Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von
Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu
rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
- Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
- Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala
keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
- Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
- Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan
untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
- Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
- Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al, 2001).
Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara
lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor
genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams,
Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan
pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi
dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma
yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan
cara masuknya allergen dibagi atas:
- Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
- Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
- Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
- Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit
inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi
alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau
reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap
sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II
(Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T
helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya
di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada
ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan
bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating
Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi
pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus.
Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
Respon
primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis
antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai
disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi
respon sekunder.
Respon
sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang
mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau
keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi
selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik,
maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
Respon
tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan
tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4
tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe
2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi
(Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Gejala
klinik rinitis alergi, yaitu:
Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar
debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
(self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari
5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada
tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan
pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat
muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau
cair.
Tanda di mata termasuk edema kelopak mata,
kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada
telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai
hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis
granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal
termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev,
ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa:
batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri
wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah
marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis
rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali
serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan
pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali
setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung
tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono,
Kasakayan, 1990).
Pemeriksaan
Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis
Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain
itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering
digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan
rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka
edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan
septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain
itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan
lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
Pemeriksaan
Penunjang
In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat
normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara
pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau
berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk
alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan.
Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge
Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis
alergi
Terapi yang paling ideal adalah
dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
Simptomatis
- Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
- Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
- Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi
rinitis alergi yang sering ialah:
- Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
- Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
- Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
Tags
Patologi