Sejarah homeschooling
sudah sangat panjang. Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses
sistematisasi pendidikan dan proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan serta usaha untuk memaksimalkan model pembelajaran selama berabad-abad
menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai
sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai
modern yang dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah
dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik
anaknya secara sadar dan terencana (Sumardiono,2007).
Walaupun
sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti memberikan manfaat bagi
kemanusiaan, proses pencarian pendidikan yang terbaik tak pernah berhenti.
Berbagai filsafat dan pemkiran yang terus lahir, serta berinteraksi dengan
kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat.
Pembelajaran
yang tidak konvensional ini kemudian mengambil jalur pendidikan yang berbeda.
Dipicu oleh pemikiran yang dilontarkan John Cadlwell Holt (dalam
Sumardiono,2007) melalui bukunya “ How Children Fail” (1964), terjadi
perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan dan sistem sekolah.
Sebagai guru dan pengamat pendidikan, Holt menyatakan bahwa kegagalan akademis
pada siswa tidak disebabkan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah,tetapi
disebabkan oleh eksistensi sekolah itu sendiri. Walaupun Holt tidak mendorong
untuk pembentukan sistem pendidikan alternatif, pemikiran Holt memicu banyak
kalangan pendidikan dan keluarga untuk memikikan ulang mengenai pendidikan dan
sekolah. Pemikiran dasar Holt adalah “manusia pada dasarnya adalah makhluk
belajar dan senang belajar, kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara
belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha
menyelak, mengatur, atau mengontrolnya.”
John Holt
di akhir tahun 1970-an akhirnya mempelopori terbentuknya sekolah di rumah
kepada publik. Pada tahun 1977, Holt mulai mempublikasikan buletin berita
sebanyak empat halaman, yang berjudul “Growing Without Schooling “ (Tumbuh
Tanpa Sekolah) bagi keluarga-keluarga yang menginginkan ide-ide dan dukungan
untuk membantu anak-anak mereka belajar di luar sekolah. Pada awalnya Holt
menggunakan kata “pendidikan tanpa sekolah” untuk menggambarkan tindakan
pendidikan anak didik di luar sekolah formal. Namun, hal tersebut segera
menjadi sinonim untuk sebutan sekolah di rumah (homeschooling). Selama dua
dekade terakhir, arti istilah itu telah berubah dan menyempit, sehingga
“pendidikan tanpa sekolah” mengacu pada gaya khusus sekolah di rumah
(homeschooling) yang dianjurkan Holt dan pembelajarannya terpusat pada anak.
Kemudian sejak tahun 1970-an, pergerakan dari homeschooling telah mendapat
dukungan luas dan tumbuh dengan pesat (Griffith,2006).
Menurut
laporan Departemen Pendidikan Amerika Serikat “Homeschooling in the United
States: 2003” , terjadi peningkatan jumlah siswa homeschooling dari 850 ribu
(1,7% dari total siswa) menjadi 1,1 juta pada tahun 2003 (2,2% dari total
siswa). Sementara itu, berdasarkan penelitian Dr. Brian Ray (presiden the
National Home Education Research Institute), pada tahun 2002- 2003 ada sekitar
1,7 juta-2,1 juta siswa homeschooling Amerika Serikat. Dr. Ray menyatakan bahwa
jumlah siswa homeschooling terus tumbuh dengan kecepatan 7-15% per tahun
(Sumardiono,2007).
Di tahun
2003 pula, NHES melakukan survei terhadap orang tua, mengenai alasan mereka
menerapkan homeschooling pada anak-anak mereka. Sekitar 31% orang tua
menyatakan khawatir terhadap lingkungan sekolah; 30% mengatakan alasannya
adalah memberikan ajaran agama dan moral; dan alasan berikutnya, sekitar 16%
adalah ketidakpuasan terhadap sistem akademis di sekolah.
Pendidikan
di sekolah merupakan salah satu sub sistem kesuluruhan sistem pendidikan yang
terdiri dari sentra keluarga, masyarakat, media, dan sekolah. Pemerintah
Indonesia pada hakekatnya telah melakukan beberapa kebijakan pendidikan guna
mengakomodasi dan melayani kebutuhan pendidikan bagi anak- anak di Indonesia,
karena pendidikan merupakan usaha sadar untuk menumbuhkembangan potensi sumber
daya manusia (SDM) melalui kegiatan pengajaran. Kegiatan pengajaran tersebut
diselenggarakan pada semua satuan dan jenjang pendidikan yang meliputi wajib
pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi
(Depdiknas,2001).
Namun,
pada saat ini banyak fenomena yang mengarah pada bentuk ketidakpercayaan
masyarakat terhadap signifikansi proses pendidikan dalam sistem sekolah formal
untuk merubah kualitas hidup. Proses yang terjadi disekolah dianggap sebagai
ritual formalitas yang berkisar dari hal menjemukan sampai penyiksaan terhadap
siswa, namun tetap saja harus dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari
pemerintah berupa ijazah untuk bisa memasuki jenjang selanjutnya. Di tingkat
perguruan tinggi, terungkapnya kasus pembelian gelar dan ijazah sebagai jalan
pintas yang juga melibatkan beberapa pejabat dan anggota dewan merupakan pucuk
gunung es dari ketidakpercayaan terhadap proses pembelajaran dalam sistem
formal .
