Sebelum
membahas tentang hakekat hubungan konseling terlebih dahulu perlu kiranya
dijelaskan tentang konsep dasar konseling, sebab arah komunikasi yang hendak
dilakukan dalam penelitian ini adalah seting konseling individual.
Carl
Rogers (1951) mempunyai pandangan Hakekat hubungan konseling adalah hubungan
yang mengandung nilai terapi. Terapi tersebut akan dirasakan oleh konseli
ketika mereka melakukan komunikasi antara konselor dengan konseli. Dalam proses
tersebut konseli akan menemukan jati dirinya, posisi dirinya dan segala
permasalahan yang dihadapinya. Kemudian untuk selanjutnya mereka melakukan
perubahan self pada diri konseli sendiri dengan penuh kesadaran.
Selanjutnya
Rogers dalam (Pietrofesa dkk, 1978) menegaskan pengertian konseling sebagai
berikut: “The process by which structure of the self is relaxed in the safety
of relationship with the therapist, and previously denied experiences are
perceived and then integrated in to an altered self”
Pendapat
tersebut pada intinya bahwa Rogers lebih menekankan pada perubahan sistem self
konseli sebagai tujuan konseling, hal tersebut sebagai akibat dari struktur
hubungan antara konselor dengan konseli. Ahli lain seperti Cormier dalam
Latipun (2006) lebih memberikan penekanan pada fungsi-fungsi pihak- pihak yang
terlibat. Ia menegaskan bahwa konselor adalah tenaga terlatih yang mempunyai
dorongan dan kemauan untuk membantu konseli.
Ia
menegaskan bahwa : “ Counseling is the helping relationship, which include
(a) someone seeking help, (b) someone willing to give help who is (c) capable
of, or trained to, help (d) in a setting that permit’s hel p to be given and received”.
Kemudian
pendapat C. Patterson dalam Soli Abimanyu (1996) menegaskan bahwa konseling
adalah proses yang melibatkan hubungan antarpribadi antara seorang terapis atau
konselor dengan konseli dimana terapis
atau konselor menggunakan metode-metode psikologis atas dasar pengetahuan sistematis
tentang kepribadian manusia dalam upaya meningkatkan kesehatan mental
konseli.
Gibson
and Mitchell (1981): pengertian konseling dipandang lebih lengkap, dan lebih
operasional. Mereka menegaskan sebagai berikut: Counseling denote a
professional relationship between an trained counselor with a client. This
relationship is usually person to person, although it may some times involve
more than two people, and it is designed to help client understand and clarify his view of his
life space so that may make meaningful
and informed choices consonant with his essential nature in those where
choices are available to him. This
definition indicates that counseling is a process, that is a relationship, that
is designed to help people make choices, that underlaying better choices making
are such matter is learing, personality development, and self knowledge which
can be translated into better role perception and more effective role behavior (Gibson
and Mitchell, 1981).
Mencermati
pengertian yang dikemukakan tersebut di atas setidak- tidaknya ada empat aspek
yang perlu ditegaskan kembali ialah: Pertama, konseling sebagai hubungan yang
specifik antara konselor dengan konseli yang merupakan unsur penting dalam
konseling. Hubungan yang dibangun konselor selama proses konseling dapat
meningkatkan keberhasilan konseling dan dapat pula membuat konseling tidak
berhasil, Kedua konseling sebagai proses ini mempunyai arti bahwa konseling
tidak dapat dilakukan sesaat. Dalam beberapa hal konseling tidak hanya sekali
petemuan. Untuk membantu masalah konseli yang sangat berat dan komplek,
konseling dapat dilakukan beberapa kali pertemuan, Ketiga, hubungan dalam
konseling bersifat membantu (helping). Membantu di sini berbeda dengan memberi
atau mengambil alih, akan tetapi pengertian membantu lebih menekankan kepada
member kepercayaan kepada konseli untuk bertanggung jawab dan menyelesaikan
segala masalah yang dihadapinya. Konselor sifatnya memotivasi untuk bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri untuk mengatasi masalah, sehingga terlepas dari
sifat dependensi terhadap orang lain, Keempat, konseling untuk mencapai tujuan
hidup artinya konseling diselenggarakan untuk mencapai pemahaman dan penerimaan
diri, proses belajar dari perilaku yang tidak adaptif menjadi adaftif dan
melakukan pemahaman yang lebih luas untuk mencapai aktualisasi diri.
