Sistem multi-partai di Indonesia mempunyai
sejarah yang sangat panjang. Kata partai politik berasal dari kata pars dalam
bahasa latin, yang berarti bagian. Defenisi tertua mengenai partai politik
mungkin bisa dirujuk dari pendapat Edmund Burke, tokoh politik Inggris
(1729-1797) Burke pada tahun 1771 menulis bahwa partai politik merupakan
kumpulan orang-orang yang bertujuan untuk mempromosikan, dengan usaha
bersama-sama, kepentingan nasional berdasarkan beberapa prinsip khusus yang
telah mereka setujui bersama.
Partai politik merupakan salah satu institusi
inti dari pelaksanaan demokrasi modern. Demokrasi modern mengandaikan sebuah
sistem yang disebut keterwakilan (representativeness), baik keterwakilan dalam
lembaga formal kenegaraan seperti parlemen (DPR/DPRD) maupun keterwakilan
aspirasi masyarakat dalam institusi kepartaian. Berbeda dengan demokrasi
langsung sebagaimana dipraktikan dimasa Yunani Kuno, demokrasi modern sebagai demokrasi
tidak langsung membutuhkan media penyampai pesan politik kepada negara
(pemerintah). Media yang berupa institusi tersebut biasa kita sebut sebagai partai
politik dan keberadaannya diatur dalam konstitusi negara modern. Mengingat
fungsi partai politik yang begitu penting, sering bahkan keberadaan dan
kinerjanya merupakan ukuran mutlak bagaimana demokrasi berkembang disuatu
negara.
Defenisi partai politik berdasarkan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Pasal 1 Huruf 1 mendefinisikan partai politik
sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa, dan Negara,serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu Ramlan Surbakti mendefinisikan
partai politik adalah sekelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan
stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu dan yang
berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui
pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah guna melaksanakan alternative
kebijakan umum yang mereka susun, sebagai hasil dari pemaduan berbagai
kepentingan yang hidup dalam masyarakat.
Sistem kepartaian merupakan suatu mekanisme
interaksi antar partai politik dalam sebuah sistem politik yang berjalan.
Maksudnya, karena tujuan utama dari partai politik adalah mencari dan
mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program disusun berdasarkan
ideologi tertentu, maka untuk merelisasikan program-program tersebut
partai-partai politik yang ada berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam
suatu sistem kepartaian.
Terdapat beberapa sistem kepartaian yang
dapat digunakan dalam merelasasikan interaksi antar partai daloam suatu sistem
politik yakni one-party system ( Sistem satu partai ), two-party system (
sistem dua partai ) serta multiparty system ( sistem banyak partai ). Indonesia
pasca reformasi telah menganut sistem Multi-partai dimana, dalam sistem
multipartai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan perwakilan berimbang
(proportional representation) yang memberikan kesempatan luas bagi pertumbuhan
partai-partai dan golongangolongan kecil. Melalui sistem ini partai-partai
kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang
diperolehnya disuatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk
menggenapkan jumlah suara yang 30 Undang-undang nomor 2 tahun 2008 pasal 1 diperlukan.
Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang
sangat tinggi dan memiliki pluralitas sosial yang sangat kompleks. Komposisi
masyarakat Indonesia terdiri atas suku, agama, dan identitas agama yang sangat
majemuk. Struktur sosial masyarakat hampir memiliki hubungan searah dengan
tipologi partai politik diIndonesia hal ini dibuktikan dari partai politik di
Indonesia yang kebanyakan masih dilandasi faktor ideologi dan faktor identitas
politik tertentu. Idealnya sesuai dengan fungsi dan tujuannya partai politik
didirikan sebagai wadah artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. Dalam
sistem multi partai, partai yang dominan lebih banyak, bukan hanya dua partai,
dan partai-partai kecil yang memiliki eksistensi berjuang dalam setiap pemilu.
Partai-partai politik yang beredar, merupakan representasi dari ideologi rakyat
meskipun titik berat sumber ideologinya berbeda-beda, dan bukan sebagai
ideologi politik saja, misalnya berbasis agama, nasionalisme, status
sosial-ekonomi, dan sebagainya.Sistem kepartaian ini memungkinkan terjadinya
koalisi antar partai, untuk membentuk pemerintahan setelah pemilu diadakan.