Sejalan
dengan hal tersebut muncul sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh
lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Ketika masyarakat tergerak untuk mengambil
alih kembali pendidikan, muncul pendidikan alternatif yang diprakarsai sejumlah
lembaga swadaya masyarakat. Terdapat sanggar anak, sekolah anak rakyat,
komunitas pinggir kali, dan sebagainya. Dan akhir-akhir ini yang lebih
menggembirakan lagi, muncul sebuah gerakan sekolah rumah (homeschooling)
sebagai bentuk ketidakpercayaan kepada sekolah formal. Walaupun masih belum
cukup banyak dibanding kompleksitas berbagai permasalahan dalam masyarakat,
upaya-upaya alternatif ini merupakan bagian dari dinamika proses negoisasi
dimensi formal dan non-formal dari
pendidikan.
Salah
satu konsep kunci dari homeschooling adalah pembelajaran yang tidak berlangsung
melalui institusi sekolah formal. Konsep ini mengarah pada konsep yang lebih
umum yaitu konsep belajar otodidak atau belajar mandiri. Dalam bentuk umumnya,
pembelajaran otodidak ini memiliki beragam variasi, diantaranya pembelajaran
dengan cara magang (internship )yang banyak dipraktikkan oleh keluarga di
Indonesia. Dalam level komunitas, akar homeschooling ini dapat juga ditelusuri
dari pendidikan berbasis agama seperti pesantren atau komunitas adat yang
melakukan pembelajaran secara mandiri tanpa ketergantungan pada model
pendidikan formal yang ada (sumardiono,2007 ).
Prasetyawati
(2006) mengatakan bahwa kegiatan belajar yang dialihkan dari sekolah ke rumah
(homeschooling) disebabkan oleh ketidakpuasan orangtua terhadap sistem
pendidikan, ketidaksesuaian anak terhadap mata pelajaran sehingga tidak bisa
mengembangkan potensi anak, pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk,
misalnya: penyalahgunaan obat terlarang yang sudah menyusup di kalangan
pelajar, serta adanya fleksibilitas dalam memberikan pelajaran oleh orangtua.
Saat ini,
perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin
banyak pilihan untuk anak-anaknya.
Ibuka
(dalam Sukadji,2000) menyatakan tulisannya mengenai pendidikan anak, bahwa anak
hendaknya mulai dididik sejak lahir oleh orang tuanya sendiri. Pendidikan anak
pada hakekatnya berasal dari rumah yang menjadi guru pertama kali dalam hidup
anak adalah orang tua, yang mana pendidikan dalam rumah dapat membuat anak
sehat jasmaninya,lebih bermental fleksibel,lebih cerdas, dan lebih sopan. Yulfiansyah
(2006) mengatakan bahwa pada homeschooling yang menjadi guru untuk mendidik dan
mengajarkan anak adalah orang tua. Selanjutnya orang tua dapat pula mengundang
siapa saja untuk memberikan keahlian transfer pada anak-anaknya,bisa seorang
mahasiswa untuk bidang yang dikuasainya,seorang suster untuk masalah
kesehatan,seorang satpam untuk belajar beladiri,seorang cleaning service untuk
kegigihan dan kesungguhan dalam berkerja,seorang buruh pabrik,dan lain
sebagainya.Pada dasarnya dengan pengalaman yang mereka miliki,wawasan anak
didik menjadi lebih berkembang oleh karena ilmu yang sejati bisa datang dan
dibawa siapa saja.
Suyanto
(2006) mengatakan bahwa orang tua yang ragu-ragu terhadap kualitas pendidikan formal yang ada, sah-sah saja jika
ingin mendidik sendiri anaknya dirumah. Namun, tentu materinya harus sesuai
dengan standard yang berlaku.Untuk itulah anak-anak yang mengikuti
homeschooling harus menempuh ujian kesetaraan, yang dapat diikuti melalui
lembaga yang dikelola oleh pemerintah, seperti di Sanggar Kegiatan Belajar-Unit
Pelaksanaan Teknis Daerah (SKB-UPTD) yang sudah menyebar di seluruh kabupaten
di Indonesia, dan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang
penyebarannya mencapai tingkat kelurahan.Dengan demikian anak yang
homeschooling dapat memperoleh ijazah sama seperti anak yang sekolah di sekolah
formal, dan dapat melanjutkan pendidikannya di sekolah yang lebih tinggi pula.
Di
Indonesia, menurut perkiraan Ella Yulaelawati (dalam Sumardiono,2007) Direktur
Pendidikan Kesetaraan Depdiknas, ada sekitar 1.000- 1.500 siswa homeschooling.
Di Jakarta terdapat sekitar 600 siswa, sebagian besar diantaranya (sekitar 500
orang) adalah siswa homeschooling majemuk.
Tags
Homeschooling