Prinsip kerja hemodialisa adalah aliran darah
yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke
dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke
tubuh pasien.
Sebagian besar dializer merupakan lempengan
rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan
yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan
melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di
sekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan
terjadi melalui membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja
hemodialisa, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di
dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah
yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang
lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting
dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari
dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan
menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah dengan tekanan
yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan
dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative
yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative
diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan
memfasilitasi pengeluaran air (Suharayanto dan Madjid, 2009).
Akses pada Sirkulasi Darah
Pasien
Akses
pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula dan femoralis,
fistula, tandur (Suharayanto dan Madjid, 2009).
- Kateter subklavikula dan femoralis --- Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
- Fistula --- Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan (biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan atau menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah). Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali (reinfus) darah yang sudah didialisis.
- Tandur --- Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-tex (heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula.
Sistem Kerja Dializer
Terdapat
2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu:
- Pararel plate dialyzer --- Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh dua penyokong. Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran, dan cairan dialisa dapat mengalir dalam arah yang sama seperti darah, atau dengan daerah berlawanan.
- Hollow Fiber atau capillary dialyzer --- Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan cairan dialisa membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan dengan arah aliran darah.
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua
sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk cairan dialisa. Bila sistem ini
bekerja, darah mengalir dari penderita melalui tabung plastik (jalur arteri),
melalui dializer hollow fiber dan kembali ke penderita melalui jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam
dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar
melalui drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang
membrane dialisis melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.
Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian
rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi
agar memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal
ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan
glukosa. Urea, kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah
dari darah ke dalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam
cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam cairan
dialisis, akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk
mengoreksi asidosis penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita
menjadi bikarbonat. Glikosa dalam konsentrasi yang rendah (200 mg/100 ml)
ditambahkan ke dalam bak dialisis untuk mencegah difusi glukosa ke dalam bak
dialisis yang dapat mengakibatkan kehilangan kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada
jalur arteri melalui infuse lambat untuk mencegah pembekuan. Bekuan darah dan
gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah
kembali ke aliran darah. Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan
hemodialisa adalah tiga kali seminggu, dengan setiap kali hemodialisa 3 sampai
5 jam.
Penatalaksanaan Pasien yang
Menjalani Hemodialisa
Hemodilisa merupakan hal yang sangat membantu
pasien sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat
menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat
meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma,
2008 dalam Desita, 2010).
Pasien hemodialisa harus mendapat asupan
makanan yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan
prediktor yang penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa.
Asupan protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan
protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meq/hari.
Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan tinggi kalium seperti
buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Jumlah asupan
cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air kencing yang ada ditambah insensible
water loss. Asupan natrium dibatasi 40-120 meq.hari guna mengendalikan tekanan
darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang
selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka
selama periode di antara dialisis akan terjad kenaikan berat badan yang besar
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Menurut
Lumenta (1992) anjuran pemberian diet pada pasien hemodialisa 2 x/ minggu:
- Protein : 1 – 1,2 gr/kgBB/hari
- Kalori : 126 – 147 kj/ kgBB (30 – 35 kal/kgBB/hari)
- Lemak : 30 % dari total kalori
- Hidrat arang : sedikit gula (55 % total kalori)
- Besi : 1,8 mmol/hari (100 mg)
- Air : 750 – 1000 ml/hari (500 + sejumlah urin/24 jam)
- Ca : 25 – 50 mmol/hari (1000 – 2000)
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya
atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat
glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau
dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan
jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Risiko
timbuknya efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Brunner &
Suddarth, 2002).
Indikasi dan Komplikasi
Terapi Hemodialisa
Menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) umumnya indikasi
dialisa pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5
ml/menit) sehingga dialisis baru dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah
satu dari hal di bawah:
- Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
- K serum > 6 mEq/L
- Ureum darah > 200 mg/L
- Ph darah < 7,1
- Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
- Fluid overloaded.
Komplikasi
terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut (Brunner & Suddarth,
2002):
- Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
- Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
- Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
- Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.
- Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
- Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.
- Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit
Dalam Indonesia (2006) komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom
disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan
intrakranial, kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat
dialisis dan hipoksemia.