Terdapat banyak
hambatan-hambatan dalam penilaian kerja. Sebenarnya penilaian kinerja
memudahkan perusahaan atau organisasi mengidentifikasi orang-orang yang akan
diimbali karena kinerjanya yang bagus dan
unggul dan orang-orang ynag tidak. Meskipun demikian, penilaian kinerja dapat
mendatangkan hasil yang keliru ketika penilai atau standar penilaian tidak
jelas.
Kesalahan-kesalahan
dalam penilaian kinerja yang lazim ditemui adalah seperti yang akan diuraikan
menurut Samsudin (2006) sebagai berikut:
Leniency (bias kemurahan hati)
Penyelia
yang tidak berpengalaman atau yang buruk mungkin memutuskan cara yang paling
mudah untuk menilai kinerja, yaitu dengan memberikan nilai evaluasi yang tinggi
kepada setiap orang. Para karyawan tidak akan mengeluhkan penilaian kinerja
sekiranya mereka semua mendapat nilai yang tinggi. Sekalipun demikian,
karyawankaryawan terbaik di
departemen akan mengeluhkan
penyelia semacamitu karena orang-ornag yang bekerja tidak
baik mendapat nilai
lebih dibandingkan rekanrekannya yang tidak bekerja keras. Bias
kemurahan hati (leniency) seperti itu tidak dikehendaki karena mengakibatkan
para karyawan terlihat lebih kompeten daripada kenyataan yang sesungguhnya.
Strictness (bias keketatan)
Masalah
keketatan (strictness) merupakan
kebalikan dari masalah kemurahan hati, Penyelia merasa bersalah dalam menilai
secara ketat karena merasa bahwa tidak satu pun karyawan “hidup di atas standar
puncak mereka”. Ekspektasi kinerja yang tidak layak, bahkan mustahil untuk
dicapai, dapat meruntuhkan semangat kerja para karyawan. Kegagalan memberikan pengakuan
yang merupakan hak karyawan dapat
menimbulkan kerenggangan yang
serius pada hubungan
penyelia dengan bawahan.
Central Tendency
Penyelia mungkin
merasa sulit dan
tidak nyaman untuk
mengevaluasi beberapa karyawan
dan menilai sebagai karyawan yang “lebih
tinggi” atau “lebih rendah” daripada
yang lainnya, meskipun kinerja mereka memperlihatkan perbedaan yang nyata.
Masalah tendensi (central tendency)
mencuat ketika penyelia mengevalusi setiap orang secara rata-rata. Persoalan
central tendency juga terjadi tatkala penyelia tidak secara
objektif mengevaluasi prestasi
kerja karyawan karena
kurangnya keakraban dengan pekerjaan mereka, kurang adanya kecakapan
kepenyeliaan, atau ketakutan mereka akan dicerca sekiranya mereka menilai
individu-individu terlalu rendah. Central
tendency menyebabkan penilaian
kinerja hampir tidak
mungkin mengidentifikasi karyawan yang sangat efektif, yang merupakan
calon untuk promosi di satu pihak
ataupun persoalan karyawan
yang membutuhkan konseling
dan pelatihan di pihak lain.
Hallo Effect
Efek
halo (hallo effect) muncul
ketika seorang penyelia membiarkan
satu aspek tertentu dari kinerja karyawan mempengaruhi aspek lainnya
yang sedang dievaluasi. Dengan adanya efek halo, evaluator memberikan nilai
yang sama kepada seorang karyawan atas semua faktor, terlepas dari kinerja
sesungguhnya dari karyawan itu. Opini pribadi penilai mempengaruhi pengukuran
kinerja karyawan. Beberapa individu
mempunyai kecenderungan memberikan penialian kinerja dengan menilai sama semua
dimensi atau karakteristik yang sedang dinilai. Atasan yang menilai orang (tinggi, biasa, rendah) sama pada semua
dimensi dikatakan memperlihatkan efek
halo. Persoalan yang
ditimbulkan efek halo menyebabkan mustahil untuk mengidentifikasi titik
kuat dari karyawan yang secara umum lemah dan sebaliknya, titik lemah yang
perlu dikembangkan bagi karyawan yang secara umum kuat.
Bias penyelia
Kesalahan
paling lazim yang ada dalam setiap metode penilaian adalah kesadaran atau
ketidaksadaran bias kepenyeliaan (supervisory bias). Bias tersebut tidak
berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan, dan dapat bermuara dari karakteristik
pribadi, seperti usia, jenis kelamin, ras, atau karakteristik yang
terkait dengan organisasi,
seperti senioritas, keanggotaan pada sebuah tim atletik perusahaan atau
hubungan dekat dengan jajaran manajemen puncak.
Terlepas dari dasarnya atau penyebabnya, biasa pribadi menjadi sumber kesalahan
dalam penilaian kinerja dan merintangi
kapasitas sistem penilaian untuk melayani tujuan organisasional yang
dirancang untuk hal tersebut.
Recency
Idealnya, penilaian
kinerja karyawan haruslah
berpijak pada observasi
yang sistematik dari kinerja karyawan seluruh periode penilaian. Sayangnya, ketika organisasi menggunakan
penilaian kinerja tahunan
atau tengah tahunan,
ada kecenderungan penyelia mengingat-ingat banyak hal mengenai segala
sesuatu yang baru saja dikerjakan oleh karyawannya dibandingkan yang telah
dilakukan beberapa sebelumnya. Manusiawi apabila penyelia lebih mengingat
kejadian yang baru saja terjadi daripada kejadian di masa lalu.
Pengaruh Organisasional
Pada
intinya, penilai cenderung memperhitungkan kegunaan akhir data penilaian pada
saat menilai bawahan mereka. Apabila mereka meyakini promosi dan kenaikan gaji
bergantung pada nilai kinerja, mereka cenderung memberikan nilai tinggi (dalam
hal ini penilai bersikap longgar). Penyelia cenderung membela bawahannya. Di
pihak lain, pada pengembangan para karyawan, penyelia atau penilai cenderung
mencari kelemahan bawahannya. Mereka
lebih terfokusnya untuk membenahi kelemahan-kelemahan itu
Standar Evaluasi
Masalah
standar evaluasi muncul karena perbedaan konseptual dalam makna katakata yng
dipakai untuk mengevaluasi karyawan. Dengan demikian, kata- kata “baik”,
“memadai”, “memuaskan”, dan “sangat bagus” dapat mempunyai arti yang berbedabeda bagi
masing-masing evaluator. Seandainya
hanya seorang evaluator
yang dipakai, evaluasi dapat menyimpang.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat
hambatan-hambatan dalam penilaian kinerja, diantaranya yaitu (1) bias kemurahan
hati, (2) bias keketatan, (3) tendensi, (4) efek halo, (5) bias penyelia, (6)
recency, maksudnya penilai melakukan penilaian terhadap pekerjaan yang baru
saja dikerjakan, bukan dari pekerjaan yang telah dilakukan beberapa sebelumnya
oleh pegawainya, (7) pengaruh organisasional, dan (8) standar evaluasi.
Tags
Industri dan Jasa