Penyimpangan perilaku dapat dilihat dari
kajian ilmu sosiologi. Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial
terjadi karena terdapat penyimpangan
perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial
yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah kerana
dapat membahayakan tegaknya sistem sosial.
Secara umum perilaku menyimpang dapat
diartikan sebagai tingkah laku yang melanggar atau bertentangan dengan aturan
normatif dan pengertian normatif maupun dari harapan-harapan lingkungan sosial
yang bersangkutan. Menurut Robert M.Z Lawang perilaku menyimpang adalah semua
tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku dalam sistem sosial dan
menimbulakan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu untuk
memperbaiki perilaku menyimpang. Menurut Lemert penyimpangan dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder.
Penyimpangan primer adalah suatu bentuk perilaku menyimpang yang bersifat sementara
dan tidak dilakukan secara terus-menerus sehingga masih dapat ditolerir
masyarakat seperti melanggar lalu lintas,buang sampah sembarangan dll.
Sedangkan penyimpangan seksunder yakni perilaku menyimpang yang tidak mendapat
toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali seperti merampok,
menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, tawuran dan lainlain (Kamanto
Sunarto 2006).
Perilaku menyimpang dalam defenisi umum
tersebut dapat dibedakan dari abnormalitas statis. Ada kesepakatan bahwa
perilaku menyimpang tidak berarti menyimpang dari norma-norma tertentu. Konsep
perilaku menyimpang ini juga perlu dibedakan dari perilaku yang kurang
diinginkan dan dari peranan yang menyimpang. Karena tidak semua tingkah laku
yang tidak diinginkan menyimpang dari aturan-aturan normatif, dan dilain pihak
dan belum tentu perilaku menyimpang dari aturan normative itu tidak diinginkan.
Konsep perilaku menyimpang adalah tingkah
laku yang dinilai menyimpang dari aturan-aturan normatif. Konsep ini akan dibedakan
dari gejala-gejala lain yang sering sekali diklasifikasikan sebagai perilaku menyimpang
seperti kelainan dalam pribadi seseorang, tingkah laku yang statis abnormal,
tingkah laku yang kurang diinginkan secara sosial dan peranan yang menyimpang.
Menurut Soerjono Soekanto perilaku menyimpang
disebut sebagai salah satu penyakit masyarakat atau penyakit sosial. Penyakit
sosial atau penyakit masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap
tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal, atau
tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah-laku umum. Disebut sebagai
penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi ditengah masyarakat
itu meletus menjadi ”penyakit”. Dapat disebut pula sebagai struktur sosial yang
terganggu fungsinya.
Semua tingkah laku yang sakit secara sosial
tadi merupakan penyimpangan sosial yang sukar diorganisir, sulit diatur dan
ditertibkan sebab para pelakunya memakai cara pemecahan sendiri yang tidak
umum, luar biasa atau abnormal sifatnya. Biasanya mereka mengikuti kemauan dan
cara sendiri demi kepentingan pribadi. Karena itu deviasi tingkah laku tersebut
dapat mengganggu dan merugikan subyek pelaku sendiri dan atau masyarakat luas.
Deviasi tingkah laku ini juga merupakan gejala yang menyimpang dari tendensi
sentral atau menyimpang dari ciri-ciri umum rakyat kebanyakan.
Deviation merupakan penyimpangan terhadap
kaidah atau norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kaidah timbul dalam
masyarakat karena diperlukan sebagai pengatur hubungan antara seseorang dengan
orang lain atau antara seseorang dengan masyarakatnya. Diadakannya kaidah serta
peraturan di dalam masyarakat bertujuan supaya ada konformitas warga masyarakat
terhadap nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan
(Soerjono Soekanto, 1990).
