang studi inti, dan menyertakan pula bidang studi lain. Tak ada upaya untuk menghubungkan antarbidang studi.
- Interdisiplin: Pembelajaran yang secara sadar menghubungkan tujuan, isi, dan kegiatan belajar dari berbagai bidang studi yang berbeda untuk menggali sebuah tema.
- Keterpaduan hari atau integrated-day: Program pembelajaran sehari (full-day program) yang didasarkan atas tema utama dan masalah yang muncul dari dunia anak. Penekanannya pada suatu pendekatan organik terhadap kehidupan kelas yang berfokus pada kurikulum yang digali dari pertanyaan dan minat anak.
- Program lengkap atau complete program: pembelajaran yang bertolak dari kurikulum yang bersumber dari kehidupan sehari-hari siswa. Ini adalah bentuk terekstrim dari interdisiplin dan program integratif yang total karena kehidupan siswa sama dengan sekolah.
Dari berbagai istilah tersebut, Jacob lebih
menyukai istilah interdisiplin sebagai payung, karena memandang pengetahuan dan
pendekatan kurikulum yang menerapkan secara sadar metodologi dan bahasa lebih
dari satu disiplin untuk menguji relevansi dan kebermaknaan tema sentral, isu,
masalah, topik, atau pengalaman.
Jacob (1989) dan Fogarty (1991) berpendapat
bahwa wujud penerapan pendekatan integratif itu bersifat rentangan (continuum).
Bertolak dari konsep PI yang dianut Jacob tersebut, Fogarty (1991)
menyatakan
bahwa ada 10 model integrasi pembelajaran, yaitu model fragmented, connected,
nested, sequenced, shared, webbed, threaded, integrated, immersed, dan
networked. Model-model itu merentang dari yang paling sederhana hingga Discipline
yang paling rumit, mulai dari separated-subject sampai eksplorasi keterpaduan antar
aspek dalam satu bidang studi (model fragmented, connected, nested), model yang
menerpadukan antar berbagai bidang studi (model sequenced, shared, webbed,
threaded, integrated), hingga menerpadukan dalam diri pembelajar sendiri dan
lintas pembelajar (model immersed dan networked).
Konsep
dari masing-masing model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Model fragmented: pengajaran bidang studi terpisah dari bidang studi lain. Matematika bukan sejarah, bahasa bukan seni, dsb. Model tradisional merupakan prioritas guru sebelum mereka beralih ke lintas disiplin.
- Model connected: aspek-aspek pelajaran dalam satu bidang studi dihubungkan dari suatu topik ke topik lain, konsep ke konsep, keterampilan ke keterampilan, melalui gagasan yang berhubungan secara eksplisit.
- Model nested: pengajaran suatu bidang studi dengan target berbagai keterampilan: keterampilan sosial, keterampilan berpikir, dan keterampilan tentang substansi khusus.
- Model sequenced: pelajaran suatu topik atau unit ditata ulang dan diurutkan bertepatan antara satu bidang studi dengan dengan yang lainnya. Contoh, Bahasa Indonesia menyajikan novel tertentu yang mencerminkan periode sejarah tertentu, dan guru sejarah mengajarkan periode sejarah yang sama. Akitivitas masing-masing kegiatan mempertinggi yang lain.
- Model shared: Pembelajaran bertolak dari dua disiplin yang berbeda, yang memiliki ketumpangtindihan konsep/keterampilan untuk mengikat keterpaduan pembelajaran.
- Model webbed: Pembelajaran merepresentasikan pendekatan tematik untuk menerpadukan bidang studi. Suatu tema dikembangkan seperti jaring labalaba, untuk menurunkan topik, konsep, dan gagasan yang selaras dalam berbagai bidang studi.
- Model threaded: Pembelajaran suatu keterampilan (keterampilan berpikir, kerja sama, belajar, mengorganisasikan, sosial, dsb.) disajikan melalui berbagai bidang studi. Model ini berfokus pada metakurikuler atau perilaku metakognititf sehingga siswa dapat belajar tentang bagaimana belajar. Misalnya, keterampilan berpikir hubungan sebab akibat diajarkan dalam Matematika, IPS, Bahasa, dan Sain. Tak ada penekanan terhadap penerjadian hubungan antarmata pelajaran.
- Model integrated: Pembelajaran bertolak dari ketumpangtindihan konsep, keterampilan, dan sikap pada semua bidang studi.
- Model immersed: Pembelajaran semua bidang studi bertolak dari kaca mata, sudut pandang, pengalaman, dan keahlian pebelajar. Bisa jadi hasilnya terlalu dangkal atau sempit, tergantung pada kapasitas pebelajar. Tetapi, keadaan ini menjadikan pebelajar memahami cara pandang dan kemampuannya sendiri.
- Model networked: Pembelajaran beranjak dari kaca mata seluruh pebelajar dan para ahli dalam berbagai bidang studi terkait. Karakter model ini membutuhkan input dari luar, sehingga apa yang telah dipikirkan pebelajar menjadikan sesuatu yang baru dari segi perspektif, lebih luas, atau mengakibatkan perbaikan gagasan. Dalam mencari pengetahuan, pebelajar akan tergantung pada jaringan sebagai sumber informasi yang utama, yang kemudian mereka saring kembali dengan kacamata keahlian dan pengalaman mereka. Pebelajar melakukan proses integrasi melalui seleksi terhadap sesuatu yang diperlukannya.
