Menurut Edwards (2006), pola asuh otoriter
adalah pengasuhan yang kaku, diktator dan memaksa anak untuk selalu mengikuti
perintah orang tua tanpa banyak alasan. Dalam pola asuh ini biasa ditemukan
penerapan hukuman fisik dan aturan-aturan tanpa merasa perlu menjelaskan kepada
anak apa guna dan alasan di balik aturan tersebut.
Orang tua cenderung menetapkan standar yang
mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Misalnya
kalau tidak mau menuruti apa yang diperintahkan orang tua atau melanggar
peraturan yang dibuat orang tua maka tidak akan diberi uang saku. Orang tua
cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang
dikatakan orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anaknya. Orang tua
ini juga tidak mengenal kompromi dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah
dan orang tua tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai
anaknya.
Faktor yang mempengaruhi
pola asuh otoriter
Orang tua mungkin berpendapat bahwa anak
memang harus mengikuti aturan yang ditetapkannya. Apa pun peraturan yang
ditetapkan orang tua semata-mata demi kebaikan anak. Orang tua tak mau repot-repot
berpikir bahwa peraturan yang kaku seperti itu justru akan menimbulkan
serangkaian efek (Marfuah,2010).
Dampak pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter biasanya berdampak buruk
pada anak, seperti ia merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk
berinisiatif, selalu tegang, tidak mampu menyelesaikan masalah (kemampuan
problem solving-nya buruk), kemampuan komunikasinya buruk, kurang berkembangnya
rasa sosial, tidak timbul kreatif dan keberanianya untuk mengambil keputusan
atau berinisiatif, gemar menetang, suka melanggar norma, kepribadian lemah dan
menarik diri. Anak yang hidup dalam suasana keluarga yang otoriter akan
menghambat kepribadian dan kedewasaannya (Marfuah,2010).
Upaya dalam menyikapi pola
asuh otoriter
Menurut
Edwards (2006), Seharusnya orang tua mengajari anak-anak mereka dengan empat
cara:
- Memberi contoh. Cara utama untuk mengajari remaja adalah melalui contoh. Remaja sering kali mudah menyerap apa yang kita lakukan disbanding dengan apa yang kita katakana. Jika kita mengatakan untuk berbicara dengan sopan kepada orang lain, tetapi kita masih berbicara kasar kepada mereka, kita telah menyangkal diri kita sendiri. Perbuatan lebih berpengaruh dibandingkan dengan kata-kata.
- Respon positif. Cara kedua untuk mengajari remaja adalah melalui respon positif mengenai sikap mereka. Jika kita mengatakan kepada remaja betapa orang tua menghargai mereka karena telah mengikuti nasehat orang tua, mereka akan mengulangi sikap tersebut.
- Tidak ada respons. Orang tua juga mengajari remaja dengan cara mengabaikan sikap. Sikap-sikap yang tidak direspon pada akhirnya cenderung tidak diulangi. Dengan kata lain, mengabaikan perilaku tertentu bisa jadi mengulani perilaku tersebut, khususnya jika perilaku-perilaku tersebut bersifat mengganggu.
- Hukuman. Menggunakan hukuman yang relative ringan secara konsisten, seperti menghilangkan hak istimewa atau melarang kegiatan yang sedang dilakukan, bisa jadi cukup efektif dalam menghadapi sikap yang sulit dikendalikan. Namun bahkan hukuman ringan tidak boleh mengalahkan penggunaan pendekatan pengajaran yang lebih positif.