Jadi, norma-norma sosial adalah apa yang
harus dan dilarang dalam masyarakat. Norma-norma tersebut diciptakan dan
dibentuk karena individu sebagai anggota masyarakat saling berhubungan dan
berinteraksi. Selanjutnya norma tersebut berfungsi untuk mengarahkan,
menyalurkan, dan membatasi hubungan-hubungan anggota masyarakat pada umumnya.
Dalam setiap masyarakat, norma sosial
biasanya terpusat pada kegiatan sehari-hari yang bermakna bagi
anggota-anggotanya. Norma sosial yang terpusat itu dinamakan pranata sosial,
contohnya keluarga. Keluarga merupakan konkritisasi dari sejumlah norma sosial yang
mengatur hubungan antar jenis, hubungan orang tua dengan anak, sosialisasi
dalam keluarga, mengatur dan mengarahkan hubungan sehari-hari meskipun dalam
keluarga ada kekhususan normatif dimana berhubungan dengan pribadi-pribadi
dalam keluarga tersebut. Akan tetapi dapat juga diketemukan aspek-aspek umum
dalam kehidupan berkeluarga dan aspek umum ini erat hubungannya dengan norma
sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa norma sosial
adalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu yang
memungkinkan seseorang untuk menentukan terlebih dahulu bagaimana tindakannya
itu akan dinilai oleh orang lain dan norma ini merupakan kriteria bagi orang
lain untuk mendukung atau menolak perilaku seseorang.
Berbicara tentang norma, erat hubungannya
dengan nilai. Karena nilai yang dimiliki seseorang ikut mempengaruhi
perilakunya. Menurut Milton Rokeach, nilai merupakan suatu tipe keyakinan yang
dipusatkan didalam sistem kepercayaan pada diri seseorang, mengenai bagaimana
seseorang harus bertingkah laku atau apa yang tidak boleh dilakukan
(Sekarningsih, 1993).
Pada dasarnya norma itu muncul mempertahankan
atau memelihara nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, karena nilai itu
adalah gambaran mengenai apa yang baik, yang diinginkan, yang pantas, yang
berharga yang mempengaruhi perilaku sosial dari orang yang memiliki nilai itu.
Untuk menjaga itu, maka disusunlah suatu norma yang mampu memelihara
nilai-nilai tersebut. Apabila perilaku atau tindakan yang terjadi dalam
masyarakat tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat tersebut, maka ia
dikatakan menyimpang.
Dalam
hal ini perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu
sistem sosial dibedakan atas empat macam yaitu:
- Perilaku menyimpang yang dilihat dan dianggap sebagai kejahatan.
- Penyimpangan seksual dalam arti perilaku yang lain dari biasanya.
- Bentuk-bentuk konsumsi yang berlebihan, misalnya alkohol.
- Gaya hidup yang lain dari yang lain.
Akan tetapi penyimpangan apapun yang terjadi
haruslah selalu dilihat dari segi dimana dalam suatu masyarakat tertentu telah
digariskan terlebih dahulu apa yang normal terhadap masyarakat itu. Dasarnya
adalah bahwa penyimpangan itu tidak selalu sama untuk setiap masyarakat.
Di Indonesia, secara umum penyimpangan
perilaku pada remaja diartikan sebagai kenakalan remaja atau juvenile
delinquency. Penyimpangan perilaku remaja ini mempunyai sebab yang majemuk,
sehingga sifatnya mulai kasual. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja
adalah perilaku jahat atau kenakalan anak muda, merupakan gejala sakit
(patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu
bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang.
Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah
laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal
(Kartono, 1998).
Dari pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa kecenderungan kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja
untuk melakukan tindakan yang melanggar aturan yang dapat mengakibatkan
kerugian dan kerusakan baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Kenakalan remaja merupakan salah satu bentuk penyimpangan yang dilakukan remaja
karena tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan, dan norma sosial yang
berlaku. Bentuk-bentuk kenakalan remaja antara lain : bolos sekolah, merokok,
berkelahi, tawuran, menonton film porno, minum minuman keras, seks diluar
nikah, menyalahgunakan narkotika, mencuri, memperkosa, berjudi, membunuh,
kebut-kebutan dan banyak lagi yang lain.
