Sistem presidensial di Indonesia diberlakukan
sesuai dengan UUD 1945. Sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata
sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system yang
berarti kesatuan yang utuh dari sesuatu rangkaian, yang kait mengait satu sama
lain. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal
dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti,
Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatu, pemerintah adalah
kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara, pemerintahan
adalah perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah. Dalam memahami dalam arti
yang luas, pemerintahan adalah ada pihak yang terkandung, kedua pihak tersebut
saling berhubungan, pihak yang memerintah memiliki wewenang dan pihak yang
diperintah memiliki ketaatan.
Sedangkan dalam arti yang sempit,
pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta
jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem
pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai
komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam
mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan.
Kekuasaan
dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
- Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan
- Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang
- Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar meliputi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Jadi, sistem pemerintahan Negara menggambarkan
adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar-lembaga negara, dan bekerjanya
lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan. Dan
jika ditinjau dari struktur fungsional, pemerintahan berarti seperangkat fungsi
negara yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan melaksanakan
fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi terciptanya tujuan negara.
Lalu ditinjau dari aspek tugas dan kewenangan
negara, pemerintah berarti seluruh tugas dan kewenangan negara. Menurut ketiga
bahasan diatas dapatlah disimpulkan bahwa pemerintahan merupakan segala
kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan wewenang negara.
Sejarah pemerintahan Indonesia dimulai dengan
terpilihnya Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden
Indonesia yang pertama atas dasar undang – undang 1945 pada tnggal 18 Agustus
1945. Terpilihnya Ir. Soekarno Dan Drs. Mohammad Hatta sebagai presiden dan
wakil presiden melengkapi kesempurnaan organisasi Negara Indonesia. Sistem
pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang 1945 selama
kurun waktu tahun 1945-1949 belum dapat dilaksanakan dengan baik. Hal itu
terjadi karena selain Indonesia baru merdeka dan belum begitu terjadi karena
selain Indonesia baru merdeka dan belum begitu siap semua infrastruktur dan
supratrukturnya, juga karena Belanda masih berkeinginan untuk menjajah
Indonesia kembali.
Dalam kurun waktu tersebut sempat diangkat
anggota Dewan Pertimbangan Agung sementara, sedangkan MPR dan DPR belum di
bentuk. saat itu masih terus diberlakukan ketentuan peralihan pasal IV UUD
1945, yaitu sebelum majelis dari MPR dan DPR dan Dewan Pertimbangan Agung
dibentuk menurut undang – undang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh
presiden dengan bantuan komite nasional, berdasarkan usul Badan kerja komite
nasional Indonesia pusat pada tanggal 11 November 1945 yang disetujui oleh
Presiden diumumkan dengan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945, bahwa
sistem kabinet presidensil diganti dengan sistem parlementer. Sejak saat itu
kekuasaan pemerintahan dipegang perdana oleh perdana mentri sebagai pimpinan
kebinet dengan para mentri sebagai anggota cabinet secara bersama atau sendiri
– sendiri. Perdana Mentri dan para mentri bertanggung jawab kepada KNPI yang
berfungsi sebagai DPR tidak bertanggung jawab kepada presiden seperti yang
dikehendaki oleh sistem undang-undang Dasar 1945.
Setelah perang mempertahankan kemerdekaan dari
rongrongan belanda yang mau menjajah Indonesia kembali pada tahun 1948 Bentuk
Negara federasi Republik Indonesia serikat yang telah diubah berdasarkan
konstitusi RIS, UUD 1945 hanya berlaku di Negara RI yang meliputi sebagian
pulau jawa dan sumatera dengan ibu kota Yogyakarta. Pada tanggal 17 Agustus
1950 negara federasi Republik Indonesia serikat kembali kenegara kesatuan
Republik Indonesia Menurut undang-undang tersebut sistem pemerintahan yang
dianut adalah sistem pemerintahan perlementer. Undang – Undang dasar 1950
menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari
presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri yang
mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi
pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata
kurang mantap dan partaipartai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung
jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam
barisan oposisi tidak mampu berperan sebagi oposisi kontruktif yang menyusun
program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari
tugas oposisi.
