Terdiri dari beberapa aspek-aspek resiliensi.
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk
resiliensi, yaitu sebagai berikut:
Emotion Regulation
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap
tenang di bawah kondisi yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk
mengatur emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan
orang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara
alasan yang sederhana adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu
bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi
yang dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain.
Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi
seorang yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002).
Tidak semua emosi yang dirasakan oleh
individu harus dikontrol. Tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa
bersalah harus diminimalisir. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi yang
kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif
dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan
bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua
buah keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi
emosi, yaitu yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan
ini akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali,
menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta
mengurangi stres yang dialami oleh individu.
Impulse Control
Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich &
Shatte, 2002), penulis dari Emotional Intelligence, melakukan penelitian
terkait kemampuan individu dalam pengendalian impuls. Penelitian dilakukan
terhadap 7 orang anak kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian
tersebut anak-anak tersebut masing-masing ditempatkan pada ruangan yang
berbeda. Pada masing-masing ruangan tersebut telah terdapat peneliti yang
menemani anak-anak tersebut. Masing-masing peneliti telah diatur untuk
meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa selang waktu. Sebelum peneliti
pergi, masing-masing anak diberikan sebuah marshmallow untuk dimakan oleh
mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka dapat menahan untuk tidak
memakan marshmallow tersebut sampai peneliti kembali ke ruangan , maka mereka
akan mendapatkan satu buah marshmallow lagi.
Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak
kembali keberadaan anak-anak tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat
menahan untuk tidak memakan Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan
sosialisasi yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman
dalam Reivich & Shatte, 2002).
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu
untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul
dari dalam diri (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan
pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada
akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku
mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya
perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang
nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang
lain.
Individu dapat mengendalikan impulsivitas
dengan mencegah terjadinya kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan
respon yang tepat pada permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte
(2002), pencegahan dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan
mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat
melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada
dirinya sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi
berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat permasalahan
secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls
sangat terkait dengan kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu
yang memiliki skor Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi
cenderung memiliki skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls
(Reivich & Shatte, 2002).
Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang
optimis, optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang
(Reivich & Shatte, 2002). Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu
menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan
untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga
merefleksikan self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan
individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan
hidupnya. Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila
diiringi dengan self-efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada
seorang individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus
bekerja keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).
Tentunya optimisme yang dimaksud adalah
optimisme yang realistis (realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan
terwujudnya masa depan yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk
mewujudkan hal tersebut. Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan
akan masa depan yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk
mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy
adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
Causal Analysis
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu
untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan
yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang
sama.
Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002)
mengidentifikasikan gaya berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan
kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory
dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen
(selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).
Individu dengan gaya berpikir
“Saya-Selalu-Semua” merefleksikan keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal
dari individu tersebut (Saya), hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada
tidak dapat diubah (Selalu), serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi
seluruh aspek hidupnya (Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir
“Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi
disebabkan oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih
memungkinkan untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan
mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua).
Gaya berpikir explanatory memegang peranan
penting dalam konsep resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang
terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan
yang mereka hadapi. Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya
berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang
akan mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
Individu yang resilien adalah individu yang
memiliki fleksibelitas kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua
penyebab yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada
salah satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen
maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas
kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan
mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor
yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang
kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi
permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan
(Reivich & Shatte, 2002).
Empathy
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan
individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain
(Reivich & Shatte, 2005). Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup
mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh
orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu
menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu,
seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial
yang positif (Reivich & Shatte, 2002).
Ketidakmampuan berempati berpotensi
menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu
yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap tanda-tanda nonverbal
tersebut tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain,
merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang
lain.
Ketidakmampuan individu untuk membaca
tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks
hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar
manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah
cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien,
yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich &
Shatte, 2002).
Self-efficacy
Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan
masalah yang berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa
kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan.
Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi
(Reivich & Shatte, 2002).
Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya,
bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki
kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih
dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari
kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).
Banyak individu yang tidak mampu melakukan
reaching out, hal ini dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat
mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah
individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan
harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup
dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk
berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang
dapat terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan
untuk mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.
Tags
Psikologi Sosial