Adapun jabatan-jabatan publik terutama dilembaga eksekutif, merupakan hasil
tawar menawar antara partai politik pembentuk koalisi dipemerintahan, sehingga
posisi-posisi dipemerintahan diisi oleh kader-kader dari berbagai partai
politik.
Partai-partai dianggap memainkan peranan
menyeluruh sebelum, selama, dan sesudah pemilu. Berbeda dengan kelompok-kelompok
kepentingan, partai-partai menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara
luas. Mereka mengidentifikasi, memilah, menentukan, dan mengarahkan pelbagai
kepentingan tersebut menuju cara-cara bertindak yang dapat dipilih oleh para
pemilih dan pemerintah. Partai-partai yang bersaing mengemukakan
program-program lintas kebijakan didalam konteks persaingan memperebutkan
pemerintahan. Program-program itu menstrukturkan pilihan para pemilih. Sekali
telah duduk dipemerintahan, partai-partai merupakan lembaga pengorganisir utama
yang membentuk, melaksanakan dan mengawasi proses penyusunan kebijakan, artinya
piilihan suatu kebijakan diperhitungkan atas dasar banyak criteria dan
masingmasing criteria memiliki nilai bobot (weight) yang berbeda menurut
kondisi, situasi dan posisi.
Program-program pemilu formal merupakan
pernyataan paling jelas yang bisa diperoleh, yang berisi kehendak-kehendak
kebijakan yang dikemukakan oleh pemimpinan partai-partai yang tengah bersaing.
Program-program partai dapat mengantisipasi kebijakan melalui dua cara yaitu
lewat agenda dan lewat mandat. Agenda kebijakan yang berlaku beserta evolusinya
bisa ditelusuri lewat programprogram dari serangkaian partai-partai di sebuah
negara. Validitas agenda yang dipresentasikan partai-partai diukur dengan
sejauh manakah kebijakan mengikuti jalan yang serupa dengan yang ditempuh
program-program partai. Dengan begitu, partai merupakan artikulator agenda
kebijakan yang efektif sejauh profil pelbagai kebijakan yang diberlakukan
pemerintah mencerminkan profil pelbagai partai kepada khalayak pemilih. Secara
kolektif dari waktu kewaktu, partai-partai yang bersaing disuatu negara
menyajikan suatu satuan perhatian yang programatis yang berubah, yang
membuktikan terjadinya pergeseran batas-batas diskursus kebijakan. Jika hal
tersebut juga berhubungan dengan batas-batas tindakan pemerintah yang berubah,
maka akan dapat dinyatakan bahwa partai-partai telah menciptakan agenda yang
efektif, dari proses persaingan dan dengan adanya agenda yang dibentuk secara
publik.
Meskipun ia bukan merupakan pelaksana dari
suatu pemerintahan, namun keberadaannya akan mempengaruhi bagaimana dan kearah
mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan. Terutama bagi partai pemenang
pemilihan atau partai berkuasa dan partai oposisi yang berjalan efektif, partai
politik merupakan pelaksana pemerintah yang tersembuyi. Keberadaannya
mempengaruhi ragam kebijakan yang dikembangkan. Karena itu bisa dikatakan bahwa
kegagalan sekaligus keberhasilan suatu pemerintahan dalam melayani dan
memakmurkan masyarakatnya adalah kegagalan dan keberhasilan partai politik
menjalankan fungsinya secara efektif.
Sejarah sistem multi partai di Indonesia
merupakan Implementasi tuntutan reformasi terhadap kebebasan berpartai atau
mendirikan partai politik dimulai sejak pemilu 1999, Pemilu 1999 memang bukan
satu-satunya penyelesaian segenap permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang
melanda negara kita saat ini, apalagi akhir dari proses reformasi itu sendiri.
Namun, Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pasca reformasi. Kebebasan
berpartai politik ini terekspresi dengan banyaknya jumlah partai politik, ada
180 partai baru berdiri, meskipun hanya 142 partai yang dapat didaftarkan, dan
hanya 48 yang lolos ikut bertarung dalam pemilu 1999.