Dalam Sistem Parlementer saat itu kabinet
yang dibangun tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan dan
hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah
tidak mendapat kesempatan dalam untuk melaksanakan programnya. Sistem
parlementer dianggap tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan,
akibat Presiden dan wakil presiden hanya sekedar presiden dan wakil presiden konstitusional.
Jalannya pemerintahan dilakasanakan dan dipertanggung jawabkan oleh para mentri
keparlemen. Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya Pembubaran Konstituante, pemberlakuan
kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 195 dan pembentukan MPRS dan DPAS
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dengan demikian masa demokrasi
berdasarkan sistem parlementer berakhir.
Pada periode pemerintahan seokarno pasca
Dekrit presiden 1959 kekuasaan didominasi oleh Presiden, terbatasnya peranan partai
politik, berkembangnya pengaruh komunis dan makin meluasnya peranan TNI/Polri
sebagai unsur sosial poltik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang
sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik dengan
melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat dan bahkan bertindak seperti seorang
diktator, hamper semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan
yudikatif berada pada kekuasaannya, kondisi seperti ini berlangsung sampai pada
tahun 1966 ketika rezim pemerintahan soekarno berakhir dan memasuki era orde
baru.
Pemerintahan Indonesia pada masa Orde baru,
Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi
dalam beberapa provinsi. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR
untuk masa jabatan 5 tahun, kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan
oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden, parlemen terdiri atas 2
bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Sistem pemerintahan negara Indonesia pada
zaman Orde Baru, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial. Sistem
pemerintahan pada Orde Baru adalah presidensial karena kepala negara sekaligus
sebagai kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada
presiden. Tetapi dalam kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden
mengendalikan peranan paling kuat dalam pemerintahan sehingga kekuasaan
presiden soeharto juga dianggap meengarah ke proses diktator, pemerintahan
Soeharto meletakkan ABRI, Birokrasi dan Golongan Karya sebagai elemen utama
dalam pemerintahannya. Pemerrintahan orde baru berlangsung sejak tahun
1967-1998.
Setelah reformasi bergulir 1998, terjadi
suatu perubahan struktur ketatanegaraan secara bertahap yaitu dengan
mengamandemen UUD 1945 sebanyak 4 (empat) kali (1999-2002). Dimana dulu ada
lembaga tertinggi negara yaitu MPR, dengan diamandemennya UUD 1945 maka tidak
ada lagi lembaga negara yang mendominasi. Sekarang antar lembaga negara hanya
ada prinsip check and balance dan tidak ada prinsip saling mebawahi seperti
dulu. salah satu agenda reformasi selain bagaimana mengutkan demokratisasi yang
ada diindonesia adalah bagaimana juga menguatkan sistem presidensial (eksekutif
heavy) diindonesia, tetapi tetap dalam bingkai konstitusonal agar tidak terjadi
juga kesewenang-wenangan oleh presiden (abuse of power). Tetapi yang menjadi suatu
masalah yang dihadapi negeri ini setelah reformasi adalah banyaknya partai politik
yang mendominasi sehingga indonesia menganut sistem partai yang majemuk
(multiparty system). Jadi setelah reformasi ada suatu peralihan sistem partai
yang ada di Indonesia yaitu bagaimana yang dahulunya cuman ada 3 (tiga) partai
sekarang menajdi banyak partai (multiparty system).
