Banyak
faktor-faktor penyebab perceraian. Perceraian tidak timbul begitu saja, tetapi
banyak hal-hal yang melatarbelakanginya. Menurut Fauzi (2006) ada beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perceraian, yaitu:
Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Alasan tersebut adalah alasan yang paling
kerap dikemukakan oleh pasangan suami-istri yang akan bercerai.
Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain; ketidakcocokan
pandangan, perbedaan pendapat yang sulit disatukan, krisis keuangan, krisis
akhlak, adanya orang ketiga, bahkan tidak berjalannya kehidupan seksual sebagaimana
mestinya.
Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah
tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan
akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami ataupun istri,
poligami yang tidak sehat, penganiayaan (kerap juga disebut sebagai Kekerasan
dalam Rumah Tangga/KDRT), pelecehan, dan keburukan perilaku lainnya yang dilakukan
baik oleh istri maupun suami, misalnya mabuk, berzina, terlibat tindak
kriminal, bahkan hutang piutang.
Perzinahan
Masalah lain yang dapat mengakibatkan
terjadinya perceraian adalah terjadinya perzinahan, yaitu hubungan seksual di
luar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. Sebagai umat beragama,
sudah jelas adanya sanksi hukuman bagi mereka yang berzina. Di dalam hukum,
perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan ke dalam salah satu pasalnya
sebagai yang dapat mengkibatkan berakhirnya sebuah perkawinan.
Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan
baik oleh suami maupun istri untuk mengakhiri pernikahan adalah bahwa
pernikahan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adnya cinta. Menjalani
sebuah pernikahan tanpa cinta merupakan suatu keadaan yang sulit dan
melelahkan, tapi itu tidak langsung dapat diartikan bahwa kita memerlukan
sebuah perceraian.
Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Alasan perceraian tersebut kerap diajukan
apabila kedua pasangan atau salah satunya merasakan ketimpangan dalam
perkawinan yang sulit diatasi sehingga mendorong mereka untuk mempertimbangkan
perceraian. Diantara masalah- masalah perkawinan itu adalah: kurangnya
keintiman secara seksual; emosi yang meledak ketika terlibat perdebatan,
menjadi terlalu terbawa emosi, dan membiarkan amarah menguasai diri; bersikap
mementingkan diri sendiri; berlaku tidak jujur; menyindir secara keterlaluan;
tidak menghargai pasangan; tidak perhatian kepada pasangan atau tidak
mendengarkannya; dan masalah- masalah lainnya.
Sedangkan
menurut Newman & Newman (2006) dinyatakan ada empat hal yang berkontribusi
terhadap terjadinya perceraian, yaitu:
Umur saat menikah
Kasus perceraian di Amerika Serikat
tinggi pada pasangan yang menikah sebelum usia 18 tahun (sekitar 48%),
dibandingkan dengan pasangan yang menikah di usia 25 tahun atau lebih (sekitar
24%). Untuk pasangan yang menikah muda ataupun usia yang lebih tua,
ketidakpuasan terhadap penampilan peran adalah faktor yang cukup signifikan
terhadap ketidakstabilan pernikahan. Untuk pasangan muda, ketidakpuasan ini
biasanya lebih kepada masalah seksual dan kecemburuan. Untuk pasangan yang
lebih tua, ketidakpuasan lebih disebabkan karena adanya konflik interpersonal,
gaya dominasi daan melemahnya perasaan kebersamaan. Usia saat menikah biasanya
juga dihubungkan dengan perbedaan kebutuhan perkembangan dan banyaknya ancaman
terhadap ketidakstabilan pernikahan.
Tingkat
sosial ekonomi
Konsep tingkat sosial ekonomi ini cukup
kompleks, karena merupakan kombinasi dari faktor pendidikan, pekerjaan dan
penghasilan. Laki-laki dan wanita dengan pekerjaan yang lebih tinggi memiliki
angka rata-rata perceraian yang lebih rendah daripada mereka yang berpendidikan
rendah. Dalam hal ini juga dikenal glick effect, yaitu laki-laki dan wanita
yang dikeluarkan dari sekolah atau kampus memiliki angka rata-rata perceraian
yang lebih tinggi daripada mereka yang telah menyelesaikan pendidikan
sekolahnya. Angka rata-rata perceraian dan perpisahan umumnya lebih tinggi pada
pasangan dengan pendidikan dan pendapatan yang rendah. Pendapatan total
keduanya memiliki hubungan yang erat dengan perceraian. Laki-laki dengan
pendapatan yang lebih tinggi, angka rata-rata perceraiannya lebih rendah.
Sedangkan bagi wanita yang menyumbang lebih besar terhadap total pendapatan
keluarga dan merasa kurang bahagia dengan perkawinan akan cenderung untuk
bercerai.
Perkembangan sosio-emosional dari
masing-masing pasangan
Perkembangan sosioemosional dihubungkan
dengan dimensi penerimaan diri, otonomi dan ekpsresi dari pasangan.
Masalah-masalah dalam komunikasi dianggap sebagai penyebab utama perceraian,
baik itu pada laki-laki maupun wanita. Secara umum wanita lebih cenderung untuk
merasa stres dan memiliki masalah dalam penyesuaian perkawinan daripada
laki-laki. Kestabilan identitas maskulin dari suami, tingkat pendidikan, status
sosial dan kemampuan untuk menerima semua bentuk pengekspresian emosi berdampak
terhadap kebahagiaan perkawinan. Kestabilan perkawinan juga tergantung pada
bagaimana masing-masing pasangan mencapai perasaan dan identitas dirinya.
Pencapaian ini akan membantu untuk membangun keseimbangan kekuatan dan saling
menghormati yang menjadi pusat dari emosional dan keintiman intelektual.
Sejarah keluarga yang bercerai
Anak-anak dari orang tua yang bercerai
lebih cenderung untuk mengalami perceraian pada pernikahan mereka nantinya
kelak. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang tua yang bercerai akan
meningkatkan kemungkinan pada pernikahan anak remaja berakhir dengan
perceraian. Penjelasan lainnya adalah bahwa anak-anak dari orang tua tunggal
dan keluarga yang orangtuanya menikah lagi biasanya cenderung untuk menikah
pada usia muda daripada anak-anak dari keluarga pada umumnya, yang biasanya
akan meningkatkan kemungkinan terjadinya perceraian.
Dengan
demikian terdapat beberapa faktor penyebab perceraian, antara lain:
ketidakharmonisan dalam rumah tangga, krisis moral dan akhlak, perzinahan,
pernikahan tanpa cinta, adanya masalah-masalah dalam perkawinan, umur saat
menikah, tingkat sosial ekonomi, perkembangan soisoemosional dari masing-
masing pasangan, dan sejarah dari keluarga yang bercerai. Namun dalam
penelitian ini peneliti akan menggunakan teori penyebab perceraian yang
dikemukakan oleh Fauzi (2006), yaitu ketidakharmonisan dalam rumah tangga,
krisis moral dan akhlak, perzinahan, pernikahan tanpa cinta, dan adanya
masalah- masalah dalam perkawinan. Teori ini dipilih dengan alasan bahwa
faktor-faktor penyebab perceraian tersebut lebih cocok untuk budaya masyarakat
Indonesia.
Tags
Perkembangan Dewasa