Peran pemerintah dalam pelayanan publik
sangat besar. Keterlibatan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pelayanan masyarakat
berkembang seiring dengan munculnya paham atau pandangan tentang filsafat
Negara. Hal ini diungkapkan oleh Prawirohardjo (1993), dengan mengatakan bahwa:
Semenjak dilaksanakannya cita-cita negara kesejahteraan, maka pemerintah
semakin intensif melakukan campur tangan terhadap interaksi kekuatan-kekuatan
kemasyarakatan dengan tujuan agar setiap warga dapat terjamin kepastian hidup
minimalnya. Oleh karena itu, secara berangsur-berangsur, fungsi awal dari
pemerintahan yang bersifat represif (polisi dan peradilan) kemudian bertambah
dengan fungsi lainnya yang bersifat melayani.
Disadari atau tidak, setiap warga selalu
berhubungan dengan aktivitas birokrasi pemerintah, sehingga keberadaannya
menjadi suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pelayanan birokrasi akan
menyentuh ke berbagai segi kehidupan masyarakat, demikian luasnya cakupan
pelayanan masyarakat yang harus dilaksanakan pemerintah maka mau tidak mau
pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat akan layanan publik.
Fungsi pelayanan yang dijalankan oleh
pemerintah modern saat ini terkait erat dengan tujuan dibentuknya pemerintah,
seperti yang dikemukakan oleh Rasyid (1997) bahwa: Tujuan utama dibentuknya
pemerintah adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban di dalam mana
masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan modern pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidaklah diadakan
untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya dalam mencapai kemajuan bersama.
Lebih lanjut Rasyid (1997) mengemukakan bahwa
pelayanan pada hakekatnya adalah “salah satu dari tiga fungsi hakiki
pemerintahan, disamping fungsi pemberdayaan dan pembangunan. Keberhasilan
seseorang dalam menjalankan misi pemerintahan dapat dilihat dari kemampuannya
mengemban tiga fungsi tersebut. Berkaitan dengan hal itu, maka pemerintah dapat
dikatakan merupakan suatu lembaga yang menyelenggarakan tugas negara
“Pemerintah adalah segenap alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga
kenegaraan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara” (Ndraha,
1990).
Tugas negara atau pemerintah tercermin dalam
struktur serta proses pelaksanaan kegiatan yang tekanannya pada kegiatan
organisasi yaitu untuk mencapai tujuan dan dikerjakan oleh beberapa orang
dengan pembagian tugas tertentu. Tugas mengorganisasi pekerjaan ini dilakukan
dalam birokrasi. Menurut Parson (dalam Supriatna, 1996) megnatakan bahwa
“birokrasi adalah instrumen yang terbaik untuk dapat mencapai tujuan negara
kesejahteraan yaitu dengan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada
masyarakat”. Pertanyaan-pertanyaan etis kemudian muncul sehubungan dengan kurangnya
perhatian pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat. Untuk memperoleh pelayanan
yang paling sederhana saja, masyarakat selalu dihadapkan pada berbagai
kesulitan yang sengaja dibuat-buat.
Pemandangan tentang pelayanan yang tidak
memuaskan ini dapat dilihat hampir disemua instansi pemerintah. Dalam kaitan
ini Kumorotomo (1996) mengatakan: Rutinitas tugas-tugas pelayanan yang
berlebihan kepada pertanggungjawaban formal telah mengakibatkan adanya prosedur
yang kaku dan lamban. Para pegawai tidak lagi merasa terpanggil untukmeningkatkan
efisiensi dan memperbaiki prosedur kerja tetapi justru lebih sering menolak
adanya perubahan. Etos kerja yang cenderung mempertahankan “status quo” ini
telah menimbulkan persepsi masyarakat bahwa berhubungan dengan birokrasi
berarti berhadapan dengan berbagai prosedur yang berbelit, makan waktu dan
menyebalkan. Yang lebih parah prosedur yang berbelit itu acap kali ditunggangi
oleh kepentingan pribadi dijadikan komoditas yang diperdagangkan untuk
kepentingan pribadai maupun kelompok.
Apabila dicermati, kelambanan pelayanan
birokrasi tidak hanya disebabkan oleh kurang baiknya cara pelayanan ditingkat
bawah, faktor lain yang juga mempengaruhi belum baiknya kualitas pelayanan
antara lain adalah prinsip dari organisasi pemerintah yang berorientasi kepada
pelaksanaan dan pertanggungjawaban formal saja, tanpa mempertimbangkan aspek
kualitas. Gaya manajemen yang berorientasi kepada pelaksanaan dan pertanggung-jawaban
formal menimbulkan rasa takut akan melakukan kekeliruan dalam melaksanakan tugas
sehingga berpengaruh terhadap kreativitas pegawai, karena terkadang keadaan
yang ada dilapangan berbeda dengan peraturan yang dibuat.