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi
yang mendasari sistem politik indonesia, sistem yang digunakan dalam hal ini
yaitu sistem Presidensial, yang di era kekuasaan pada Presiden sedemikian besar
sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan kekuasaan politik itu sebahagian besar
ada ditangan Presiden. Hal ini akan memberikan konskuensi yaitu melemahnya
peranan parpol dan parlemen. Dalam ketentuan sistem politik Indonesia berkaitan
dengan Negara Indonesia yaitu negara kesatuan. Sebagai negara kesatuan sistem
ketatanegaraan yang menetapkan bahwa seluruh wilayah negara tanpa kecuali
merupakan kesatuan wilayah administrasi hukum. Dalam konteks Undang-Undang
Dasar 1945 yang sebelum amandemen yang menganut sistem Presidensial, untuk memahami
suasana itu dapat ditandai dengan beberapa hal yaitu Presiden sebagai Kepala
Negara sekaligus Kepala Pemerintahan, Presiden tidak bertanggung jawab kepada
DPR dan DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Namun ketika reformasi bergulir
banyak perubahan yang dilakukan mengenai kekuasaan eksekutif yaitu melalui
empat kali amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada tahun 1999,
2000, 2001 dan 2002.
Sejak tahun 2004 Presiden
dipilih melalui mekanisme pemilu Perubahan penting dalam sistem ketatanegaraan
kita berdasarkan hasil amandemen Undang-undang Dasar 1945 diantaranya adalah
masalah sistem pemerintahan yang lebih mengedepankan kedaulatan rakyat. Hasil
amandemen UUD 1945 lalu mengamanatkan presiden dan wakil presiden dipilih
secara langsung oleh rakyat. Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.
Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden lebih lanjut diatur
dalam UU No. 23 Tahun 2003. tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan Negara yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sistem pemerintahan
presidensial di era reformasi harus didukung oleh kewenangan konstitusional
yang memadai. Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan konstitusional presiden
nyaris tanpa batas. Pada era itulah kewenangan konstitusional presiden sangat
besar diberikan oleh UUD 1945, sehingga disebut sebagai executive heavy
constitution. Pasca reformasi, kewenangan konstitusional presiden dikurangi di
segala lini. Tidak cukup hanya dengan pengurangan, kewenangan presiden juga
dikontrol dari segala penjuru. Pengurangan dan pembatasan demikian tentu perlu,
untuk menghindari agar presiden tidak menjadi pemimpin yang diktator. Tapi,
pada saat yang sama, pengurangan dan pembatasan itu harus dijaga agar tidak
berubah menjadi penciptaan presiden minim kekuasaan.
Tanpa kewenangan yang
memadai, presiden pasca perubahan akan terjadi paradoks. Secara legitimasi
politis, yuridis dan sosiologis lebih kuat, namun secara faktual tidak
mempunyai kewenangan maupun dukungan politik yang memadai untuk memerintah.
Dengan pemilihan presiden langsung, presiden terpilih memiliki legitimasi yang
lebih kuat.
Sistem pemerintahan model
apapun membutuhkan dukungan politik di parlemen yang mayoritas. Tanpa dukungan
politik mayoritas di parlemen, sistem pemerintahan apapun cenderung tidak
efektif. Pembatasan kewenangan presiden dan membaiknya sistem saling control
saling imbang adalah suatu hal yang penting untuk menjaga presiden tidak
menjadi diktator. Namun, itu bukan berarti presiden dapat dibiarkan tanpa
dukungan politik yang memadai. Justru, dalam mekanisme checks and balances yang
baik, tidak hanya ada unsur kontrol (checks), tetapi yang tidak kalah penting
adalah unsur keseimbangan dukungan (balances). Pemerintah tanpa dukungan
mayoritas suara di parlemen adalah presiden yang minoritas (minority
president), dan yang terbentuk adalah pemerintahan terbelah (divided
government).
Presiden harus meminta
persetujuan DPR dalam mengambil sebuah kebijakan.Dan sistem pemerintahan
terdiri atas dua sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan
sistem pemerintahan presidensial, namun dalam hal ini fokus dalam pembahasan
adalah sistem presidensial dii Indonesia. Dalam sistem presidensial badan
eksekutif tidak tergantung pada badan legislatif, dan badan eksekutif mempunyai
masa jabatan tertentu. Kebebasan badan eksekutif terhadap badan legislatif
mengakibatkan kedudukan badan eksekutif lebih kuat dalam menghadapi badan
legislatif. Lagipula menteri-menteri dalam kabinet presidensial dapat dipilih
menurut kebijaksanaan presiden sendiri tanpa menghiraukan tuntutan-tuntutan
partai politik. Dengan demikian pilihan presiden dapat didasarkan atas keahlian
serta faktor-faktor lain yang dianggap penting.
