Pengertian Penyakit Malaria
Penyakit malaria adalah penyakit infeksi
menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit berupa demam yang
sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh
karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal.
(Prabowo, 2004)
Etiologi Penyakit Malaria
Penyebab penyakit malaria adalah parasit
malaria, suatu protozoa dari genus Plasmodium.
Sampai
saat ini di Indonesia dikenal 4 jenis spesies plasmodium penyebab malaria pada
manusia, yaitu (Depkes, 2005):
- Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering menyebabkan malaria yang berat (malaria serebral dengan kematian).
- Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
- Plasmodium malariae, penyebab malaria quartana
- Plasmodium ovale, menyebabkan malaria ovale tetapi jenis ini jarang dijumpai.
Gejala malaria
Gejala klinis penyakit malaria sangat khas
dengan adanya serangan demam yang intermiten, anemia sekunder dan splenomegali.
Gejala didahului oleh keluhan prodromal berupa, malaise, sakit kepala, nyeri
pada tulang atau otot, anoreksia, mual, diare ringan dan kadang-kadang merasa
dingin di punggung. Keluhan ini sering terjadi pada P.vivax dan P.ovale, sedangkan
P.falciparum dan P.malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat
mendadak ( Harijanto, 2000).
Demam periodik berkaitan dengan saat pecahnya
schizon matang (sporolasi). Pada malaria tertiana (P.Vivax dan P. Ovale),
pematangan schizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3,
sedangkan malaria kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan
periodisitas demamnya tiap 4 hari. Gejala klasik malaria biasanya terdiri atas
3 (tiga) stadium yang berurutan, yaitu (Depkes, 2005):
Stadium
dingin (Cold stage)
Penderita akan merasakan dingin menggigil
yang amat sangat, nadi cepat dan lemah, sianosis, kulit kering, pucat, kadang
muntah. Periode ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan
meningkatnya temperatur.
Stadium
demam (Hot stage)
Muka penderita terlihat merah, kulit panas
dan kering, nadi cepat dan panas badan tetap tinggi dapat sampai 40°C atau
lebih, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai
terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2
jam atau lebih,
Stadium
berkeringat (Sweating stage)
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak
sekali. Hal ini berlangsung 2-4 jam. Meskipun demikian, pada dasarnya gejala
tersebut tidak dapat dijadikan rujukan mutlak, karena dalam kenyataannya gejala
sangat bervariasi antar manusia dan antar Plasmodium.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai
pada infeksi malaria, dan lebih sering dijumpai pada penderita daerah endemik
terutama pada anak-anak dan ibu hamil. Derajat anemia tergantung pada spesies
penyebab, yang paling berat adalah anemia karena P.falcifarum. Anemia di
sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan. eritrosit normal tidak
dapat hidup lama (reduced survival time) dan gangguan pembentukan eritrosit
karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang (Mansjoer, 2001).
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang
merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa merupakan organ penting dalam
pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria. Limpa akan teraba setelah 3 hari
dari serangan infeksi akut dimana akan terjadi bengkak, nyeri dan hiperemis.
Pembesaran terjadi akibat timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat
bertambah (Harijanto, 2000).
Hampir semua kematian akibat penyakit malaria
disebabkan oleh P.falciparum. Pada infeksi P.falciparum dapat menimbulkan
malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciprum
stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi (Harijanto, 2000).
Faktor-faktor yang Berperan
dalam Terjadinya Malaria
Faktor
Agent ( penyebab infeksi)
Untuk
kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi memerlukan 2 macam
siklus, yaitu:
- Siklus di luar sel darah merah (siklus preeritrositer) --- Siklus ini berlangsung di dalam sel hati. Jumlah merosoit yang dikeluarkan skizon hati berbeda untuk setiap spesies. P. falciparum menghasilkan 40.000 merosoit, P. vivax lebih dari 10.000, P. ovale 15.000 merosoit. Di dalam sel darah merah membelah, sampai sel darah merah tersebut pecah. Setiap merosoit dapat menghasilakn 20.000 sporosoit. Pada P. vivax dan P. ovale ada yang ditemukan dalam bentuk laten di dalam sel hati dan disebut hipnosoit sebagai suatu fase dari siklus hidup parasit yang dapat menyebabkan penyakit kumat/kambuh (long term relapse). Bentuk hipnosoit dari P. vivax bisa hidup sebagai dormant stage sampai beberapa tahun. Sejauh ini diketahui bahwa P. vivax dapat kambuh berkali-kali sampai jangka waktu 3–4 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun, bila pengobatan tidak adekuat. P. falciparum dapat persisten selama 1–2 tahun dan P. malariae sampai 21 tahun. (Depkes, 2003b).
