Fenomenologi
sebagai metode penelitian, bukan hanya sebagai metode berpikir filsafat. Memahami
fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada sebagaimana
penampilannya dalam kesadaran. Usaha kembali pada fenomena tersebut memerlukan
pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena- fenomena sampai pada
hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat
fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut harus dapat menyisihkan
hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat menungkap diri sendiri. Bukan
suatu abstraksi melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam
Basuki, 2006:72).
Sebagai
metode penelitian, fenomenologi sering dikenal sebagai metode deskriptif kualitatif dengan paradigm konstruktivisme
(Mix Methodology, 2011). Sesuai dengan asumsi ontologis yang ada dalam paradigm
konstruktivisme, peneliti yang menggunakan metode ini akan memperlakukan
realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga dipandang sebagai
sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik yang
dinilai relevan oleh para actor sosial.
Secara
epistemologi, ada interaksi antara peneliti dan subjek yang diteliti. Sementara
itu dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika, dan pilihan
moral sebagai bagian integral dari penelitian. Peneliti merupakan fasilitator
yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka
merekonstruksi realitas sosial.
Sebagai
metode penelitian, fenomenologi adalah cara membangun pemahaman tentang
realitas. Pemahaman tersebut dibangun dari sudut pandang para aktor sosial yang
mengalami peristiwa dalam kehidupannya. Pemahaman yang dicapai dalam tataran
personal merupakan konstruksi personal realitas atau konstruksi
subyektivitas.
Asumsi
pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan
pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena
itu interpretasi merupakan proses aktif yang memberikan makna atas sesuatu yang
dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah sesuatu tindakan kreatif
yakni tindakan menuju pemaknaan (Littlejohn, 2008).
Fenomenologi
yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke-20 menekankan dunia
yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya adalah
agar kembali ke bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan
mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka.
Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia
dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataan abstrak tentang
kealamiahan dunia secara umum.
Berikut
ini dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi dari Husserl:
Epoche
Berasal
dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak memberikan suara”.
Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari prasangka. Dengan epoche kita
menyampingkan penilaian, bias, dan pertimbangan awal yang kita miliki tehadap
suatu objek. Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman
dan pengetahuan yang kita miliki sebelumnya.
Oleh
karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru terhadap objek,
maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan, kesadaran, dan
pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam dunia internal yang
murni sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri dan orang lain. Dengan
demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche adalah terbuka atau jujur
terhadap diri sendiri.
Segala
sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi, pilihan,
penilaian, dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga. Hanya persepsi
dan tindakan sadar kitalah yang menjadi titik untuk menemukan makna,
pengetahuan, dan kebenaran.
Reduksi Fenomenologi
Ketika
epoche adalah langka awal untuk memurnikan objek dari pengalaman dan prasangka
awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalh menjelaskan dalam susunan
bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya dalam term objek eksternal,
namun juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman, dan ritme. Fokusnya
terletak pada kualitas dari pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan
sifat-sifat alamiah dan makna dari pengalaman.
Reduksi
akan membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami sesuatu. Memunculkan
kembali asumsi awal dan mengembalikan sifat-sifat aamiahnya. Reduksi
fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk
mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan hati-hati. Singkatnya reduksi
adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna
aslinya.
Variasi Imajinasi
Tugas
dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin dengan
memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, serta
pendekatan terhadap fenomena dari perspekif, posisi, peranan, dan fungsi yang
berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi structural dari sebuah
pengalaman.
Target
dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan untuk
mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir imajinatif,
kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat sesuatu yang
asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat fenomena
dengan memfokuskannya pada kemungkinan- kemungkinan yang murni adalah inti dari
variasi imajinasi.
Pada
tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala pendukung
dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat diukur dan diletakkan pada makna
dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun
murni imajinatif.
Sintetis Makna dan Esensi
Merupakan
tahap terakhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah integrasi
intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam satu
pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.
Husserl
mendefenisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku universal, kondisi
atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah terungkap secara
sempurna. Sintesis struktu tekstural yang fundamental akan mewakili esensi ini
dalam waktu dan tempat tertentu, dan sudut pandang imajinatif dan studi
reflektif seseorang terhadap fenomena.
Tags
Filsafat