Faktor-faktor yang mempengaruhi dating violence
pada remaja terdiri dari beberapa sebab. Menurut Murray (2007) dalam bukunya
yang berjudul Domestic and Dating Violence: An Information and Resource
Handbook menyatakan bahwa terdapat tujuh faktor yang berkontribusi dalam dating
violence, yaitu:
Penerimaan Teman Sebaya
Remaja
cenderung ingin mendapatkan penerimaan dari teman sebaya mereka, misalnya
remaja pria dituntut oleh teman sebayanya untuk melakukan kekerasan sebagai
tanda kemaskulinan mereka (Leaver, 2007).
Harapan Peran Gender
Pria diharapkan untuk lebih mendominasi
sedangkan wanita diharapkan untuk lebih pasif. Pria yang menganut peran gender
yang mendominasi akan lebih cenderung mengesahkan perbuatan dating violence
kepada pasangannya, sedangkan wanita yang menganut peran gender yang pasif,
akan lebih menerima dating violence dari pasangannya.
Pengalaman Yang Sedikit
Secara
umum, remaja memiliki sedikit pengalaman dalam berpacaran dan menjalin hubungan
dibandingkan dengan orang dewasa, dan remaja tidak mengerti seperti apa pacaran
yang benar, dan apakah setiap hal yang mereka lakukan saat pacaran adalah baik.
Contohnya, cemburu dan posesif dari abuser dilihat sebagai tanda cinta dan
sesuatu yang dipersembahkan dari abuser. Karena kurangnya pengalaman, mereka
menjadi kurang objektif dalam menilai hubungan mereka.
Jarang Berhubungan dengan
Pihak yang Lebih Tua
Nancy
Worcester in “A More Hidden Crime: Adolescent Battered Women” (The Network
News, July/August 1993) menyebutkan bahwa remaja selalu merasa bahwa orang
dewasa tidak akan menanggapi mereka dengan serius, dan mereka menganggap bahwa
intervensi dari orang dewasa akan membuat kepercayaan diri dan kemandirian diri
mereka hilang. Inilah yang membuat mereka menutupi dating violence yang terjadi
pada diri mereka.
Sedikit akses ke layanan
masyarakat
Anak
dibawah usia 18 tahun mempunyai akses yang sedikit ke pengobatan medis, dan
meminta perlindungan ke tempat penampungan orang-orang yang menjadi korban
kekerasan. Mereka membutuhkan panduan orangtua, tetapi mereka takut mencarinya.
Hal ini akan menghambat remaja untuk terlepas dari kekerasan dalam pacaran.
Legalitas
Kesempatan
legal berbeda antara orang dewasa dan remaja, dimana remaja kurang memiliki
kesempatan legal. Remaja sering kali memiliki akses yang sedikit ke pengadilan,
polisi dan bantuan. Ini merupakan rintangan bagi remaja untuk melawan dating
violence.
Penggunaan Obat-obatan
Obat-obatan
tidak merupakan penyebab dating violence, tetapi ini dapat meningkatkan peluang
terjadinya dating violence dan meningkatkan keberbahayaannya. Obat-obatan
menurunkan kemampuan untuk menunjukkan kontrol diri dan kemampuan membuat
keputusan yang baik dihadapan wanita ataupun prianya.
World Report On Violence And Health (1999)
mengindikasikan enam faktor yang menyebabkan dating violence diantaranya:
Faktor Individual
Faktor
demografi yang dapat menyebabkan seseorang melakukan kekerasan kepada
pasangannya adalah usia yang muda dan memiliki status ekonomi yang rendah. The
Health and Development Study in Dunedin, New Zealand – Dalam satu penelitian
longitudinalnya menunjukkan bahwa seseorang yang berasal dari keluarga yang
melakukan kekerasan- berasal dari keluarga yang umumnya berada pada level
ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah atau pendidikan
yang rendah, maka mereka akan melakukan dating violence.
Sejarah Kekerasan dalam
Keluarga
Studi
yang dilakukan di Brazil, Afrika dan Indonesia menunjukkan bahwa dating
violence cenderung dilakukan oleh laki-laki yang sering mengobservasi ibunya
yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.
Penggunaan Alkohol
Penelitian
Black, dkk yang diadakan di Brazil, Cambodia, Canada, Chile, Colombia, Costa
Rica, El Salvador, India, Indonesia, Nicaragua, Afrika Selatan, Spanyol dan
Venezuela menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peminum
minuman keras dengan menjadi pelaku dating violence. Yaitu bahwa alkohol dapat
mengakibatkan menurunnya kemampuan individu dalam menginterpretasikan sesuatu
(World Report on Violence and Health, 2002) . Lebih lanjut Borsary & Carey
(dalam Roudsary, Leahy & Walters, 2009) menggunakan pengukuran penggunan
alcohol satu kali seminggu dalam memprediksikan pelaku dating violence.
Gangguan Kepribadian
Penelitian
di Canada menunjukkan bahwa laki-laki yang menyerang pasangannya cenderung
mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self-esteem sehingga
sulit mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam diri mereka. Mereka juga
memiliki skor yang tinggi pada skala personality disorder termasuk diantaranya
antisocial, aggressive and borderline personality disorders.
