Sistem Patriarkhi dalam keluarga adalah
sebuah sistem dalam keluarga yang menjadi dominan adalah laki-laki. Menurut
Herdi Hartman, patriarkhi merupakan relasi hirarkis antara laki-laki dan
perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi
subordinat. Menurutnya patriarkhi adalah merupakan suatu relasi hirarkis dan
semacam forum solidaritas antara laki-laki yang mempunyai landasan materil
serta memungkinkan mereka untuk mengontrol perempuan. Sedangkan menurut Nancy
Chodorow, perbedaan fisik secara sistematis antara laki-laki dan perempuan
mendukung laki-laki untuk menolak feminitas dan untuk semua emosional berjarak
dari perempuan dan memisahkan laki-laki dan perempuan. Konsekuensi sosialnya
adalah laki-laki mendominasi perempuan dan pada intinya secara natural
laki-laki itu superior dan perempuan inferior, yang superior mengatur yang
inferior dan inferior harus rela untuk diatur.
Keluarga merupakan konstruksi awal dari
struktur patriarkhi dan menempatkan perempuan pada posisi yang subordinat,
telah menjadi penghalang utama untuk memperoleh kesempatan posisi dan peran
yang lebih baik. Struktur yang timpang ini selalu menempatkan laki-laki pada
posisi dan peran yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Hal ini telah
memberi basis kekuasaan pada laki-laki yang secara langsung menegaskan
superioritas laki-laki. Dalam keluarga, perempuan ditetapkan sebagai pihak yang
dipimpin sedangkan laki-laki adalah pemimpin. Akibatnya, perempuan tidak
memiliki hak untuk memutuskan sesuatu dalam keluarga.
Menurut Dair dalam Djanan (2003) mengatakan
bahwa dalam pandangan masyarakat Indonesia, suami adalah orang yang memiliki
kekuasaan dalam keluarga. Artinya suamilah yang memiliki pengaruh terhadap
istri dan anggota keluarga lainnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kekuasaan
suami di dalam perkawinan terjadi karena unsur-unsur kultural dimana terdapat
norma-norma dalam kebudayan yang memberi pengaruh menguntungkan suami.
Kekuasaan suami yang tinggi terhadap istri juga dipengaruhi oleh penguasaan
suami dalam sistem keuangan. Suami sebagai pencari nafkah dan mengurusi ekonomi
sedangkan istri bertugas melaksanakan pekerjaan rumah tangga. Sehingga otoritas
ekonomi dalam keluarga ada di tangan suami.
Dalam poligami walaupun ada keyakinan bahwa
poligami merupakan kekerasan terhadap wanita tetapi sangat sulit bagi perempuan
untuk menolak poligami. Hal ini terjadi karena kekuasaan patriarkhi terus
menurus disokong oleh sistem simbol yang membutakan perempuan dan laki-laki
akan suatu tatanan hubungan laki dan perempuan yang lebih demokratis. Jaques
Lacan mengatakan bahwa setiap masyarakat diatur lewat suatu rangkain tanda
(simbol) yang saling berhubungan, serta peranan-peranan dan ritual-ritual yang
ada di masyarakat atau yang disebut “aturan simbolis”. Aturan simbolis ini
terus menerus memproduksi aturan main dalam masyarakat, termasuk hubungan
laki-laki dan perempuan.
Aturan simbolis yang mengatur sistem
masyarakat lahir dari proses bekerjanya tatanan kemasyarakatan (social order)
sebagai norma yang mengatur tata cara warganya berhubungan satu sama lain dalam
aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dalam masyarakat Indonesia
terdapat suatu norma-norma yang sensitifitasnya rendah terhadap kepentingan
perempuan dalam kasus poligami yakni norma agama (terutama Islam), hukum dan
tradisi atau adat (Farida dalam Jurnal Perempuan, 2002).
Dalam struktur sosial yang patriarkhi,
perempuan cenderung selalu mengalah pada suami. Ini merupakan tindakan yang
dilakukan perempuan untuk mempertahankan keutuhan dan keharmonisan keluarga.
Ideologi patriarkhi tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang menganut sistem
patrilineal dimana laki-laki pada sistem ini menjadi tokoh penting dan dominan
dalam keluarga termasuk dalam bidang kekuasaan dalam rumah tangga sehingga
perempuan menjadi sangat tergantung pada laki-laki. Dalam masyarakat ada
stereotipe yang melekat bahwa seorang istri hanya bertugas untuk melayani
suami, patuh terhadap suami dan stereotipe terhadap perempuan ini terjadi pada
level dan segmen masyarakat, diantaranya Peraturan Pemerintah, Aturan
keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan. Akar dari
stereotipe yang melahirkan ketidakadilan ini berawal dari kebijakan yang
dilahirkan dari budaya patriarkhi, dimana laki-laki mendapatkan kekuasaan penuh
untuk dapat mengatur peran dan fungsi perempuan dalam keluarga (Mosse, 1996).
Tags
Psikologi Keluarga