Sejarah perkembangan hak asasi manusia (HAM)
di dunia sudah sangat panjang. Pemikiran mengenai hak-hak asasi manusia di
dunia Barat diperkirakan erat kaitannya pada pemikiran pada abad ke-XVII dan
abad ke XVIII. Konsep mengenai hak suci raja (Dwine rights of kings) yang
memberikan kesewenang-wenangan kepada raja untuk menjalankan pemerintahan
secara absolut, mulai dipertanyakan keabsahannya karena dengan konsep demikin
layak raja melakukan tindakan yang sewenang-wenang dan menjatuhkan hukuman
tanpa adanya proses pengadilan dan membuat peraturan-peraturan berdasarkan apa
yang dianggap baik bagi seluruh rakyatnya.
Kaum cendikiawan mulai merasakan perlu adanya
hubungan yang lebih rasional antara rakyat dan rajanya, bukan hanya melulu
beranggapan bahwa raja adalah utusan Tuhan dan segala perintahnya tidak boleh
dibantah, karena perintahnya adalah perintah Tuhan juga. Hubungan rasional itu
adalah hubungan yang berupa kontrak antara raja dan rakyatnya, ini sesuai
dengan suasana di Eropa yang pada saat itu dengan timbulnya perdagangan antar
kerajaan , yang mana hubungannya dilaksanakan dengan adanya kontrak kerjasama.
Banyaknya teori-teori yang lahir sehubungan
dengan dipertanyakan keberadaan hak asasi manusia, ada teori yang menentang dan
ada teori yang mendukung dengan keberadaan hak-hak asasi manusia. Seperti
pendapat dari Aurice Cranston, seorang pengamat hak-hak asasi manusia
mengatakan bahwa absolutisme manusia untuk menuntut hak-hak asasi manusia ,
atau hak alam ini justru karena manusia menyangkanya. Tetapi adapula sangkalan
terhadap keberadaan daripada hak asasi manusia ini, seperti orang-orang
konservatif dari Inggris, Edumund Burke dan David Hume yang bersatu dengan
Jeremy Bentham yang beralliran liberal untuk mengutuk doktrin ini, mereka
mengatakan bahwa kekhawatiran publik atas tuntutan-tuntutan terhadap hak-hak
ilmiah akan menimbulkan pergolakan sosial dan keprihatinan terhadap adanya
bahwa deklarasi dan proklamasi hak-hak ilmiah akan menggantikan
perundang-undangan yang efektif.
David Burke di dalam karyanya “Reflection on
the Revolution in France (1970)” membantah bahwa Rights of Man dapat diturunkan
dariNya, dia juga mengkritik para penyusun “ Declaration of the Rights of Man
and Citizen” karena memproklamasikan fiksi yang menakutkan mengenai persamaan
manusia yang menurutnya hanya berfungsi mengilhami ide-ide yang tidak benar dan
harapan yang sia-sia pada manusia yang telah ditakdirkan untuk perjalanan
kehidupan yang tidak jelas dan susah payah.
Jeremy Bentham salah satu pendiri
utilitarianisme dan seorang yang tidak percaya mengajukan argumennya yang
mengatakan bahwa “hak adalah anak hukum-hukum imajiner, maka hak-hak alammiah
itu adalah omong kosong semata, omong kosong diatas jangkauan dan omong kosong
retorik”. David Hume setuju dengan pendapat Jeremy Bentham yang mana ia
mengatakan bahwa hak-hak alamiah tersebut adalah fenomena metafisik belaka.
Kemudian seorang idealis Inggris yang bernama
F.H Bradley mengatakan bahwa “hak-hak asasi perorangan dewasa ini tidak perlu
mendapat pertimbangan yang serius kesejahteraan komunitas merupakan tujuan dan
merupakan standar akhir.
Teori di atas sangat menyesatkan, karena
teori di atas menggangap bahwa manusia itu tidak mempunyai arti sama sekali,
paham atas teori inilah yang akan menimbulkan negara totaliter dan negara
diktator. Karena di dalam teori ini memandang manusia sebagai objek dan tidak
mempunyai arti apa-apa.