- Siklus di dalam sel darah merah (eritrositer) --- Siklus skizogoni eritrositer yang menimbulkan demam. Merosoit masuk kedalam darah kemudian tumbuh dan berkembang menjadi 9–24 merosoit (tergantung spesies). Pertumbuhan ini membutuhkan waktu 48 jam untuk malaria tertiana (P. falciparum, P.vivax dan P.ovale), serta 72 jam untuk malaria quartana (P. malariae). Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penular penyakit bagi vektor malaria. Beberapa parasit tidak mengulangi siklus seksual, tetapi berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina. Gametosit pada P.vivax dan P.ovale timbul 2–3 hari sesudah terjadi parasitemia, P. falciparum 6–14 hari dan P.malariae beberapa bulan kemudian (Depkes, 2003b).
Vektor Malaria
Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk hanya
dari genus Anopheles. Di Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies
dan 24 spesies diantaranya telah dikonfirmasi sebagai nyamuk penular malaria.
Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau
paling banyak 3 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting. Vektor-vektor
tersebut memiliki habitat, mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dan
lain-lain (Achmadi, 2005).
Hanya nyamuk Anopheles betina yang menghisap
darah yang diperlukan untuk pertumbuhan telur nyamuk . Perilaku nyamuk sangat
menentukan dalam proses penularan malaria (Depkes RI, 1999).
Menurut
Achmadi (2005), secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai penular malaria
mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu:
- Zoofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang.
- Anthropofilik : nyamuk yang menyukai darah manusia.
- Zooanthropofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang dan juga manusia.
- Endofilik : nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan.
- Eksofilik : nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.
- Endofagik : nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan.
- Eksofagik : nyamuk yang suka menggigit di luar rumah.
Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera
adalah A. sundaicus, A. maculatus, A. aconitus dan A. balabacensis. Sedangkan
di luar pulau tersebut, khususnya Indonesia wilayah tengah dan timur adalah
A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis, A. punctulatus, A. subpictus dan A.
balabacensis (Achmadi, 2005).
Tempat tinggal manusia dan ternak merupakan
tempat yang paling disenangi oleh Anopheles. Ternak besar seperti sapi dan
kerbau dapat mengurangi gigitan nyamuk pada manusia (cattle barrier), apabila
kandang hewan tersebut diletakkan di luar rumah tetapi tidak jauh jaraknya dari
rumah (Depkes, 2003).
Faktor
Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena
malaria. Menurut Anies (2006), manusia menjadi sumber infeksi malaria bila
mengandung gametosit dalam jumlah yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk
mengisap darah manusia tersebut dan menularkan kepada orang lain.
Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis
kelamin sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi
keterpaparan kepada gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat
perlindungan antibodi maternal yang diperoleh secara transplasental (Anies,
2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki,
namun kehamilan menambah risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai
dampak yang buruk terhadap kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada
manusia dapat mempengaruhi terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit
ke dalam sel, mengubah respons immunologik atau mengurangi keterpaparan
terhadap vektor (Harijanto, 2000).
Faktor
Lingkungan
Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor
penular malaria, menurut Harijanto (2000) ada beberapa faktor lingkungan yang
sangat berperan yaitu :
Lingkungan
Fisik
Faktor
geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi malaria di
Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies. Pada suhu 26,7°C masa
inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.falciparum dan 8-11 hari untuk
P.vivax, 14-15 hari untuk P.malariae dan P.ovale.
- Suhu --- Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang optimum berkisar antara 20 – 30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
- Kelembaban --- Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk jadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria.
- Hujan --- Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles.
- Angin --- Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah.
- Ketinggian --- Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000 m diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan malaria. Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria ialah 2500 m diatas permukaan laut (di Bolivia).
- Sinar matahari --- engaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus lebih menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat yang teduh maupun yang terang.
- Arus air --- A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir lambat, sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer menyukai air tergenang.