Sistem ini terdapat di
Amerika Serikat, Pakistan dalam masa Demokrasi Dasar (1958-1969), dan Indonesia
di bawah UUD 1945. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia pasca Reformasi
1998 dimana Kekuasaan Presiden dan kekuasaan legislative mengalami perimbangan
kekuasaan.
Prinsip-prinsip dasar atau
ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, yaitu Majelis tetap menjadi majelis saja, tidak ada peleburan fungsi
eksekutif danlegislatif, eksekutif tidak dibagi, hanya ada seorang presiden
yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Presiden dipilih untuk
masa jabatan yang pasti, dan dibatasi untuk beberapa kali masa jabatan, kepala
pemerintahan adalah kepala negara, presiden mengangkat kepala
departemen/menteri yang merupakan bawahannya, presiden adalah eksekutif tunggal,
pemerintahan presidensial cenderung bersifat individual, anggota majelis tidak
boleh menduduki jabatan pemerintahan dan sebaliknya, eksekutif bertanggung
jawab kepada Konstitusi. Majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada
konstitusi melalui proses dakwaan atau mosi tidak percaya, presiden tidak dapat
membubarkan atau memaksa majelis. Majelis tidak dapat mencopot presiden dari
jabatannya, begitupun presiden tidak dapat membubarkan majelis. Sistem ini
merupakan sistem check and balance.
Sistem ini memperlihatkan
ketergantungan antara eksekutif dan legislatif, majelis berkedudukan lebih
tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian
eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlemen. Badan eksekutif dan
legislatif akan saling mengawasi dan mengimbangi dan tak satupun yang lebih
dominan, eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih. Pemerintah
presidensial bergantung pada suara rakyat, apabila anggota majelis mewakili
konstituennya, maka presiden mewakili seluruh rakyat, tidak ada
fokus/konsentrasi kekuasaan dalam sistem politik, yang ada adalah
pembagian/fragmentasi kekuasaan. Dalam sistem presidensial peran dan karakter
individu presiden lebih menonjol dibanding dengan peran kelompok, organisasi,
atau partai politik.
Oleh karena itu, jabatan
presiden hanya dijabat oleh seorang yang dipilih rakyat dalam pemilu yang
berarti bahwa presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. Dalam sistem ini
presiden dipilih oleh rakyat maka sebagai kepala eksekutif ia hanya bertanggung
jawab kepada rakyat pemilih sehingga kedudukan eksekutif tidak bergantung pada
parlemen.
Sebagaimana dengan ajaran
Trias Politica tugas badan eksekutif merupakan peyelenggara undang-undang yang
dibuat oleh badan legislatif. Di negara demokratis badan eksekutif merupakan
kepala negara beserta menterimenterinya. Eksekutif dijadikan pelaku utama
kekuasaan negara. Dalam sisitem Presidensil menteri-menteri merupakan pembantu
Presiden dan langsung dipimpin oleh Presiden. Dalam Sistem Presidensil Presiden
memperoleh mandat dari rakyat dan oleh karenanya bertanggung jawab terhadap
rakyat. Dalam sistem ini program eksekutif sepenuhnya merupakan tanggung jawab
Presiden dengan rakyat.
Demikian juga pembentukan kabinet dalam
sistem presidensil didasarkan sepenuhnya kepada pilihan Presiden yang umumnya
dipilih berdasarkan criteria yang profesional yang disebut kabinet keahlian
Sistem pemerintahan Presidensil memiliki tiga karakteristik yang mendasar yaitu:
- Presiden dipilih langsung oleh rakayat atau melalui dewan pemilih untuk periode tertentu dengan masa jabatan yang pasti dan bertanggug jawab kepada rakyat. Presiden tidak bertanggug jawab kepada legislative.