Partai politik di Indonesia pada periode
1999-2004 belum dapat dibedakan secara jelas dari sejumlah indikator tersebut
melainkan lebih dapat dibedakan dari sentimen dan konflik kelompok saja. Partai
politik di Indonesia lebih terkesan sebagai organisasi pengurus yang sering
bertikai daripada organisasi yang hidup karena dinamika partai sebagai gerakan
anggota. Walaupun Pasal UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik mewajibkan
setiap partai politik untuk mendaftar dan memelihara daftar anggotanya, tidak
banyak partai politik yang melaksanakan amanat UU tersebut. Hal ini terjadi
tidak saja karena banyak anggota rnasyarakat yang enggan mendaftarkan diri
sebagai anggota partai tetapi juga karena partai politik sendiri tidak
melakukan berbagai upaya yang membangkitkan minat menjadi anggota partai
politik. Insentif menjadi anggota partai polilik, seperti ikut menentukan siapa
yang menjadi pengurus partai, ikut menentukan siapa yang menjadi calon partai
untuk pemilihan anggota dewan ataupun kepala pemerintahan pada tingkat nasional
dan daerah, ikut menentukan kebijakan partai dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, dan dapat menyalurkan aspirasi melalui partai politik,
kurang dijamin secara memadai.
Karena partai politik tidak memiliki jumlah
anggota yang jelas, maka yang terjadi kebanyakan berupa klaim jumlah anggota
atau jumlah pendukung. Tidaklah mengherankan apabila banyak pihak mendirikan
partai politik karena yang diperlukan hanyalah klaim jumlah saja. Karena itu
dalam UU Partai Politik yang akan datang perlu ditetapkan persyaratan jumlah
anggota baik sebagai persyaratan mendirikan partai politik maupun unluk ikut
serta dalam pemilihan umum.
Perpecahan yang terjadi dalam partai politik,
dapat dikatakan tidak ada yang menyangkut perbedaan ideologi ataupun karena
perbedaan pola dan arah kebijakan yang hendak ditempuh. Pada pemilu tahun 2004,
UU yang digunakan adalah UU no 31 tahun 2002 dimana menurut UU no 31 tahun 2002
pasal 1, Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok
warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan
negara melalui pemilihan umum.
UU
no 31 tahun 2002 mengatur perihal pendirian partai politik Pasal 2:
- Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun ke atas dengan akta notaris.
- Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta kepengurusan tingkat nasional.
- Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada
Departemen
Kehakiman dengan syarat:
- Memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya;
- Mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua lima puluh persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan;
- Memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang dan tanda gambar partai politik lain; dan
- Memiliki kantor tetap.
UU pasal 31 tahun 2002 mengisyaratkan tentang
betapa mudahnya mendirikan partai politik di Indonesia yang membuat menjamurnya
partai politik pasca reformasi 1998. Pada Pemilu 2004 ada 24 partai politik
yang menjadi peserta pemilu yang melalui 3 tahap penyaringan. Penyaringan tahap
pertama dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di
sini tujuan penyaringan adalah memberikan status atau pengesahan partai politik
sebagai sebuah badan hukum. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang
dinyatakan lulus penyaringan. Penyaringan tahap kedua adalah verifikasi
administratif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penyaringan tahap ketiga adalah
verifikasi faktual. Pada tahap ini yang diteliti adalah memastikan apakah benar
dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di dalam
verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. Setelah keseluruhan
proses verifikasi selesai terpilih 24 partai politik.
Salah satu perbedaan penting pemilu anggota
legislatif (DPR/DPRD) tahun 2004 dari pemilu-pemilu sebelumnya adalah dalam
penentuan calon terpilih. Undang-undang no.12 tahun 2003 tentang pemilu
legislatif menentukan dua cara penetapan calon terpilih. Cara pertama
berdasarkan angka bilangan pembagi pemilih (BPP). Calon yang memperoleh suara
melebihi atau sama dengan BPP terlebih dahulu ditetapkan sebagai calon
terpilih. Sementara mereka yang tidak mencapai angka BPP ditetapkan berdasarkan
nomor urut, dan bukan berdasarkan 37 UU no 31 tahun 2002 banyaknya suara yang
diperoleh, dari daftar calon yang diajukan partai politik peserta pemilu di masing-masing
daerah pemilihan (constituency).
Penggunaan metode tersebut tak lepas dari
dorongan dan tekanan untuk memperbaiki sistem rekrutmen politik. Pada
pemilu-pemilu orde baru dan pemilu 1999, calon terpilih berada ditangan elite
partai politik sehingga aspirasi dan kepentingan masyarakat tentang siapa yang
layak menjadi calon legislative cenderung difait accompli oleh partai-partai
politik.