Lingkungan
biologik
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai
tumbuhan lain dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi
sinar matahari atau melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya
berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila,
mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya
ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk
pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari
rumah.
Lingkungan
kimiawi
Kadar garam dari tempat perindukan
mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk, seperti A. sundaicus tumbuh optimal pada
air payau yang kadar garamnya 12-18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40%
keatas. Namun di Sumatera Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam
air tawar.
Lingkungan
sosial budaya
Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah
sampai larut malam, dimana vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan
memudahkan gigitan nyamuk. Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang
bahaya malaria akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria
antara lain dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat
kasa pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).
Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat
yang berpengetahuan rendah kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali
dibandingkan masyarakat yang berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan
malaria pada masyarakat yang memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan
masyarakat yang memiliki sikap baik Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar
rumah malam hari mempunyai risiko tertular malaria 4 kali dibandingkan
masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari.
Diagnosis Malaria
Diagnostik malaria sebagaimana penyakit pada
umumnya didasarkan pada gejala klinis, penemuan fisik, pemeriksaan laboratorium
darah dan uji imunoserologis. Ada 2 cara diagnostik yang diperlukan untuk
menentukan seseorang itu positif malaria atau tidak yaitu pemeriksaan darah
tepi (tipis/tebal) dengan mikroskop dan deteksi antigen (Harijanto, 2000).
Meskipun sangat sederhana pemeriksaan darah
tepi dengan mikroskop merupakan gold standard dan menjadi pemeriksaan
terpenting yang tidak boleh dilupakan. Interpretasi yang didapat dari hasil
pemeriksaan darah tepi adalah jenis dan kepadatan parasit (Guerin, 2002).
Deteksi antigen digunakan apabila tidak
tersedia mikroskop untuk memeriksa preparat darah tepi atau pada daerah yang
sulit dijangkau dan keadaan darurat yang perlu diagnosis segera. Teknik yang
digunakan untuk deteksi antigen adalah immunokromatografi dengan kertas
dipstick yang dikenal dengan Rapid Diagnostic Test (RDT). Alat ini dapat mendeteksi
antigen dari P. falciparum dan non falciparum terutama P. vivax (Tjitra, 2005).
Malaria
Relaps
Istilah relaps telah digunakan secara luas
dalam dunia kedokteran yang berarti kambuh atau adanya serangan ulang dari
suatu penyakit setelah serangan pertama hilang atau sembuh. Istilah ini juga
digunakan untuk penyakit malaria, namun sedikit lebih spesifik (Cogswell,1992).
Relaps
pada penyakit malaria dapat bersifat:
- Rekrudesensi (relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan pertama hilang.
- Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit daur eksoeitrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang (Prabowo, 2004).
Mekanisme
Terjadinya Malaria Relaps
Marchoux
dalam Cogswell (1992) menjelaskan mekanisme terjadinya relaps pada penyakit
malaria sebagai berikut:
- Pada akhir fase praeritrosit, skizon pecah, merozoit keluar dan masuk ke dalam peredaran darah. Sebagian besar menyerang eritrosit yang berada di sinusoid hati tetapi beberapa di fagositosis. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian sporozoit yang menjadi hipnozoit setelah beberapa waktu ( beberapa bulan hingga 5 tahun) menjadi aktif kembali dan mulai dengan skizogoni eksoeritrosit sekunder. Proses ini dianggap sebagai timbulnya relaps jangka panjang (long term relaps) atau rekurens ( recurrence).
- Dalam perkembangannya P.falciparum dan P.malariae tidak memiliki fase eksoeritrosit sekunder. Parasit dapat tetap berada di dalam darah selama berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan gejala berulang dari waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh proliferasi stadium eritrositik dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short term relapse). Pada malaria falciparum, rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari dari serangan awal dan ini mungkin menunjukkan adanya suatu resistensi terhadap chloroquine.
Rekrudesensi yang panjang kadang dijumpai
pada P. malariae yang disebabkan oleh stadium eritrositik yang menetap dalam
sirkulasi mikrokapiler jaringan.