- Presiden tidak dapat diberhentikan dengan mosi tidak percaya dengan alasan politik politik oleh legislatif. Presiden hanya dapat diberhentikan oleh impeachment karena telah melanggar suatu haluan negara.
- Presiden merupakan Kepala Negara eksekutif tunggal. Presiden berada pada posisi yang kuat dan memiliki kekuasaan yang luas dalam menentukan kebijakan publik dalam batas-batas rambu undang-undang.
Sebagai kepala eksekutif presiden menunjuk
pembantu-pembantunya yang akan memimpin departemennya masing-masing dan mereka
hanya bertanggung jawab kepada presiden. Karena pembentukan kabinet tidak
tergantung dan tidak memerlukan dukungan kepercayaan dari parlemen, maka para menteri
tidak bisa dihentikan oleh parlemen. Komposisi kabinet dalam sistem
presidensial bukan berasal dari proses tawar menawar dengan partai yang berarti
sifat kabinet adalah kabinet profesional atau kabinet keahlian. Jabatan menteri
tidak didasarkan pada latar belakang politik tetapi pada penilaian visi,
pengetahuan dan kemampuan mengelola departemen.Dalam sistem presidensial,
kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang langsung oleh presiden. Selaku
kepala negara presiden adalah simbol representasi negara atau simbol pemersatu
bangsa sementara selaku kepala pemerintahan presiden harus bertanggung jawab
penuh pada jalannya pemerintahan.
Pilpres yang dilakukan di Indonesia pada
tahun 2004 merupakan pemilihan yang pertama yang dilakukan secara langsung
dipilih oleh rakyat. Alasan utama mengubah sistem parlementer menjadi sistem
presidensial adalah preseden dalam Pemilu 1999, dimana PDIP sebagai partai
pemenang ternyata gagal meraih jabatan Presiden melalui pemungutan suara di
MPR. Sebaliknya sebagaimana telah dilihat, banyak partai yang membentuk satu
koalisi, mencalonkan seorang presiden dari partai yang jauh lebih kecil, dan
mengalahkan calon dari partai yang memiliki suara terbanyak. Pilpres tak
langsung ini memunculkan ketidakpuasan ditingkat elit dan kalangan publik.
Banyak kelompok di masyarakat yang mengungkapkan kekecewaannya melihat proses
pilpres di MPR itu lebih mencerminkan kepentingan elit daripada pemilih.
Menanggapi semua kritik dan kekecewaan itu,
MPR mengamandemen konstitusi pada 2001 demi mengakomodasi gagasan pilpres
langsung. Amandemen ini menandai transformasi kesistem presidensial. Dua tahun
kemudian DPR mengeluarkan undang-undang baru tentang pilpres yang memberikan panduan
proseduralnya. Salah satu syarat pentingnya adalah para calon presiden (Capres)
harus berasal dari partai politik dan tidak memberi kesempatan kepada calon
independen. Undang-undang itu juga menetapkan kriteria kelayakan bahwa hanya
partai dengan minimal tiga persen kursi parlemen atau lima persen dari total
suara yang dapat mengajukan capres sendiri. Sebaliknya partai yang tidak
memenuhi kriteria ini diperbolehkan mengajukan calon jika mampu membentuk
koalisi hingga memenuhi ambang batas tersebut. Secara prosedural, pilpres ini
digelar dua putaran. Hanya pasangan Capres-Cawapres yang memperoleh suara
terbanyak pada urutan pertama dan kedua yang diizinkan bersaing dalam putaran
kedua.