Pada
pemilu 2004, kombinasi dari UU no 31 tahun 2004 tentang partai politik adalah
UU no 23 tahun 2003 tentang Mekanisme pencalonan Presiden dan wakil presiden.
Menurut UU no 23 tahun 2003, Bab II pasal 5 ayat 1-4 yaitu:
- Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah Pasangan Calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
- Pengumuman calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden atau Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dapat dilaksanakan bersamaan dengan penyampaian daftar calon anggota DPR kepada KPU.
- Pendaftaran Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan perolehan kursi DPR atau perolehan suara sah yang ditentukan oleh undangundang ini kepada KPU.
- Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.
UU no 23 tahun 2004 mengisyaratkan bahwa
satu-satunya cara untuk mendaftarkan diri sebagi pasanagan presiden dan wakil
presiden adalah melalui mekanisme partai politik atau gabungan partai politik
di Indonesia. Koalisi yang terjadi pada pemilihan presiden tahun 2004 tidak
dapat di hindari karena pada pemilu tahun 2004 praktis hanya satu partai yang
memenuhi syarat tunggal dalam pencalonan Presiden yaitu Partai golongan karya
dengan 24.480.757 suara atau 21,58% dengan 128 kursi, di ikuti oleh PDI
Perjuangan dengan perolehan 21.026.629 atau 18,53% mendapatkan 109 kursi,
Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 atau 10,57% mendapatkan 52 kursi, Partai
Persatuan Pembangunan 9.248.764 atau 8,15% mendapatkan 57 kursi, Partai
Demokrat 8.455.225 atau 7.45% mendapatkan 57 kursi, Partai Keadilan Sejahtera
8.325.020 atau 7,34% mendapatkan 45 kursi dan Partai Amanat Nasional
mendapatkan 7.303.324 atau 6,44% mendapatkan 52 kursi.41 Kondisi ini berlanjut
Pada pemilu 2009 peserta partai politik terdiri dari 34 partai nasional, dan 6
partai lokal. Pemenang dari pemilu 2009 tersebut adalah Partai Demokrat
21.703.137 suara atau 20,85% dengan 150 kursi, Partai Golkar 15.037.757 suara
atau 14,45 % dengan 107 kursi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan
14.600.091 suara, atau 14,03% dengan 95 kursi, Partai Keadilan Sejahtera dengan
8.206.955 suara, atau 7,88 % dengan 57 kursi, Partai Amanat Nasional dengan
6.254.580 suara atau 6,01 % dengan 43 kursi, Partai Persatuan Pembangunan
dengan 5.533.214 suara, atau 5,32% dengan 37 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa
dengan 5.146.122 suara atau 4,94% dengan 27 kursi, Partai Gerakan Indonesia
Raya dengan 4.646.406 suara, atau 4,46% dengan 26 kursi, Partai Hati Nurani
Rakyat dengan 3,922.870 suara atau 3,77% dengan 18 kursi.
Perkembangan penerapan sistem multipartai
pada masa reformasi disertai dengan karakteristik rendahnya tingkat pelembagaan
partai, terfragmentasinya kekuatan politik di parlemen, dan munculnya koalisi
sebagai akibat dari sulitnya mencapai suara mayoritas di parlemen. Dan lebih
jelasnya karakteristiristik yang menyertai perjalanan reformasi di Indonesia,
pertama, konvergensi dan konflik internal partai yang ditandai dengan selalu
berubahnya jumlah partai politik dan fenomena perpecahan atau konflik intenal
partai. Kedua, suburnya oligarki elite dan personalisasi figur (untuk beberapa
kasus partai politik) dalam organisasi partai politik serta disloyalitas
politisi dan sentralisasi struktur organisasi partai politik. Ketiga,
konfigurasi kekuatan politik diparlemen terfragmentasi dengan jumlah kekuatan
politik yang terpolarisasi sehingga menyebabkan sulitnya mencapai suara
mayoritas. Keempat, munculnya koalisi partai dengan ikatan yang bersifat
sementara, yang didasarkan oleh kepentingan segelintir elit partai bukan dikarenakan
kesamaan ideologi dan tujuan partai.