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran lain yang
setuju atas eksisten dari filsuf-filsuf yang beraliran liberalisme seperti John
Locke (1632-1704), Hobbes (1588-1679), Montesquiue (1689-1755) dan Rosseau
(1712-1778). Walaupun mereka mempunyai perbedaan penafsiran umum secara
mendasar mereka membayangkan bahwa manusia hidup di dalam suatu keadaan alam
(state of nature) dan memiliki hak-hak alam. Oleh karena perlu adanya suatu
lembaga yang dapat menjamin terlaksananya dan langgengnya hak-hak alam manusia
ini maka manusia mengadakan kontrak dengan suatu institusi atau lembaga yang
dalam hal ini disebut sebagai negara dimana lembaga yang disebut negara
diwakili oleh orang-orang yang menamakan dirinya penguasa dan berdasarkan
sosial ini, maka penguasa tersebut menjalankan pemerintahan yang bertujuan
untuk melindungi hak-hak alam dari manusia tersebut, dengan adanya kontrak
antara manusia dengan penguasa tersebuut, maka manusia memberikan sebagian dari
haknya kepada penguasa tersebut dan penguasa memberikan peraturan-peraturan
yang diikuti oleh manusia-manusia yang dalam hal ini disebut sebagai
masyarakat, agar haknya dapat dilindungi.
John Locke merumuskan dengan lebih jelas
hak-hak alam itu yaitu hak atas hidup, kebebasan dan milik (life liberty and
property) serta pemikiran bahwa penguasa itu mesti memerintah atas persetujuan
rakyat (government by consent) , sedangkan Montesquie lebih menekankan perlu
adanya pembagian kekuasaan sebagai sarana untuk menjamin adanya perlindungan
terhadap hak-hak sipil. Yang teorinya lebih dikenal dengan Trias Politica. Pada
zaman itu (abad ke17 dan 18), perumusan hak-hak tersebut sangatlah besar
terpengaruhi oleh ide ataupun pemikiran tentang hukum alam (natur law) dan
pemikiran yang dicoba oleh John Locke (1632-1741) tersebut dan Jean Jaques
Rousseau (1712-1778) terlihat hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis
seperti persamaan hak, hak atas kebebasan dan lain-lain.
Pada
saat itu John Locke telah membuat pemisahan kekuasaan yaitu:
- Kekuasaan Legislatif
- Kekuasaan Eksekutif
- Kekuasaan Federatif
Hal ini bertujuan untuk adanya hak rakyat
(hak asasi) rakyat di pemerintahan serta setiap orang tentu mendapat tempat
yang sama dalam pemerintahan. Demikian juga halnya dengan Rosseau yang
berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan bebas dan merdeka, sederajat dan semua
hasilnya adalah ditentukan oleh diri pribadi manusia tersebut seperti terdapat
dalam bukunya “du contract social”.
A.H Robertson dalam bukunya yang berjudul
‘Human Rights in The World” yang berbunyi:
“
It is at the beginning of ninth that we see the first international texts
relating to what we should now call a human rights problem. This problem was
slavery”. (Pada awal abad ke 19, kita mulai memperhatikan adanya ketentuan
internasional yang berhubungan dengan problem hak-hak asasi manusia. Problem
ini adalah perbudakan).
