Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan diri (self acceptance). Tidak semua individu dapat menerima dirinya
karena setiap orang memiliki ideal self atau diri yang diinginkan daripada diri
yang sesungguhnya (Hurlock, 1974). Apabila ideal self tersebut tidak realistis
dan sulit untuk dicapai dalam kehidupan yang nyata, maka hal ini akan
menyebabkan frustasi dan kecewa (Hurlock, 1974). Lebih lanjut Hurlock (1974)
menjelaskan beberapa kondisi yang menentukan seseorang dapat menyukai dan
menerima dirinya sendiri. Faktor-faktor ini sangat berperan bagi terwujudnya
penerimaan diri dalam diri individu (Hurlock, 1974).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
diri (self acceptance) tersebut adalah:
Pemahaman diri (self
Understanding)
Pemahaman
diri adalah persepsi tentang diri yang dibuat secara jujur, tidak berpura-pura
dan realistis. Pemahaman terhadap diri sendiri timbul jika seseorang mengenali
kemampuan, dan ketidakmampuannya, serta bersedia untuk mencoba kemampuannya
tersebut. Individu memahami dirinya sendiri tidak hanya tergantung dari
kemampuan intelektualnya, tetapi juga pada kesempatannya untuk mengenali diri
sendiri. Individu tersebut harus memiliki kesempatan untuk mencoba
kemampuannya. Individu yang memahami dirinya akan mampu menyebutkan siapa
dirinya dan menerima keadaan dirinya sendiri. Pemahaman diri dan penerimaan
diri berjalan dengan berdampingan. Hal ini berarti semakin orang dapat memahami
dirinya, maka ia semakin dapat menerima dirinya.
Harapan yang realistis
(Realistic expectations)
Harapan
yang realistis timbul jika individu menentukan sendiri harapannya yang
disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuannya, bukan harapan yang
diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya. Dikatakan realistis jika
individu tersebut memahami keterbatasan dan kekuatan dirinya dalam mencapai
tujuannya. Maka ketika individu memiliki harapan dan tujuan, seharusnya ia
telah mempertimbangkan kemampuan dirinya untuk mencapai harapan dan tujuan
tersebut. Semakin realistis seseorang terhadap harapan dan tujuannya, maka akan
semakin besar kesempatan tercapainya harapan dan tujuannya. Kondisi ini dapat
memberikan kepuasan diri yang merupakan hal penting dalam penerimaan diri.
Tidak adanya hambatan
lingkungan (Absence of environmental obstacles)
Ketidakmampuan
untuk meraih tujuan dan harapan yang realistis mungkin disebabkan oleh hambatan
dari lingkungan. Bila lingkungan sekitar tidak memberikan kesempatan atau
bahkan menghambat individu untuk mengekspresikan diri, maka penerimaan dirinya
akan sulit untuk dicapai. Sebaliknya, jika lingkungan, seperti orang tua,
saudara-saudara, dan teman-teman memberikan dukungan, maka kondisi ini dapat
mempermudah penerimaan diri dan menerima apa yang terjadi pada dirinya.
Berkaitan dengan faktor sebelumnya, bila lingkungan semakin mendukung apa yang
diharapkan oleh individu maka kondisi ini akan lebih mendorong individu untuk
mencapai harapannya.
Tingkah laku sosial yang
sesuai (Favorable social attitudes)
Individu
yang memiliki favorable social attitudes diharapkan mampu menerima dirinya.
Ketika seseorang menampilkan tingkah laku yang diterima oleh masyarakat,
kondisi tersebut akan membantu dirinya untuk dapat menerima diri. favorable
social attitudes adalah tidak adanya prasangka terhadap lingkungan dalam diri
individu, adanya pengakuan individu terhadap kemampuan sosial orang lain, tidak
memandang buruk terhadap orang lain, dan kesediaan individu mengikuti kebiasaan
atau norma lingkungan.
Tidak adanya stres emosional
(Absence of severe emotional stress)
Stres
menunjukkan adanya kondisi yang tidak seimbang dalam diri individu, menyebabkan
individu bertingkah laku yang dipandang tidak sesuai oleh lingkungannya,
menimbulkan kritik dan penolakan dari lingkungan. Kondisi ini dapat menyebabkan
pandangan negatif terhadap dirinya dan pandangannya pun berubah ke arah
negatif, sehingga berpengaruh terhadap penerimaan dirinya. Tidak adanya
gangguan stres berat yang dialami individu akan membuat individu dapat bekerja
sebaik mungkin, merasa bahagia, rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap
dirinya.
Kenangan akan keberhasilan
(Preponderance of successes)
Ketika
individu berhasil atau gagal, ia akan memperoleh penilaian sosial (social
judgements) dari lingkungannya. Penilaian sosial yang diberikan oleh
lingkungan, akan diingat individu karena dapat menjadi suatu tambahan dalam
penilaian diri. Kenangan terhadap keberhasilan ini dapat dikenang dalam bentuk
jumlah keberhasilan yang dicapai oleh seseorang (kuantitatif). Maupun dikenang
dalam kualitas keberhasilannya (kualitatif). Ketika seseorang gagal, maka
mengingat keberhasilan adalah hal yang dapat membantu memunculkan penerimaan
diri pada seseorang. Sebaliknya, kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan
penolakan pada dirinya.
Identifikasi dengan orang
yang memiliki penyesuaian diri yang baik (Identification with well-adjusted
people)
Ketika
individu mengidentifikasikan diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri
yang baik (well-adjusted), maka hal ini dapat membantu individu untuk membangun
sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, serta bertingkah laku baik yang
bisa menimbulkan penilaian diri yang baik. Lingkungan rumah dengan model
identifikasi yang baik akan membentuk kepribadian yang sehat pada seseorang.
Dengan demikian, pada akhirnya individu dapat memiliki penerimaan diri yang
baik pula.
Perspektif diri (Self
perspective)
Individu
yang mampu melihat dirinya, sama dengan bagaimana orang lain melihat dirinya,
membuat individu tersebut menerima dirinya dengan baik. Perspektif diri yang
luas diperoleh melalui pengalaman dan belajar. Dalam hal ini, usia dan tingkat
pendidikan memegang peranan penting bagi seseorang untuk dapat mengembangkan
perspektif dirinya.
Pola asuh masa kecil yang
baik (Good childhood training)
Konsep
diri mulai terbentuk pada masa kanak-kanak di mana pola asuh diterapkan,
sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri tetap ada meskipun usia individu
terus bertambah. Anak yang diasuh dengan pola asuh demokratis cenderung
berkembang menjadi orang yang dapat menghargai dirinya sendiri, karena ia
diajarkan bagaimana ia menerima dirinya sendiri sebagai individu. Anak menganggap
bahwa ia bertanggung jawab untuk mengontrol tingkah lakunya yang dilandasai
oleh peraturan dan regulasi.
Konsep diri yang stabil
(Stable self concept)
Individu
dikatakan memiliki konsep diri yang stabil, apabila setiap saat individu
tersebut dapat melihat dirinya dalam kondisi yang sama. Individu yang tidak
memiliki konsep diri stabil, bisa saja pada satu waktu ia menyukai dirinya,
pada waktu yang lain ia membenci dirinya sendiri. Kondisi ini akan membuat
dirinya kesulitan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya kepada orang lain
karena ia sendiri memiliki konsep diri yang saling bertentangan pada dirinya,
suatu saat ia menerima dirinya dan disaat lain membenci dirinya.