Dari kesepuluh model tersebut, hanya ada tiga
model yang biasa dipilih dan dikembangkan di sekolah maupun Lembaga Pendidikan
Tenaga Keguruan (LPTK) di Indonesia. Ketiga model tersebut adalah (1) model
keterhubungan (connected), (2) model jaring laba-laba (webbed) dan (3) model
keterpaduan (integrated). Model keterhubungan, pada prinsipnya mengupayakan
dengan sengaja adanya keterhubungan konsep, keterampilan, topik, ide, kegiatan
dalam satu bidang studi. Pada model ini, siswa tidak terlatih untuk melihat
suatu fakta dari berbagai sudut pandang, karena pada model ini keterkaitan
materi hanya terbatas pada satu bidang studi saja. Model jaring laba-laba
(webbed) merupakan model dengan menggunakan pendekatan tematik. Karena karakteristik
dari model ini adalah menggunakan pendekatan tema maka model ini sering juga
disebut dengan model pembelajaran tematik. Dalam model ini, tema dijadikan
sebagai pemersatu dari beberapa mata pelajaran. Setelah tema ditemukan, baru
dikembangkan sub-sub temanya dengan memperhatikan kaitannya dengan mata
pelajaran yang dipadukan. Model keterpaduan merupakan model yang menggunakan
pendekatan antar bidang studi. Diupayakan penggabungan bidang studi dengan cara
menetapkan prioritas kurikuler dan menemukan keterampilan, konsep dan sikap
yang tumpang tindih di dalam beberapa bidang studi. Model ini sulit
dilaksanakan sepenuhnya mengingat sulitnya menemukan materi dari setiap bidang
studi yang benar-benar tumpang tindih dalam satu semester, dan sangat
membutuhkan keterampilan guru yang cukup tinggi dalam perencanaan dan
pelaksanaannya.
Model pembelajaran tematik yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada model jaring laba-laba (webbed) dimana
pengembangannya dimulai dengan menentukan tema terlebih dahulu. Tema yang telah
ditetapkan selanjutnya dijadikan dasar untuk menentukan sub-sub tema lain yang
terkait dengan berbagai bidang studi. Tema yang ditetapkan disesuaikan dengan
minat, kebutuhan dan perkembangan siswa. Penetapan tema dapat juga dilakukan
sebagai hasil negosiasi antara guru dan siswa. Negosiasi tema antara guru dan
siswa dapat dilakukan dengan curah pendapat (brainstorming) tentang alternatif
pilihan yang mungkin dapat diterapkan. Selanjutnya dilakukan analisa terhadap
setiap pilihan tema, untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya sehingga
dihasilkan tema yang paling cocok. Setelah ditentukan tema kemudian ditentukan
tematik unit (sub tema) yang akan digunakan sebagai topik dalam proses
pembelajaran.
Proses belajar seperti ini akan membantu
siswa untuk dapat memadukan hasil belajar di kelas dengan kehidupan di
masyarakat. Selain itu juga, menurut Fogarty (1991) model ini relatif mudah
dilakukan bagi guru-guru yang belum berpengalaman, mempermudah kerja tim
sebagai tim antar bidang studi yang bekerja untuk mengembangkan suatu tema ke
dalam semua bidang isi pelajaran dan memudahkan siswa untuk melihat
kegiatan-kegiatan dan ide – ide berbeda yang terkait.
Adapun karakteristik dari pembelajaran
tematik ini menurut Tim Pengembang PGSD (1997:3-4) adalah:
Holistik
Suatu
gejala atau peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran tematik
diamati dan dikaji dari beberapa bidang studi sekaligus, tidak dari sudut
pandang yang terkotak-kotak. Pembelajaran tematik memungkinkan siswa untuk
memahami suatu fenomena dari segala sisi. Pada gilirannya nanti, hal ini akan
membuat siswa menjadi lebih arif dan bijak di dalam menyikapi atau menghadapi
kejadian yang ada di hadapan mereka.
Bermakna
Pengkajian
suatu fenomena dari berbagai macam aspek, memungkinkan terbentuknya semacam
jalinan antar skemata yang dimiliki oleh siswa, yang pada gilirannya nanti,
akan memberikan dampak kebermaknaan dari materi yang dipelajari. Kegiatan
belajar mengajar menjadi lebih fungsional dan siswa mampu menerapkan perolehan
belajarnya untuk memecahkan masalahmasalah yang nyata di dalam kehidupannya.
Otentik
Pembelajaran
tematik memungkinkan siswa memahami secara langsung konsep dan prinsip yang
ingin dipelajari. Hal ini dikarenakan mereka dalam belajarnya melakukan
kegiatan secara langsung. Mereka memahami dari hasil belajarnya sendiri, hasil
dari interaksinya dengan fakta dan peristiwa secara langsung, bukan sekedar
hasil pemberitahuan guru. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh sifatnya
menjadi lebih otentik. Guru lebih bersifat sebagai fasilitator dan katalisator,
sedang siswanya bertindak sebagai aktor pencari informasi dan pengetahuan.
Aktif
Pembelajaran
tematik pada dasarnya dikembangkan dengan berdasar kepada pendekatan diskoveri
inkuiri. Siswa perlu terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, hingga proses evaluasi. Pembelajaran tematik
pada dasarnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan hasrat, minat dan kemampuan
siswa. Keterlibatan siswa dalam penyusunan rencana, pelaksanaan dan proses
evaluasi mampu mewadahi pertimbangan-pertimbangan di atas. Hal ini memungkinkan
siswa termotivasi untuk secara terus menerus belajar
Tags
Psikologi Pendidikan