Penyakit sifilis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum yang bersifat kronis dan sistemik
ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan
selaput lendir kemudian masuk kedalam periode laten tanpa manifestasi lesi di
tubuh diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan,
sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Infeksi ini dapat ditularkan
kepada bayi di dalam kandungan (sifilis kongenital) (Hutapea, 2010).
Epidemiologi Penyakit sifilis
Penyakit sifilis tersebar diseluruh dunia dan
telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang dapat dikendalikan dengan
baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang
dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990
dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan
masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anak-anak muda
dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia
muda berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan
prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial
daripada faktor biologis. Dari data tahun 1981-1989 insidensi sifilis primer
dan sekunder di Amerika Serikat meningkat 34% yaitu 18,4% per 100.000 penduduk.
Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan
bagian selatan faktor risiko yang melatarbelakangi peningkatan prevalensi sifilis
pada kelompok ini antara lain pemakaian obat-obat terlarang, prostitusi, AIDS
dan hubungan seks pertama kali pada usia muda. Pada tahun 2003-2004 terjadi
peningkatan prevalensi sifilis sebanyak 8 % dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000
populasi. Sedangkan pada tahun 2006 – 2007 terjadi peningkatan 12% dari 3,3
menjadi 3,7 per 100.000 populasi (Liu,2009).
Etiologi dan morfologi Penyakit
sifilis
Penyakit sifilis disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum yang merupakan spesies Treponema dari famili
Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Treponema pallidum berbentuk spiral,
negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 μm (antara 6-20 μm) dengan diameter
antara 0,09 – 0,18 μm. Treponema pallidum mempunyai titik ujung terakhir dengan
3 aksial fibril yang keluar dari bagian ujung lapisan bawah. Treponema dapat
bergerak berotasi cepat, fleksi sel dan maju seperti gerakan pembuka tutup
botol (Hutapea, 2009).
Gejala klinis Penyakit sifilis
Menurut hasil pemeriksaan histopatologis,
perjalanan penyakit sífilis merupakan penyakit pembuluh darah dari awal hingga
akhir. Dasar perubahan patologis sífilis adalah inviltrat perivaskular yang
terdiri atas limfosit dan plasma sel. Hal ini merupakan tanda spesifik namun
tidak patognomonis untuk sífilis. Sel infiltrat tampak mengelilingi endotelial
yang berproliferasi sehingga menebal. Penebalan ini mengakibatkan timbulnya
trombosis yang menyebabkan fokus-fokus nekrosis kecil sebagai lesi primer.
Periode inkubasi sifilis biasanya 3 minggu.
Fase sifilis primer ditandai dengan munculnya tanda klinis yang pertama yang
umumnya berupa tukak baik tunggal maupun multipel. Lesi awal biasanya berupa
papul yang mengalami erosi, teraba keras dan terdapat indurasi. Permukaan dapat
tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi
dan keras. Pada pria biasanya disertai dengan pembesaran kelenjar limfe
inguinal media baik unilateral maupun bilateral. Masuknya mikroorganisme ke
dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan
terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras
nonfluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya chancer (ulkus
durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di rektum atau serviks. Tanpa
diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6
minggu.
Sepertiga dari kasus yang tidak diobati
mengalami stadium generalisata, stadium dua, dimana muncul erupsi di kulit yang
kadang disertai dengan gejala konstitusional tubuh. Timbul ruam makulo papuler
bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti dengan limfadenopati.
Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan menghilang
secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan kemudian.
Sifilis sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ
tubuh dan dapat disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan
selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan
serologis reaktif. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten
alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Dapat dijumpai plakat pada selaput
lendir mulut, kerongkongan dan serviks. Pada beberapa kasus ditemukan pula
splenomegali. Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah
pada penderita sifilis primer dan sekunder. Namun jika dilihat dari kemampuannya
menularkan kepada orang lain, maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium
kedua yang infeksius dengan stadium laten yang non infeksius adalah bersifat
arbitrari, oleh karena lesi pada penderita sifilis stadium pertama dan kedua
bisa saja tidak kelihatan.