Faktor-faktor
yang Berhubungan dengan Kejadian Relaps
Timbulnya
relaps atau serangan ulang pada penderita malaria berkaitan dengan keadaan
berikut:
- Tidak efektifnya respon imun dari penderita --- Suatu kenyataan bahwa terjadinya penyakit akan menimbulkan respons imun dari hospes yaitu dengan adanya reaksi radang, hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya dengan rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan antibodi tersebut. Respon imun terhadap malaria bersifat spesies spesifik, seseorang yang imun terhadap P.vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh P.falciparum (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).
- Pengobatan yang tidak sempurna --- Obat-obat malaria yang bersifat skizontisid darah efektif menekan proses skizogoni fase eritrosit dan mengurangi gejala klinis. Karena merasa sudah sehat penderita berhenti minum obat sebelum seluruh dosis obat habis. Kebiasaan lain adalah penderita berbagi obat dengan penderita lain sehingga dosis yang diharapkan tidak tercapai. Ini mengakibatkan relaps jangka pendek. Pada kasus P. vivax dan P. ovale dapat terjadi pengaktifan kembali dari hipnozoit di hati dan menyebabkan relaps jangka panjang (http//www.malariasite.com, 22 November 2008).
- Reinfeksi atau terpapar dengan gigitan nyamuk yang berulang --- Penyebab terjadinya serangan ulang yang paling sering terutama di daerah endemis adalah adanya reinfeksi atau infeksi ulang yang terjadi segera setelah penderita menyelesaikan pengobatannya. Reinfeksi bisa terjadi 14 hari setelah pengobatan. Hal ini dimungkinkan bila lingkungan penderita mendukung berkembangnya vektor malaria sehingga penderita selalu terpapar dengan gigitan nyamuk yang infektif (Omunawa, 2002).
Dampak
Malaria Relaps terhadap Pembangunan Kesehatan
Masalah malaria menjadi semakin sulit untuk
diatasi dan diperkirakan akan menjadi hambatan bagi keberhasilan pembangunan
kesehatan, oleh karena kejadian kesakitan dapat berlangsung berulang kali dan
menyebabkan kelemahan fisik bagi penderitanya. Kerugian semakin terasa bila
kelompok usia produktif yang terkena, mengingat mereka adalah tenaga
pembangunan utama.
Dalam jangka pendeknya, kerugian mudah
diperhitungkan dengan hilangnya hari produktif dari seseorang yang menderita
malaria. Bila seorang pekerja terkena malaria, paling tidak dia akan kehilangan
hari kerja 3 sampai 5 hari. Bila nilai hari produktif diubah dengan hitungan
kerugian dalam bentuk uang, maka seorang yang biasanya memperoleh penghasilan
Rp25.000 per hari, saat menderita malaria akan kehilangan peluang mendapatkan
uang sejumlah Rp75.000 sampai Rp125.000. Belum lagi kalau diperhitungkan dengan
biaya pengobatan dan jumlah serangan ulang yang mungkin terjadi, tentunya akan
bertambah besar lagi economic loss penderita tadi (Sahli, 2004).
Menurut Gani (2000), kerugian jangka pendek
yang ditimbulkan akibat malaria dapat mencapai 11% sampai dengan 49% dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) di beberapa Kabupaten/Kota.
Pada
dimensi jangka panjangnya, ternyata akibat malaria tidak kalah hebat. Ia akan
menyebabkan gangguan kesehatan ibu dan anak, intelegensia, produktivitas
angkatan kerja, serta merugikan kegiatan pariwisata (Achmadi, 2005).
Pencegahan Penyakit Malaria
Pencegahan merupakan suatu komponen yang
sangat penting dalam penanggulangan malaria. Menurut Barnas (2003) cara terbaik
untuk mencegah terjadinya relaps adalah dengan mencegah infeksi awal terutama
bila berada di daerah endemis malaria. Hal ini dapat dilakukan dengan
memberikan pengobatan profilaksis bagi mereka yang akan berkunjung ke daerah
malaria.