Sesuai dengan pernyataan di atas bahwa saat
itu dunia ditarik perhatiannya terhadap dunia perbudakan pada abad ke 19 yang
sudah jelas merupakan indikasi sebuah perampasan hak asasi manusia yaitu
kemerdekannya. Realisasi dari adanya anti perbudakan ini telah berhasil
dituangkan dalam penandatanganan undang-undang antiperbudakan dalam Konferensi
yang diadakan di Brussel pada tahun 1890 yang telah diratifikasi oleh beberapa
negara, termasuk oleh Amerika Serikat, Turki dan Zanzibar. Jalannya sejarah
juga semakin diperkaya dengan keluarnya German-Polish Convention on Upper
Silesia pada tanggal 15 Mei 1992, yaitu tentang Perlindungan Hak-Hak Asasi
terhadap Golongan Minoritas. A.H Robertson kembali dalam bukunya yang sama
mengatakan:
“Generally
speaking these various arrangements for the protection of the rights of
minorities provided for equality before the law in regard to civiil and
political rights , freedom of religion, the right of members of the minorities
to use their own language and the right to maintain their own religious and educational
establishment”. (Secara umum dapat dikatakan bahwa berbagai macam usaha-usaha
ini untuk perlindungan terhadap hak-hak golongan minoritas dalam hak-hak sipil
dan politik , kebebasan dalam beragama, hak dari golongan minoritas untuk
menggunakan bahasa mereka dan hak untuk beragama serta pembangunan terhadap
pendidikan).
“Secara umum dapat dikatakan bahwa berbagai
macam usaha-usaha ini untuk perlindungan terhadap hak-hak golongan minoritas
dalam hak-hak sipil dan politik , kebebasan dalam beragama, hak dari golongan
minoritas untuk menggunakan bahasa mereka dan hak untuk beragama serta
pembangunan terhadap pendidikan”. Manusia mulai memikirkan adanya batasan akan
beberapa hak-hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya.
Presiden Franklin D.Roossevelt dari Amerika
Serikat telah berhasil merumuskan hak-hak tersebut dengan istilah “The Four
Freedom” atau empat kebebasan yaitu kebebasan unutk berbicara dan menyatakan
pendapat, kebebasan beragama, kebebasan dari ketakutan dan kebebasan dari
kemelaratan.
Namun demikian permasalahan mengenai hak-hak
asasi manusia ini perlu dibicarakan di tahun-tahun sebelumnya di Inggris dengan
ditandatanganinya Magna Charta tahun 1215, antara Raja John dengan sejumlah
bangsawan yang memberikan jaminan terhadap hak kepada mereka yang antara lain
mencakup hak-hak politik dan sipil yang mendasar, seperti tidak akan
dipenjarakan tanpa pemeriksaan di forum peradilan dan hanya berlaku bagi para
bangsawan.
Pergerakan ini berlanjut di tahun 1628, masih
di negara yang sama yaitu Inggris raja Charles I yang pada saat tiu adalah
sebagai Raja Inggris, menandatangani Petition of Rights. Hasilnya adalah Raja
Charles I duduk bersama utusan-utusan atau para wakil rakyat di parlemen (House
of Common) dalam menjalankan tujuan negara. Petition of Rights merupakan
kewenangan bagi pihak rakyat. Karena diberikan kesempatan untuk turut serta
bersama raja Inggris dalam menjalankan tugas kenegaraan, dan diberikan
kesempatan untuk menyampaikan aspirasi para rakyat melalui utusan yang dipilih.
Lahirnya Petition of Rights memacu
perkembangan pemikiran masyarakat di Inggris, bahwa manusia terlahir bebas dan
memiliki sejumlah hak. Pada tahun 1689, lahirlah Bill of Rights. Hal ini
timbul, karena pada saat itu terjadi Revolusi Gemilang (Glorius Revolution) di
Inggris.
Timbulnya pandangan (Adagium) bahwa manusia
sama di muka hukum (equality before the law) pada masa revolusi gemilang. Dan
hal ini harus dapat diwujudkan betapapun besar resiko yang dihadapi.
Bill of Rights menundukkan kekuasaan monarki
di bawah kekuasaan parlemen, dengan menyatakan bahwa kekuasaan raja untuk
membekukan dan memberlakukan sesuai dengan yang diklaim raja adalah ilegal,
juga melarang pemungutan pajak dan pemeliharaan tetap pasukan pada masa damai
oleh raja tanpa persetujuan parlemen.
Perkembangan sejarah HAM ini melahirkan
beberapa teori seperti teori kontrak sosial oleh J.J Rosseau, teori Trias
Politica oleh Montesquieu, teori Hukum Kodrati oleh John Locke, dan hak-hak
dasar kebebasan dan persamaan oleh Thomas Jefferson di Amerika Serikat.
