Herpes genitalis adalah infeksi pada genital
yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa
vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens (CDC Fact
Sheet, 2007).
Epidemiologi herpes
genitalis
Data- data di beberapa RS di Indonesia
menunjukkan bahwa prevalensi herpes genital rendah sekali pada tahun 1992 di
RSUP dr.Moewardi yaitu hanya 10 kasus dari 9983 penderita IMS. Namun,
prevalensi di RSUD Dr.Soetomo agak tinggi yaitu sebesar 64 dari 653 kasus IMS
dan lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu 22 kasus dari 126 kasus IMS
(Hakim, 2009).
Etiologi dan morfologi herpes
genitalis
Herpes
Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun 1940 menjadi
HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia, keduanya
hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2
merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital.
HSV tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau
melalui tangan (Salvaggio, 2009).
Gejala klinis herpes
genitalis
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7
setelah terinfeksi. Gejala awal biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit.
Lalu akan muncul bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan
lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka
yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk
keropeng. Penderita bisa mengalami nyeri saat berkemih atau disuria dan ketika
berjalan akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa
meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak
membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan
gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan
(Salvaggio, 2009).
Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di
setiap bagian penis, termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada
wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika
penderita melakukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa
terbentuk di sekitar anus atau di dalam rektum. Pada penderita gangguan sistem
kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat,
menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan
resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir. Gejala-gejalanya cenderung
kambuh kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya, karena virus menetap di
saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi kulit. HSV-2
mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami
pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever blister atau
herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua daerah
tersebut. Infeksi awal oleh salah satu virus akan memberikan kekebalan parsial
terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus kedua tidak terlalu berat.
Pemeriksaan herpes genitalis
Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan
adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat
rekuren. Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah tes Tzank yang
diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright dimana akan tampak sel raksasa
berinti banyak. Cara terbaik dalam menegakkan diagnosa adalah dengan melakukan
kultur jaringan karena paling sensitif dan spesifik. Namun cara ini membutuhkan
waktu yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-tes serologis terhadap
antigen HSV baik dengan cara imunoflouresensi, imunoperoksidase maupun ELISA
(Daili, 2009).
Komplikasi herpes genitalis
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah
akibat dari penyakit ini pada bayi yang baru lahir (Daili, 2009). Herpes
genitalis pada trimester awal kehamilan dapat menyebabkan abortus atau
malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu
pengidap herpes ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis, ensefalitis,
keratokonjungtifitis bahkan stillbirth.
Tags
Patologi