Beberapa hal yang mempengaruhi timbulnya
kenakalan remaja antara lain:
Pengaruh teman sebaya
Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan
merupakan satu bentuk prestasi tersendiri. Makin banyak kawan, makin tinggi
nilai mereka di mata teman-temannya. Remaja lebih banyak bergaul dan
menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Jika remaja mempunyai masalah
pribadi atau masalah dengan orang tuanya, maka ia akan lebih sering
membicarakan dengan teman-temannya karena mereka merasa lebih nyaman berbagi
dengan teman dibanding dengan keluarga. Teman sebaya merupakan faktor penting
dalam mengatasi perubahan dan permasalahan yang mereka hadapi. Pengaruh teman
sangat lah besar dalam pembentukan watak dan kepribadian remaja, karena remaja
akan cenderung bersikap sesuai dengan teman sebayanya atau kelompoknya.
Faktor keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap
timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya
perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang
efektif, kurangnya kasih sayang orang tua dapat menjadi pemicu timbulnya
kenakalan remaja. Pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan
remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan
faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja.
Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan
dengan kenakalan. Pola pengasuhan anak juga berpengaruh besar, anak yang nakal
kebanyakan berasal dari keluarga yang menganut pola menolak karena mereka
selalu curiga terhadap orang lain dan menentang kekuasaan (Bagong Narwoko, 2007).
Media Massa
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam waktu singkat, informasi tentang peristiwa-peristiwa, pesan,
pendapat, berita, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya dengan mudah diterima.
Oleh karena itu media massa seperti surat kabar, TV, film, majalah mempunyai
peranan penting dalam proses transformasi nilai-nilai dan norma-norma baru
terhadap remaja. Mereka akan cenderung mencoba dan meniru apa yang dilihat dan
ditontonnya. Tayangan adegan kekerasan dan adegan yang menjurus ke pornografi,
ditengarai sebagai penyulut perilaku agresif remaja, dan menyebabkan terjadinya
pergeseran moral pergaulan, serta meningkatkan terjadinya berbagai pelanggaran
norma susila (Bagong Narwoko, 2007).
Robert K. Merton mengemukakan bahwa penyebab
perilaku menyimpang dapat dilihat dari sudut struktur sosial dan budaya, dimana
dinyatakan diantara segenap unsur-unsur sosial dan budaya terdapat dua unsur yang
terpenting, yaitu kerangka aspirasi-aspirasi dan unsur-unsur yang mengatur
kegiatan-kegiatan untuk mencapai aspirasi-aspirasi tersebut. Dengan kata lain
ada nilai sosial budaya yang merupakan rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak
yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa
yang baik dan apa yang buruk, serta normanorma yang mengatur kegiatan manusia
untuk mencapai cita-cita tersebut. Nilai sosial tersebut berfungsi sebagai
pedoman dan pendorong perilaku manusia didalam hidupnya. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya dengan dengan norma-norma
atau apabila tidak ada keselarasan antara aspirasi-aspirasi dengan saluran-saluran
yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut, maka terjadilah perilaku yang
menyimpang atau deviant behavior (Soekanto, 1990).
Kelakuan yang menyimpang tersebut akan
terjadi apabila manusia mempunyai kecenderungan untuk lebih mementingkan suatu
nilai sosial daripada norma-norma yang ada untuk mencapai cita-cita tersebut.
Sehingga manusia akan berusaha untuk mencapai suatu cita-cita melalui jalan
yang semudah-mudahnya tanpa ada suatu kesadaran akan tanggung jawab tertentu.
Memudarnya pegangan orang pada norma-norma
menimbulkan suatu keadaan yang tidak stabil dan keadaan tanpa norma-norma.
