Menurut World Health Organization (WHO, 1989)
ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan
individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di
sekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa
individu memiliki masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal.
Mereka sulit untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh
individu normal yang ada di sekitarnya (Purba, 2009).
Menurut Kuntjoro (1998 dikutip dari Purba,
2009) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidakmampuan bersosialisasi
adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat
diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti
kemauan sendiri tanpa mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu
lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu hidup dalam
dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat
diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan
tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang
selanjutnya oleh WHO disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).
Pengertian yang lebih rinci mengenai
ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, yaitu
suatu keadaan di mana individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau
secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang
tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya
tidak biasa, aneh dan kadang-kadang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Namun
perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari gaya hidup orang
lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu
(Purba, 2009).
Menurut Purba (2009) di Indonesia istilah
cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut: impairment, disabilities dan
handicap, karena sangat luasnya pengertian istilah-istilah tersebut, maka Forum
Asean merekomendasikan penggunaan definisi-definisi yang ditetapkan oleh WHO
tahun 1989 dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi.
Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:
Impairment
Impairment adalah hilangnya atau adanya
kelainan (abnormalitas) dari pada struktur atau fungsi yang bersifat
psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat sementara (temporer)
ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang biasa disebut dengan
anomali defect yang terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur
tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan eksteriorasi
keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan yang terjadi
pada tingkat organ.
Disabilities
(disability)
Disability merupakan keterbatasan atau
kurangnya kemampuan (akibat dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam
batas-batas dan cara yang dianggap normal bagi manusia. Kondisi ini dapat
bersifat sementara, menetap dan membaik atau memburuk. Dapat timbul sebagai
akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu,
khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan sensorik.
Handicap
Handicap adalah kemunduran pada seseorang
akibat adanya cacat atau disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk
dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, sex dan faktor sosial
budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara prestasi
seseorang atau statusnya dengan harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan
sosialisasi dari pada cacat atau disabilitas dan mencerminkan konsekuensi bagi
individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan lingkungannya yang berpangkal pada
adanya cacat dan disabilitas.
Gambaran Umum Individu yang
Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi
Individu yang mengalami ketidakmampuan
bersosialisasi digambarkan oleh WHO pada tahun 1989, bahwa angka rata-rata
kematian diantara individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi lebih
banyak dibanding individu yang normal. Seringkali kekurangan perhatian dalam
sosialisasi tentang faktor lingkungan dapat menyebabkan dan menggandakan
ketidakmampuan bersosialisasi. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi
tidak memiliki kunci masuk kedalam kelompok masyarakat dan kesempatan untuk
bersama-sama dengan masyarakat lain, seperti lembaga kesehatan, sekolah dan
institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan
pekerjaan (Purba, 2009).
Di beberapa negara, wanita dewasa yang
mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dapat ditolak suami dan diasingkan oleh
anak-anaknya, bahkan individu dewasa yang mengalami ketidakmampuan
bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu
dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Di kebanyakan
lingkungan masyarakat individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi
dipisahkan dari individu yang normal karena kepercayaan yang dianut oleh
masyarakat setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan
individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu
keharusan (Purba, 2009).
Ciri Individu yang Mengalami
Ketidakmampuan Bersosialisasi
WHO tahun 1989 menetapkan bahwa individu
mengalami ketidakmampuan bersosialisasi jika ia tidak dapat melakukan aktivitas
yang biasanya dapat dilakukan oleh individu normal berupa: tidak dapat makan
dan minum sendiri, tidak bisa menjaga kebersihan diri, tidak mampu memakai
pakaian sendiri, tidak mengerti instruksi yang mudah/simpel, tidak mampu atau
merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak
mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan
gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu
lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan
individu lain di sekelilingnya, tidak ikut bergabung dalam aktivitas keluarga,
tidak turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, tidak mempunyai pekerjaan dan
tidak mempunyai penghasilan yang memadai untuk membiayai kebutuhan hidup
sehari-hari, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga
(Purba, 2009).
Aspek-Aspek Ketidakmampuan
Bersosialisasi
Menurut Kuntjoro (1989 dikutip dari Purba,
2009), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara
garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
Activity
Daily Living (ADL)
Adalah
tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang
meliputi:
- Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur.
- Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.
- Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.
- Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.
- Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.
- Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.
- Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.
- Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.
Tingkah
laku sosial
Adalah
tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan
bermasyarakat yang meliputi:
- Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.
- Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.
- Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.
- Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).
- Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.
- Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.
- Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.
Tingkah
laku okupasional
Adalah
tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan
pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang
meliputi:
- Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.
- Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan pasien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca.
- Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku pasien yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya.
- Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.
- Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana pasien memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).
- Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku pasien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.
- Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan pasien terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan perbuatan tersebut berupa reaksi pasien bila diperintah/disuruh, dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.
Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Timbulnya Ketidakmampuan
Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia Birchwood
(1987, dikutip dari Purba, 2009) membuktikan bahwa munculnya gejala-gejala
kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia adalah
berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga dalam mengatasi permasalahan,
hilangnya kohesi dalam keluarga, cara mengambil keputusan yang tidak konsisten
dan beban keluarga yang dirasa berlebihan. Liberman (1989) menambahkan bahwa
yang mengakibatkan makin buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara
penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan,
ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan dukungan sosial yang kurang.
Penelitian Klerman pada tahun 1971
menggambarkan bahwa timbulnya social functioning impairment diakibatkan oleh
tingkah laku simptomatik yang dialami oleh penderita skozofrenia tersebut.
Weissman dan Bothwell pada tahun 1976 melanjutkan penelitian tersebut dan
menambahkan bahwa semakin buruk simptomatik psikiatriknya akan semakin buruk
juga social functioning (Purba, 2009).
Direktorat Kesehatan Jiwa (1997, dikutip dari
Purba, 2009) menyatakan bahwa kadang-kadang pasien skizofrenia tidak dapat
diterima dengan baik oleh lingkungan keluarga dan masyarakat yang dapat
menimbulkan dan memperparah ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita oleh
penderita skizofrenia.
Hal
ini disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya adalah:
- Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya.
- Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.
- Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.
- Keluarga dan masyarakat yang menetawarkan penderita skozofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai kecacatan dan penyebabnya.