Selanjutnya
pencegahan terhadap serangan ulang malaria atau relaps yang perlu dilakukan
adalah:
- Mecegah terjadinya reinfeksi dengan menghindari gigitan nyamuk --- Bagi masyarakat yang tinggal di daerah endemis, dianjurkan untuk memakai baju lengan panjang dan celana panjang saat keluar rumah pada malam hari, memasang kawat kasa di jendela dan ventilasi rumah serta menggunakan kelambu saat tidur, juga menggunakan lotion anti nyamuk (mosquito repellent) saat tidur atau keluar rumah di malam hari. Penelitian Dasril (2005) menunjukkan bahwa resiko penularan malaria pada rumah yang tidak dipasang kawat kasa 5,2 kali lebih besar dibandingkan dengan rumah yang dipasang kawat kasa. Masyarakat dengan kebiasaan tidak menggunakan repellent malam hari kemungkinan risiko 3,2 kali dibandingkan masyarakat dengan kebiasaan menggunakan repellent malam hari. Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Piyarat (1986), ditemukan bahwa penduduk yang tidak menggunakan kelambu secara kontinu cenderung mempunyai risiko kejadian malaria 6,44 kali dibandingkan dengan yang menggunakan kelambu secara kontinu.
- Pengobatan yang adekuat --- Penderita malaria diberikan obat anti malaria yang sesuai dengan dosis dan aturan yang tepat. Seluruh kasus yang telah di konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium harus mendapatkan pengobatan radikal dengan primakuin. Pengobatan radikal dapat membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh manusia dan bertujuan mendapatkan kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan rantai penularan (Depkes, 2006). Pemberian primakuin selama 14 hari pada infeksi oleh P.vivax dapat menghancurkan bentuk hipnozoit dan untuk sterilisasi gametocyt P.falciparum diberikan primakuin single dose. Perlu ditekankan kepada penderita untuk menyelesaikan pengobatan secara lengkap (Guerin, 2002).
Karakteristik Penderita
Penyakit Malaria
Umur
Penyakit malaria pada umumnya dapat menyerang
semua golongan umur, dan anak-anak lebih rentan terhadap infeksi parasit
malaria. Namun bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan antibodi
maternal yang diperoleh secara transplasental. Telah diamati bahwa ada pengaruh
spesies Plasmodium terhadap penyebaran malaria pada berbagai kelompok umur,
yaitu : P. vivax lebih banyak dijumpai pada kelompok umur muda, kemudian
diikuti oleh P. malaria dan P. falciparum (Harijani, 1992).
Jenis
Kelamin
Infeksi malaria tidak membedakan jenis
kelamin, perbedaan angka kesakitan malaria pada laki-laki dan perempuan dapat
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pekerjaan, pendidikan, migrasi
penduduk dan kekebalan (Depkes RI, 1999).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
perempuan mempunyai respons imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki,
namun kehamilan menambah risiko untuk terjadinya infeksi malaria (Harijanto,
2000).
Pendidikan
Cuming et al (Azwar, 2002) mengemukakan bahwa
pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan untuk mengembangkan kepribadian
dan kemampuan individu atau masyarakat. Ini berarti bahwa pendidikan adalah
suatu pembentukan watak yaitu nilai dan sikap disertai dengan kemampuan dalam
bentuk kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan. Tingkat pendidikan sangat
menentukan daya nalar seseorang yang lebih baik sehingga memungkinkan untuk
menyerap informasi-informasi juga dapat berpikir secara rasional dalam
menanggapi suatu informasi atau masalah yang dihadapi.
Penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin
(2004), di Kabupaten Bireuen, menunjukkan bahwa kejadian malaria sebagian besar
terjadi pada kelompok umur 15–49 tahun (36,4%), menyerang lebih banyak
laki-laki (56,8%), dan terbanyak berpendidikan rendah (97%) serta terdapat hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dan pendidikan responden dengan kejadian
malaria.
Pekerjaan
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas
utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan
digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang
(Depdikbud, 1999).
Pekerjaan lebih banyak dilihat dari
kemungkinan keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan tersebut serta
besarnya resiko menurut sifat pekerjaan juga akan berpengaruh pada lingkungan
kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu (Notoatmodjo,
2003a).
Hal ini sesuai dengan penelitian Piyarat
(1986) yang menyatakan bahwa orang yang tempat bekerjanya di hutan mempunyai
risiko untuk tertular penyakit malaria karena dihutan merupakan tempat hidup
dan berkembangbiaknya nyamuk Anopheles sp dengan kepadatan yang tinggi.
Dibuktikan juga oleh hasil penelitian Budarja
(2001) bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis pekerjaan (berkebun,
nelayan dan buruh yang bekerja pada malam hari) dengan kejadian malaria.
Tags
Patologi