Dua dokumen dasar yang paling penting bagi
hak-hak asasi manusia lahir di dunia Barat. Yang pertama adalah Undang-Undang
Hak Virginia tahun 1776, yang dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar Amerika
Serikat pada tahun 1789. Dan yang kedua adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia dan
Warga Negara Perancis tahun 1789.
Kedua dokumen dasar tersebut memuat sederetan
hak-hak asasi manusia dalam arti kebebasan individu. Seperti Undang-Undang Hak
Virginia yang memuat kebebasan antara lain kebebasan pers, kebebasan beribadat,
dan ketentuan yang menjamin tidak dapat dicabutnya kebebasan seseorang kecuali
berdasarkan hukum setempat atau pertimbangan warga sesamanya.
Deklarasi Perancis pada pasal 2 menyatakan
bahwa sasaran setiap asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang
kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak ini adalah hak atas kebebasan
(liberty), harta (property), keamanan (safety), dan perlawanan terhadap
penindasan (resistance to oppression). Pasal 4 Deklarasi Perancis menyatakan
bahwa kebebasan berarti dapat melakukan apa saja yang tidak dapat merugikan
orang lain. Jadi, pelaksanaan hak-hak kodrati manusia tidak dibatasi, kecuali
oleh batas-batas yang menjamin pelaksanaan hak-hak yang sama bagi anggota
masyarakat lain dan batas-batas ini hanya ditetapkan oleh undang-undang.
Hak-hak ini banyak didasarkan pada
tulisan-tulisan para filsof politik seperti John Locke, Montesquieu, dan Jean
Jacques Rousseau. Setelah melewati berbagai revolusi dan begitu banyak
deklarasi yang dinyatakan oleh beberapa negara maupun melalui konferensi
internasional., maka kedudukan Hak Asasi Manusia menjadi sangat penting dan
menentukan dalam kehidupan ini. Dapat dilihat bahwa tidak ada satupun manusia
yang ingin dibelenggu maupun berada di bawah kekuasaan seseorang dengan cara
paksa (diperbudak).
Berdasarkan berbagai kejadian di dunia
terutama setelah apa yang dilakukan oleh Nazi, maka negara-negara di dunia yang
tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa merasa bahwa Hak Asasi Manusia
adalah bagian yang terpenting. Dalam pasal 1 (satu) dan 2 (dua) Piagam PBB
memang diakui tentang keberadaan HAM. Namun perlu diadakan penyempurnaan
terhadap apa yang diatur dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan, seperti
perlunya menyusun Bill of Rights International (dikenal dengan istilah Truman)
setahun setelah Piagam PBB diberlakukan.
Tugas menyusun Bill of Rights International
(pernyataan tertulis yang memuat hak-hak terpenting warga negara) itu
diserahkan kepada komisi HAM (Commission of Human Rights atau disebut CHR)24.
Yaitu komisi yang bernaung dari ECOSOC atau Economic and Social Council (Dewan
Sosial dan Ekonomi PBB). Komisi ini terdiri atas wakil-wakil negara, dimana
diputuskan bahwa katalog HAM hendaknya berbentuk sebuah Revolusi Majelis Umum
PBB. Inilah sejarah dan latar belakang lahirnya hak-hak asasi manusia di
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ECOSOC kemudian membentuk Komisi Hak-Hak
Asasi Manusia atau CHR pada tahun 1946. Komisi ini dipimpin oleh Eleanor
Roosevelt dari Amerika Serikat dan berkedudukan di Jenewa.
Sejarah HAM ini kemudian berlanjut pada
tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB yang menyetujui dan mengumumkan
Deklarasi Sedunia tenntang Hak Asasi Manusia atau lebih dikenal dengan
Universal Declaration of Human Rights di Palais de Chaillot, Paris. Deklarasi
sedunia ini sifatnya hanya mengikat secara moral dan etis seluruh anggota PBB
maka secara yuridis masih diperlukan perjanjian sebagai hasil keputusan PBB
Tags
HRD
sangat bermakna..
BalasHapus