Kriteria kelayakan tersebut, beserta hasil
Pemilu legislatif 2004, memaksa mayoritas partai membentuk koalisi. Jelas,
partai-partai menengah dann kecil sulit memenangi Pilpres jika mereka
menghindari koalisi. Oleh sebab itu, demi kemenangan politik, semua partai,
termasuk dua partai besar terbesar, yaitu Golkar dan PDIP membentuk koalisi.
Namun melihat empat koalisi partai pendukung
yang muncul dan melihat latarbelakang pasangan Capres-Cawapres dipanggung
politik. Dari koalisi tersebut hampir tidak ada koalisi yang murni berbasis
ideologi. Dan tiap pasangan Capres-Cawapres merupakan kombinasi dari pemimpin
partai dan tokoh terkenal yang mewakili kedua spektrum ideologis, yaitu
sekuler/nasionalis dan Islam.
Kekuatan koalisi pertama merupakan koalisi
partai pengusung dan pendukung pasangan Wiranto-Shalahudin Wahid yang terdiri
atas PKB, PKPB, PPNUI, Partai Patriot Pancasila, dan Partai Golkar.
Partai-partai ini merupakan partai yang berada dalam titik tengah garis
sekuler-islam, yang masing-masing dapat bergerak kekutub sekuler maupun Islam.
Jika asumsinya mesin politik partai dapat berjalan dengan optimal, berdasarkan
akumulasi perolehan suara partai pada pemilu legislatif, akumulasi kekuatan
partai politik ini lebih dari 40 juta suara rakyat. Namun, nyatanya hasil
pemilihan presiden putaran pertama, pasangan Wiranto-Shalahudin Wahid yang
didukung koalisi besar itu tidak mencapai 15 juta suara pemilih. Padahal
komposisi kekuatan koalisi ini merupakan koalisi terbesar berdasarkan perolehan
suara pada pemilu legislatif.
Kekuatan koalisi kedua merupakan koalisi dua
partai antara PDIP dan PDS. Koalisi ini merupakan pendukung pasangan Megawati
dan Hasyim Muzadi. Kedua partai tersebut merupakan partai sekuler/nasional. PDS
yang didirikan setelah Pemilu 1999 adalah partai berbasis Kristen. Suara yang
diperoleh pasangan ini justru melebihi akumulasi perolehan suara PDIP dan PDS
yang hanya sekitar 23 juta suara. Pada pemilihan presiden dan wakil presiden
putaran pertama, pasangan yang didukung koalisi dua partai ini menapai lebih
dari 31 juta pemilih.
Selanjutnya koalisi ketiga tergabung dalam
koalisi pendukung pasangan Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo. Koalisi partai
politik ini merupakan koalisi yang paling banyak jumlah partainya, terutama
partai-partai kecil. Anggota koalisi ini, antara lain PAN, PBR, PSI, PNI
Marhaenisme, PPDI, PNBK, PBSD, dan terakhir PKS ikut bergabung beberapa hari
menjelang pemungutan suara. Akumulasi perolehan suara partai pada pemilu
legislatif yang tergabung dalam koalisi ini hampir 23 juta. Namun hasil
pemungutan suara pemilihan presiden putaran pertama, pasangan ini hanya
memperoleh sekitar 17 juta pemilih.
Dan terakhir koalisi keempat adalah koalisi
pendukung pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Koalisi ini
terdiri atas tiga partai, yaitu Partai Demokrat, PBB, dan PKPI. Selisih antara
akumulasi perolehan suara partai koalisi pada pemilu legislatif dengan
perolehan pasangan calon ini sangat jauh. Total gabungan suara Partai Demokrat,
PBB, dan PKPI di pemilu legislatif tidak mencapai 13 juta pemilih, tetapi pada
pemilihan presiden putaran pertama pasangan ini mampu menghasilkan suara 40
juta dan berada pada posisi tingkat pertama dari kelima pasangan. Koalisi ini
bahkan berhasil mengantarkan calonnya menuju pemilihan presiden putaran kedua
yang bersaing dengan pasangan Megawati Soekarno Putri dan Hasyim Muzadi.
Tags
Psikologi Politik