Terdapat
beberapa cara pencegahan penyakit diare yang dapat dilakukan, baik itu
pencegahan primer, sekunder maupun pencegahan tersier. Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan
penyakit secara umum yakni: pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua
(Secondary Prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang
tepat, dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi
pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Nasry Noor, 1997).
PENCEGAHAN PRIMER
Pencegahan primer penyakit diare dapat
ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor
penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme penyebab diare dihilangkan.
Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan lingkungan biologis
dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh
dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian
imunisasi.
Penyediaan air bersih
Air
adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70% tubuh
manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi, dan
pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan
kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan
air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam penularan
beberapa penyakit menular termasuk diare (Sanropie, 1984).
Sumber
air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air permukaan yang merupakan
air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air
tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal dari
atmosfir seperti hujan dan salju (Soemirat, 1996).
Air dapat
juga menjadi sumber penularan penyakit. Peran air dalam terjadinya penyakit
menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang insekta
penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang tidak
dapat membersihkan dirinya dengan baik, dan air sebagai sarang hospes
sementara penyakit (Soemirat,
1996).
Dengan memahami daur/siklus air di alam
semesta ini, maka sumber air dapat diklasifikasikan menjadi:
- air angkasa seperti hujan dan air salju,
- air tanah seperti air sumur, mata air dan artesis,
- air permukaan yang meliputi sungai dan telaga. Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air hujan, dan sumur artesis (Sanropie, 1984).
Untuk
mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber yang
terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang
ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus
ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan
menggunakan gayung yang bersih, dan untuk minum air harus di masak. Masyarakat
yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare
lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air
besih (Andrianto, 1995).
Tempat pembuangan tinja
Pembuangan
tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan. Pembuangan tinja
yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu
yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 1983).
Keluarga
yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus membuang air besar
di jamban. Jamban harus dijaga dengan
mencucinya secara teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus
membuang air besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling
kurang sepuluh meter dari sumber air bersih (Andrianto, 1995).
Untuk
mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia
harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila
memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air
permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah
digunakan dan dipelihara, dan murah (Notoatmodjo, 1996).
Tempat
pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko
terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan
keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat
sanitasi (Wibowo, 2003). Menurut hasil penelitian Irianto (1996), bahwa anak
balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kakus) yang dilengkapi dengan
tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan
kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota dan 8,9 % di desa.
Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluaga yang mempergunakan sungai sebagi
tempat pembuangan tinja, yaitu, 17,0% di kota dan 12,7% di desa.
Status gizi
Status
gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan
makanan oleh tubuh (Parajanto, 1996). Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi.
Menurut Gibson (1990) metode penilaian
tersebut adalah;
- konsumsi makanan;
- pemeriksaan laboratorium,
- pengukuran antropometri
- pemeriksaan klinis. Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif.
Makin
buruk gizi seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang dialami.
Mortalitas bayi dinegara yang jarang terdapat malnutrisi protein energi (KEP)
umumnya kecil (Canada, 28,4 permil). Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar
timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga
kemampuan untuk mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme
berkurang (Suharyono, 1986).
Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI
adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan tersedia dalam
bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh
bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan.
Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan tambahan
seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak.
Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan.
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan
zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap
diare, pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya
lindung empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang
disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan
pertama kehidupannya, risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar
dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Depkes, 2000).
Bayi yang
memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih rendah. Bayi
dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan ASI, dan keduanya
mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang sepenuhnya
mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan pertama kehidupan
(Suryono, 1988).
Kebiasaan mencuci tangan
Diare
merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan
perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara
air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen
dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan
penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar
kuman penyakit masuk ke tubuh manusia.
Pemutusan
rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan penyediaan fasilitas
yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja serta menghalangi
masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut. Kebiasaan
mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat penting bagi upaya mencegah
diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar, setelah
menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum
menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung
dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat
keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003).
Hubungan
kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al
(2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan
sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare. Heller
(1998) juga mendapatkan adanya hubungan antara kebiasaan cuci tangan ibu dengan
kejadian diare pada anak di Betim-Brazil.
Anak
kecil juga merupakan sumber penularan penting diare. Tinja anak, terutama yang
sedang menderita diare merupakan sumber penularan diare bagi penularan diare
bagi orang lain. Tidak hanya anak yang sakit, anak sehatpun tinjanya juga dapat
menjadi carrier asimptomatik yang sering kurang mendapat perhatian. Oleh karena
itu cara membuang tinja anak penting sebagai upaya mencegah terjadinya diare
(Sunoto dkk, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Aulia dkk., (1994) di
Sumatera Selatan, kebiasaan ibu membuang tinja anak di tempat terbuka merupakan
faktor risiko yang besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan kebiasaan
ibu membuang tinja anak di jamban.
Imunisasi
Diare
sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian imunisasi campak
dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi terhadap penyakit
campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan (Andrianto, 1995).
Pencegahan Sekunder
Pencegahan
tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita diare atau yang
terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan
yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan
komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian
oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh
banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan
yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi
menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti
bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan
spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan.
Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter.
Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal
bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya
diminum sesuai petunjuk dokter (Fahrial Syam, 2006).
Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan
sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini
penderita diare diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal
mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah
terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu
dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan.
Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan
kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang
menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis
harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan
dengan teman sepermainan.
Tags
Patologi