Faktor dalam Hubungan
O’Kefee
(2005) mengatakan bahwa, kurangnya kepuasan dalam hubungan, semakin banyaknya
konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan meningkatkan terjadinya
dating violence. Lewis & Fremouw, Ray & Gold, Billingham (dalam Luthra
dan Gidycs, 2006) penelitiannya mengatakan bahwa semakin lama durasi suatu
hubungan, maka dating violence dalam hubungan tersebut semakin meningkat.
Follingstad, Rutledge, Polek, & McNeill-Hawkins (dalam Luthra & Gidycs,
2006) menyebutkan bahwa dengan pertambahan setiap 6 bulan durasi dating. Korban
dari kekerasan berulang kali akan lebih bisa bertahan dalam hubungan yang
dijalaninya, daripada korban yang mengalami sekali kekerasan atau dengan kata
lain, semakin sering dilakukan suatu kekerasan kepada pasangannya maka sang
pelaku akan semakin merasa bahwa si korban menerima perilaku kekerasan
tersebut.
Faktor Komunitas
Dengan
tingkat ekonomi yang tinggi, maka orang-orang lebih mampu untuk melakukan
perlindungan ataupun pembelaan terhadap kekerasan yang dialaminnya. Meskipun
tidak selalu benar bahwa kemiskinan meningkatkan kekerasan. Tapi tinggal dalam
kemiskinan dapat menyebabkan hopelessness.
Untuk
beberapa pria, tinggal dalam kemiskinan bisa mengakibatkan stress, frustrasi,
dan perasaan tidak mampu untuk memenuhi harapan sosial, atau hidup sesuai
dengan harapan sosial. Peran gender tradisional, ada tidaknya sanksi dalam
komunitas itu, atau daerah tempat tinggal pelaku dan korban merupakan bekas
daerah perang sehingga tersedia peralatan perang juga turut berperan.
Terpapar
dengan kekerasan yang terjadi di komunitas berhubungan dengan menjadi pelaku
dating violence dikedua gender (Malik dalam O`Kefee, 2005). Terpapar dengan
kekerasan yang terjadi di komunitas akan meningkatkan kekerasan yang terjadi,
mungkin ini disebabkan oleh penerimaan seseorang mengenai violence tersebut.
(O’Keefe, 2005).
Beberapa ciri orang yang melakukan dating
violence adalah:
Rendahnya self esteem atau
self image yang buruk
Self
esteem adalah keseluruhan sikap kepada diri, apakah positif atau negatif
(Rosenberg, dalam Baron, Byrne & Branscombe, 2006). Orang-orang dengan self
esteem dan self image yang rendah ingin meningkatkan self esteem dan self image
mereka dengan menunjukkan kekuatan mereka atas pasangan mereka.
Toleransi yang sedikit
kepada frustrasi
Frustrasi
didefinisikan sebagai perasaan yang timbul ketika terdapat situasi yang
merintangi goal (Dollard, Doob, Miller, Mower; & Sears dalam Baron et al.,
2006). Roseinzweig (dalam Kellen, 2009) mengatakan bahwa reaksi seseorang
kepada situasi frustrasi bisa favorable atau tidak favorable berdasarkan
toleransi frustrasi seseorang. Kellen (2009) mengatakan bahwa memiliki
toleransi frustasi yang rendah seringkali merupakan faktor yang dapat
menciptakan kemarahan dan kekerasan.
Mood yang sering
berubah-ubah
Orang
dengan tipe ini biasanya kelihatan tenang dalam beberapa menit, dan tiba-tiba
berperilaku agresif kemudian (Adetunji, 2008).
Mudah marah
Cenderung
mengekspresikan ketakutan atau kecemasan sebagai kemarahan, atau menolak untuk
mendiskusikan perasaan mereka, dan kemudian menunjukkan kemarahan mereka yang
meledak–ledak.
Kecemburuan yang berlebihan
Kecemburuan
terjadi dengan pihak ketiga dalam hubungan, dimana pihak yang cemburu merasa
bahwa pasangan mereka membina hubungan dengan oranglain. Seseorang yang
pencemburu menunjukkan ekspresi cemburu mereka, seperti kemarahan maupun
kekerasan fisik (Peppermint, 2006).
Terlalu posesif
Posesif
merupakan perasaan takut akan kehilangan seseorang (Hendrick & Hendrick
dalam Baron, Byrne & Branscombe 2006). Perasaan ini membuat pasangan mereka
ingin mengontrol segala sesuatu mengenai pasangannya, dan tidak jarang kontrol
yang dilakukan terlalu berlebihan dan mengekang pasangannya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa delapan faktor yang mempengaruhi dating violence pada remaja adalah
faktor individual, sejarah kekerasan dalam keluarga, penerimaan teman sebaya,
harapan peran gender, penggunaan obat-obatan, gangguan kepribadian, faktor
dalam hubungan, dan faktor komunitas. Faktor individual yang dapat menyebabkan
seseorang melakukan kekerasan terhadap pasangannya adalah usia yang muda,
berada pada level ekonomi yang rendah, memiliki prestasi akademis yang rendah,
serta seseorang yang sering mengobservasi ibunya yang mengalami kekerasan dalam
rumah tangga, mengalami emotionally dependent, insecure dan rendahnya self
esteem. Semakin banyaknya konflik yang terjadi dalam hubungan tersebut akan
meningkatkan terjadinya dating violence.
Tags
Perkembangan Remaja