Semenjak
Freudenberger pada tahun 1974 mengenalkan istilah burnout. Sejak itu pula
terminologi burnout berkembang menjadi pengertian yang meluas dan digunakan
untuk memahami gejala kejiwaan pada diri seseorang. Berbagai tinjauan dari
penggunaan terminologi hingga menyimpulkan sindroma yang kronik yang dialami
oleh seseorang (Turnipseed & Moore, 1997). Menurut Freudenberger (1974),
kelelahan emosional adalah respons individual yang unik terhadap stress yang
dialami di luar kelaziman pada hubungan inter personal karena dorongan
emosional yang kuat, timbulnya perasaan seakan-akan tak ada orang yang
membantunya, depresi, perasaan terbelenggu dan putus asa (Tumipseed &
Moore, 1997). Selain itu selalu merasa membatalkan pekerjaan, kehilangan
pasanan kerja, pudarnya ilusi sebagai simpton lain dari kelelahan emosional
dalam situasi yang kronik, yang dapat mendorong seseorang mengalami sakit
mental bahkan bunuh diri. Potensi negatif kelelahan emosional ini melicinkan
seseorang kearah putus asa dan depresi, dua karakteristik yang berpotensi kuat
untuk melakukan bunuh diri (Turnipseed & Moore, 1997).
Kelelahan
emosional selalu didahului oleh satu gejala umum, yaitu timbulnya rasa cemas
setiap ingin memulai bekerja. Kabiasaan buruk ini mengubah individu menjadi
frustasi, atau marah pada diri sendiri (Babakus, Cravens, Johnstan &
Moncrif, 1999). Selanjutnya ditegaskan bahwa rasa cemas setiap ingin memulai
bekerja itu merupakan suatu proses kelelahan emosional, sebagai dimensi sentral
proses lain, yaitu yang menjelaskan prilaku dalam menyikapi perasaan stress yang
tinggi di diri seorang tenaga penjual (Bebakus et.al.,1999:58). Selama ini
kelelahan emosional kerapkali diujikan dengan menggunakan tenaga penjual di
lapangan sebagai sampel, Analog dengan itu tenaga penjual di lapangan sebagai
ujung tombak pemasaran, adalah setiap individu yang bekerja di dalam organisasi
dan berfungsi sebagai pegawai garis depan yang berhadapan langsung dengan
pihak-pihak yang harus dilayani. Misalnya, tenaga pendidik di perguruan tinggi
yang berhadapan langsung dengan mahasiswa ketika memberi kuliah. Contoh lain,
para perawat atau tenaga paramedik yang berhadapan langsung dengan pasiennya.
Pekerja-pekerja garis depan itulah yang acapkali mengalami kelelahan emosional,
dan jika itu terjadi maka seluruh rangkaian pekerjaan menjadi terganggu, tidak
dapat mencapai sasaran secara tepat waktu, di samping pemborosan anggaran.
Burnout itu
sendiri sebagai pangkal kelelahan emosional masih merupakan isu yang krusial
dalam komitmen bisnis yang membicarakan persoalan kualitas dan organisasi yang
menuntut adanya inovasi yang konstan dan
kebutuhan kinerja tinggi dari setiap orang yang bekerja. Dalam hal pembicaraan
tentang emosional, Qui (1999), dalam The Academy of Manajement Review,
mengemukakan gagasan yang menyangkut kecakapan emosional, kecerdasan emosional
dan perubahan radikal. Kelelahan emosional ditempatkan sebagai salah satu aspek
perubahan radikal berdasar kecakapan emosional dan kecerdasan emosional.
Menurut Qui
(1999), akar kata emosi berasal dari kata kerja bahasa latin, movere, yang
berarti "bergerak" (to move), atau yang mendorong yang terpicunya
gerakan tiba-tiba untuk beraksi. Emosi menjadi dualistik, seperti pada gerak
reflek sebagai karakter bawaan yang menghubungkan. Psikologikal dan
proses-proses psikodinamik, sebagaimana sering terjadi pada struktur sosial.
Pada perkembangan psikologikal yang sama, menjadi pertanda perbedaan emosional,
yang dikenal sebagai "kesukaan" (joy) dan sebagai "keramahan"
dan senantiasa terikat dengan penilaian kognitif pada situasi sosialisasi yang
terkunci (Schachter & Singer 1962, dalam Qui, 1999). Kemarahan pada
sltusasl sosialisasi yang terkunci itulah yang memunculkan kelelahan emosional,
karena individu seakan tidak menemukan jalan tentang apa yang seharusnya
dikerjakan. Qui tidak secara spesifik membahas kelelahan emosional dan
hubungannya dengan sumberdaya manusia, tetapi lebih menekankan pada perubahan
radikal. Secara teoritik pembahasan tentang kelelahan emosional selalu
dihubungkan dengan dua peran yang melatar belakanginya, yaitu: (i) konflik
peran, dan (ii) mendua peran.
Dalam
penelitian ini, kelelahan emosional adalah “perasaan dimana seseorang tertekan
dan kelelahan karena suatu pekerjaan” (Maslach dan Jackson, 1981; 101). Hal ini
sering muncul ketika karyawan menyediakan pelayanan (Cordes dan Dougherty,
1993). Jasa profesional dibutuhkan untuk mempromosikan kesejahteraan dari
klien-klien mereka dimana mengandung keragaman permintaan kognitif, emosional dan
perilaku (Jonge dan Dorman, 2003). Sebenarnya, para pekerja jasa secara berkala
sering mengalami reaksi negatif konsumen dan serangan verbal, hal ini dapat
membuat mereka semakin cepat merasakan kelelahan emosional (Cordes dan
Dougherty, 1993).
Penelitian
ini menggunakan conservation resources theory (COR) untuk menggali dampak dari
self efficacy seseorang dan gaya kepemimpinan pada kelelahan emosional. Teori
COR menunjukkan bahwa kelelahan emosional muncul ketika pekerja melihat
kurangnya sumberdaya untuk melakukan pekerjaan mereka (Halbesleben dan Buckley,
2004; Janssen et al., 2004). Ketika pekerja tahu kalau sumberdaya tidak cukup
untuk memenuhi permintaan pekerjaan atau ketika tambahan dukungan personil
tidak menyediakan hasil yang diinginkan, kelelahan emosional dapat muncul (Lee
dan Ashforth, 1996; Wright dan Hofboll, 2004).
Pembahasan tersebut mengatakan bahwa ada dua
faktor yang menyebabkan kelelahan emosional menjadi rendah:
- Persepsi pekerja bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bekerja baik–ketepatan pekerjaan seseorang.
- Pekerja percaya bahwa gaya kepemimpinan dapat bernilai pada alokasi sumberdaya dan menyediakan sumberdaya yang sama untuk memenuhi permintaan pekerjaan mereka.
Tags
Emosi Manusia