Emile Durkheim menamakannya dengan anomie (Soerjono Soekanto, 1990). Perilaku
menyimpang dibedakan antara lain: Perilaku menyimpang yang tidak disengaja
dikarenakan si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Perilaku
menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan. Hal
yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa seseorang
melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan melanggar aturan,
mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang
menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena
pada dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada
situasi tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan
yang berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan
diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang Becker (dalam Soerjono Soekanto,
1990).
Soerjono
Soekanto (2004), menjelaskan beberapa jenis lingkungan yang dapat mempengaruhi
perilaku remaja yaitu:
- Orang tua, saudara-saudara dan kerabat yang merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh dalam diri remaja. Melalui lingkungan ini, remaja mengenal lingkungan dan jenis pergaulan-pergaulan berikutnya yang akan menambah banyak pengaruh yang lain. Usia remaja merupakan usia pancaroba di mana masih dalam rangka mencari indentitas tertentu, di mana pencarian identitas ini pertama tertuju pada sosok dalam diri orang tua, kerabat atau saudaranya. Jika tidak diperoleh dari orang tua, kerabat atau saudara ini, maka pelarian pencarian identitas tersebut akan beralih ke lingkungan berikutnya, bisa teman sepermainan atau teman di sekolah.
- Kelompok sepermainan, merupakan teman-teman bermain di luar rumah dan luar sekolah, bisa mempengaruhi remaja baik positif maupun negatif.
- Kelompok pendidikan, yaitu pergaulan di sekolah, yang melibatkan pergaulan siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa. Adanya pembiasaan dalam perbuatan baik dan mulia di sekolah, diharapkan bisa memberikan pengaruh positif dalam pembentukan karakter dan kebiasaan baik bagi remaja, sebab lingkungan sekolah juga berperan dalam mempengaruhi perilaku remajanya.
Beberapa
hal yang merusak atau mengganggu proses asimilasi remaja dengan keluarganya
sehingga remaja mencari kenyamanan bergaul di luar keluarga adalah:
- Tidak ada saling pengertian mengenal dasar-dasar kehidupan bersama
- Terjadinya konflik mengenai otonomi, di mana satu pihak orang tua ingin agar anaknya dapat mandiri, di lain pihak keluarga mengekangnya
- Terjadinya konflik nilai-nilai yang tidak diserasikan
- Pengendalian dan pengawasan orang tua yang berlebihan
- Ketiadaan rasa saling menolong dan kebersamaam dalam keluarga
- Adanya masalah dalam hubungan antara ayah dan ibu
- Jumlah anak yang banyak yang kurang mendapatkan kasih sayang orang tua
- Campur tangan pihak luar keluarga
- Kedudukan sosial ekonomi yang berada di bawah standard
- Pekerjaan orang tua yang tidak seimbang, seperti jabatan ibu yang lebih tinggi dari ayah
- Aspirasi orang tua yang tidak disesuaikan dengan kenyataan yang terjadi
- Konsepsi peranan keluarga yang menyimpang dari kenyataan
- Timbulnya favoritisme di kalangan anggota keluarga, yang ini akan menimbulkan perhatian yang kurang adil merata dan seimbang di antara anggota keluarga
- Pecahnya keluarga yang disebabkan konflik ayah, ibu dan anak-anaknya
- Persaingan tajam di antara anak-anak yang menyolok.
Semua kondisi tidak kondusif bagi pembentukan
kepribadian remaja di atas, apabila terjadi maka yang pertama menjadi korban
adalah anak-anaknya terutama dalam usia remaja, di mana sosok figur panutan
masih dibutuhkan dalam kerangka pembentukan identitasnya (Soerjono Soekanto,
2004).
Jadi, sebab-sebab perilaku yang menyimpang pada
remaja ini tidak hanya terletak pada lingkungan famili, tetapi juga disebabkan
oleh konteks kulturalnya. Dengan demikian, karier kenakalan remaja itu jelas
dipupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk atau yang jahat.
Tags
Psikologi Sosial