Lesi pada sifilis stadium dua bisa muncul
berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun setelah infeksi. Namun penularan
jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Dengan demikian di AS
penderita sifilis dianggap tidak menular lagi setahun setelah infeksi.
Transmisi sifilis dari ibu kepada janin kemungkinan terjadi pada ibu yang
menderita sifilis stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama
stadium laten. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka
yang tidak diobati akan masuk kedalam fase laten selama berminggu minggu bahkan
selama bertahun tahun. Fase laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis
namun dengan pemeriksaan serologis yang reaktif. Akan tetapi bukan berarti
perjalanan penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat terjadi sifilis
stadium lanjut berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan
kardiovaskuler. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala
meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan
akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadang kala
berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5 –
20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada aorta yang sangat berbahaya (sifilis
kardiovaskuler) atau gumma dapat muncul dikulit, saluran pencernaan tulang atau
pada permukaan selaput lendir.
Stadium awal sifilis jarang sekali
menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius, sedangkan stadium lanjut
sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan menurunkan produktivitas
dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama
juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP. Oleh karena itu
setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan
yang bersangkutan menderita neurosifilis (neurolues).
Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang
menderita sifilis stadium awal pada saat mengandung bayinya dan ini sering
sekali terjadi sedangkan frekuensinya makin jarang pada ibu yang menderita
stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya. Infeksi pada janin dapat
berakibat terjadi aborsi, stillbirth atau kematian bayi karena lahir prematur
atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit
sistemik.
Bayi yang menderita sifilis mempunyai lesi
mukokutaneus basah yang muncul lebih menyebar dibagian tubuh lain dibandingkan
dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah ini merupakan sumber infeksi yang
sangat potensial.
Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya
manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa gejala neurologis terserangnya
SSP. Dan kadangkala infeksi kongenital dapat mengakibatkan berbagai kelainan
fisik yang dapat menimbulkan stigmatisasi di masyarakat seperti gigi
Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), saber shins (tulang
kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital
kadang asimtomatik, terutama pada minggu-minggu pertama setelah lahir (Hutapea,
2009).
Pemeriksaan Penyakit sifilis
Beberapa
pemeriksaan terhadap sifilis dapat dilakukan dengan berbagai cara:
- Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam lesi. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Kemudian serum diperiksa pada lapangan gelap untuk melihat ada tidaknya T.pallidum berbentuk ramping, dengan gerakan lambat dan angulasi. Bahan apusan lesi dapat pula diperiksa dengan metode mikroskop fluoresensi, namun pemeriksaan ini memberikan hasil yang kurang dapat dipercaya sehingga pemeriksaan dark field lebih umum dilaksanakan.
- Penentuan antibodi di dalam serum yang timbul akibat infeksi T.pallidum. Tes yang dilakukan sehari-hari dapat menunjukkan reaksi IgM dan juga IgG tetapi tidak dapat menunjukkan antibodi spesifik adalah tes Wasserman, tes Kahn, tes VDRL (Veneral Diseases Research Laboratory), tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan tes Automated Reagin. Tes-tes tersebut merupakan tes standar untuk sifilis dan memiliki spesifisitas rendah sebab dapat menunjukkan hasil positif semu. Sedangkan tes RPCF ( Reiter Protein Complement Fixation) merupakan tes yang dapat menunjukkan kelompok antibodi spesifik. Tes dengan spesifitas tinggi dan dapat menentukan antibodi spesifik sifilis ini adalah tes TPI, tes FTA-ABS, tes TPHA dan tes Elisa (Hutapea, 2009).
Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi
Menular Seksual Depkes RI tahun 2006, diagnosa sifilis dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan serologis terhadap darah dan likuor
serebrospinalis.
Komplikasi Penyakit sifilis
Penyakit sifilis stadium lanjut yang dapat
menyebakan neurosifilis, sifilis kardiovaskuler, dan sifilis benigna lanjut
dapat menyebabkan kematian bila menyerang otak.
Tags
Patologi