Hakekat
hubungan konseling secara umum sebenarnya telah dipakai oleh semua kaum
professional yang melayani manusia, seperti profesi konselor, pekerja sosial,
dokter, dan sebagainya. Pada hakekatnya hubungan konseling adalah hubungan yang
sifatnya membantu artinya konselor berusaha membantu konseli agar tumbuh,
berkembang, sejahtera dan mandiri. Uraian tersebut sejalan dengan pendapat
Shertzer dan Stone (1980) bahwa hubungan konseling adalah suatu interaksi
antara seorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara
positif bagi perbaikan orang tersebut. Konselor dalam hal ini adalah orang yang
membantu atau memberikan pertolongan dengan berbagai keterampilan-keterampilan
dasar untuk memudahkan memahami konseli, mengubah, atau untuk memperkaya
perilakunya sehingga akan terjadi perubahan yang positif. Perubahan-perubahan
tersebut mengandung makna bahwa konseli diharapkan memiliki kemampuan; memahami
diri (self understanding), menerima dirinya (self acceptance), mengahargai
dirinya (self esteem), mengarahkan dirinya (self direction) kemudian menuju
aktualisasi diri (self actualization).
Sofyan S.
Willis (2007) hubungan konseling dengan konseli dalam kontek pertemuan
konseling yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perkembangan,
kematangan, memperbaiki fungsi, dan memperbaiki kehidupan. Dalam kontek
hubungan konseling inilah konselor dengan konseli untuk saling menghargai,
terbuka, fungsional untuk menggali aspek terselubung (emosional, ide,
sumber-sumber informasi, pengalaman kehidupan dan potensi-potensi secara
umum).
Benjamin,
dalam Shertzer & Stone (1980) mengartikan bahwa hubungan konseling adalah
interaksi antara seorang konselor dengan konseli dengan dituntut persyaratan
bahwa konselor harus mempunyai waktu, kemampuan, untuk memahami dan
mendengarkan, serta mempunyai minat pengetahuan, dan keterampilan. Hubungan
konseling harus dapat memudahkan komunikasi yang akrab saling percaya sehingga
permasalahan yang dihadapi konseli dapat dibantu dipecahkan. Kemudian untuk
selanjutnya konseli dapat merasakan kebahagiaan secara lahiriah maupun batiniah
atau sejahtera lahir batin.
Dalam
kontek hubungan pemberian pertolongan antara konselor dengan konseli,
masing-masing telah mempunyai latar belakang masing-masing. Tidak sama antara
satu dengan yang lainnya, misalnya dalam hubungan dengan self perception, need,
values, experience, expectation; dan bilamana konseli memiliki problem yang
tidak dapat dipecahkan sendiri, maka konselor punya kemampuan profesional
akademis memilki expertise tertentu untuk membantu konseli memecahkan
masalahnya dalam suatu kontek memberi bantuan atau konseling. Jenis bantuan
dari konselor bermacam-macam bentuk dengan gaya-gayanya yang unik sesuai dengan
situasi konseli namun bantuan konseling harus mengarah kepada inti pribadi
konseli. Kemudian konseling tersebut betul-betul dapat dirasakan manfaatnya
oleh konseli dan kepuasan tersendiri bagi konselor.
Konseling
yang profesional adalah konselor yang efektif selalu menggunakan
keterampilan-keterampilan dasar yang benar-benar sesuai dengan tuntutan suasana
konseling khususnya suasana konseli seperti tersebut diatas. Dalam hal ini
konselor perlu memiliki pandangan bahwa konselor harus bekerja demi
perkembangan optimal konseli yang merupakan titik senteral konseling. Konselor membantu agar konseli mencapi semua
yang diinginkan sejauh tidak merugikan perkembangan dirinya untuk menjadi
manusia normatif, ethis, yang berkembang menjadi manusia yang mempunyai arti
bagi hidupnya. Bilamana seorang konseli mengatakan bahwa dirinya tidak
memerlukan bantuan serta tidak menginginkan perubahan-perubahan dalam dirinya.
Maka konselor hendaknya tidak memaksakan perubahan-perubahan pada diri konseli
sekalipun konselor memiliki kemampuan dan kecakapan melakukan konseling.
Konselor diharapkan bersabar untuk menahan diri sekalipun maksudnya baik untuk
membantu memecahkan persoalan konseli. Konseling adalah bukan pemaksaaan
kehendak akan tetapi dengan kesadaran diri sepenuhnya baik konselor maupun
konseli. Pemaksaan dalam konseling akan terjadi suasan yang tidak kondusif,
saling memperparah persoalan sehingga konseling tidak lagi sebagai bantuan akan
tetapi berubah dalam bentuk suasana konfrontatif.