Birokrasi pemerintah pada tingkat tertentu
harus menjadikan semangat melayani kepentingan masyarakat sebagai dasar dari
motivasi mereka bekerja di bidang pemerintahan, serta memiliki komitmen
pengabdian dan pelayanan untuk memberikan yang terbaik kepada masyarakat. Pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat, terkait dengan upaya
melindungi dan pemenuhan kebutuhan hidup atas produk-produk tertentu. Menurut
Ndraha (1997) produk-produk yang dibutuhkan masyarakat adalah “berkisar pada
barang (barang modal dan barang pakai) sampai pada jasa (jasa pasar dan jasa
publik) dan layanan civil”, dimaksudkan untuk melindungi dan memenuhi
kepentingan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan konsep Ilmu
Pemerintahan Modern (dalam Kybernan No.3, 1998) yang menyatakan bahwa: Ilmu
pemerintahan modern adalah ilmu yang mempelajari bagaimana struktur puncak unit
kerja publik/pemerintahan (eksekutif) bekerja dalam rangka memenuhi
(memproduksi, mentransfer, mendistribusikan) sebagai shareholder dan consumer,
akan jasa publik dan layanan civil, dalam hubungan pemerintahan. Berbeda dengan
jasa publik yang dapat dijualbeli dan diprivatisasikan, maka layanan civil dimonopoli
oleh pemerintahan.
Lebih lanjut dalam Kybernan (1998)
dikemukakan bahwa: Layanan civil tidak dijual beli, dimonopoli oleh badan-badan
publik (pemerintah, Negara) dan tidak boleh diprivatisasikan (diswastakan), sedangkan
layanan publik dapat dijual-beli dibawah control legislative. Setiap badan
publik berfungsi memproduksi dan mendistribusikan layanan civil pada saat
diperlukan. Dengan demikian penyediaan dan penanganan jasa publik dapat diprivatisasikan,
tetapi layanan civil tidak, produksi dan distribusinya dimonopoli pemerintah.
Justru karena itu pula, consumerisme terhadap pengeloaan layanan civil semakin
ketat. Penyediaan jasa publik dan layanan civil menjadi tanggung jawab
pemerintah. Pemerintah tidak boleh menolak untuk menyelesaikan suatu urusan
atau tuntutan warga masyarakat sedini mungkin secara manusia. Lembaga-lembaga
civil societies, sovereign (legislative) dan consumerism berwenang mengontrol
(mengoreksi, mereformasi) pemerintah, selain dapat dilakukan pemerintah,
pelayanan publik juga dapat dilakukan oleh badan-badan swasta dengan pengaturan
dan pengawasan oleh pemerintah. Inilah yang oleh Osborne dan Gabler (1993) disebut
sebagai “pemerintah katalis yakni pemerintah yang lebih banyak mengarahkan
ketimbang melaksanakan”.
Namun demikian keterlibatan pemerintah dalam
memberikan pelayanan tetap masih diperlukan, selain karena menyangkut hidup
orang banyak, sektor swasta juga belum sepenuhnya dapat memenuhi berbagai
kebutuhan masyarakat. Dewasa ini kualitas layanan publik yang diberikan oleh
pemerintah merupakan salah satu aspek yang mendapat banyak sorotan dari
masyarakat.
Dari hasil penelitian Ulbert Silalahi (dalam
Zulkarnaen, 1996) terungkap bahwa: Pelayanan yang diberikan oleh aparatur
Negara masih berada dalam peringkat present and accounted, artinya organisasi
atau pegawai menyadari dan mengetahui kedudukan mereka untuk membelikan pelayanan
yang berkualitas, namun untuk usaha ke arah yang sampai pada kualitas pelayanan
belum serius untuk dilaksanakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hidayat dan
Sucherly (1956) mengemukakan bahwa: Pada umumnya organisasi pemerintah sering
menghadapi tiga masalah yang meliputi kurang efektif, kurang efisien dan mutu
pelayanan yang kurang. Budaya yang berorientasi kepada pencapaian target
merupakan salah satu ciri dari organisasi birokrasi. Ciri lainnya yakni adanya
budaya peran artinya semua pekerjaan dilakukan secara rutin, teratur dan sistematik.
Selain itu, kekuatan dan kewenangan yang disalurkan melalui peraturan dan
prosedur. Kombinasi budaya yang berorientasi kepada target dan peran tersebut
membentuk suatu sikap pandang yang mengacu kegiatan (activity) dan
pertanggungjawaban (accountability). Kelemahan dari kedua sikap tersebut adalah
bahwa aspek hasil dan aspek mutu pelayanan kurang mendapatkan porsi sesuai.
Berdasarkan pendapat itu, terungkap bahwa
sikap pandang praktek manajemen yang kurang mengacu kepada hasil, serta budaya
yang pencapaian target telah menjadi faktor penyebab rendahnya mutu pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah. Untuk mengatasi hal itu, sikap pandang yang
terlalui berorientasi kepada kegiatan dan pertanggungjawaban perlu
dikombinasikan sdengan orientasi kepada mutu pelayanan yang sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Tags
Industri dan Jasa
pemerintah memang harus melayani publik dengan baik...
BalasHapustes
BalasHapus