Gangguan fungsi kognitif merupakan salah satu
gangguan fungsi otak (kognisi). Salah satu contoh gangguan fungsi kognitif
adalah dementia. Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual
progresif yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktivitas sehari-hari (Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003).
Sejarah dan Epidemologi
Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya,
kata demens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik. Yang pertama kali
menggunakan kata demensia adalah seorang enclyopedist yang bernama Celcus di
dalam publikasinya De re medicine sekitar AD 30 yang mengartikan demens sebagai
istilah gila. Seabad kemudian seorang tabib dari Cappodocian yang bernama
Areteus menggunakan istilah senile dementia pada seorang pasien tua yang
berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada awal abad ke 19 seorang psikiater
Prancis yang bernama Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan
mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot (Sjahrir,1999).
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap
sebagai masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa kematian. Baru pada
awal abad ke 20, yaitu tahun 1907 Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang
berjudul “A Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien wanita umur 55
tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini
masih relatif muda dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti
psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun setelah onset serangan
pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3 dari bagian neuron kortek menghilang dari
neuron yang tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam sitoplasmanya.
Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi di dalam neurofibril. Alzheimer lah
yang pertama kali menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles (NT) dimana
NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap sebagai penanda diagnostik
Alzheimer Disease. (Sjahrir,1999)
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik
penuaan otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron di neokortek
dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan dendrit dan sinaps. Seiring dengan
itu maka gerakan dan reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat
lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata berkurang tetapi
memori, semantik, pengetahuan, dan vocabulary tidaklah akan menurun
(Sjahrir,1999).
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di
atas 65 tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk demensia tidak
ada perbedaan antara pria dan wanita sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih
banyak wanita dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah berkaitan
dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas 65 tahun di Amerika dan Eropa
merupakan penderita Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi
orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua populasinya makin banyak
kasus AD, dimana pada populasi umur 80 tahun didapati 50% penderita AD
(Sjahrir,1999).
Klasifikasi Dementia
Klasifikasi
demensia menurut Sjahrir (1999), dibagi menjadi dua dimensi:
Menurut
umur; terbagi atas:
- Demensia senilis onset > 65 tahun
- Demensia presenilis < 65 tahun
Menurut
level kortikal:
- Demensia kortikal
- Demensia subkortikal
Klasifikasi
lain yang berdasarkan korelasi gejala klinik dengan patologi-anatomisnya:
- Anterior : Frontal premotor cortex. Perubahan behavior, kehilangan kontrol, anti sosial, reaksi lambat.
- Posterior: lobus parietal dan temporal. Gangguan kognitif: memori dan bahasa, akan tetapi behaviour relatif baik.
- Subkortikal: apatis, forgetful, lamban, adanya gangguan gerak.
- Kortikal: gangguan fungsi luhur; afasia, agnosia, apraksia.
Pemeriksaan demensia
Pemeriksaan dementia menurut Asosiasi
Alzheimer Indonesia (2003). Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang
paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan elektrofisiologis,
neuro imaging dan pemeriksaan lain untuk menegakkan demensia secara pasti.
Beberapa
langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain:
- Riwayat medik umum --- Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.
- Riwayat neurologi umum --- Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.
- Riwayat neurobehavioral --- Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.
- Riwayat psikiatrik --- Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut pseudodemensia.
- Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan --- Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat menurunkan fungsi kognitif.
- Riwayat keluarga --- Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
- Pemeriksaan objektif --- Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
Pemeriksaan penunjang
(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Pemeriksaan
laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan
begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi
demensia khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia
adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan
laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin
dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit
serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan
demensia walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
Pemeriksaan
EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan
gambaran spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer
stadium lanjut dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
Pemeriksaan
cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis
dijumpai awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan, dijumpai
rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus
normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
Pemeriksaan
genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein
pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3,
dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat
atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda
semakin meningkat.
Diagnosa banding
demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Delirium
Delirium adalah keadaan akut dan serius,
dapat mengancam jiwa. Dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, gangguan metabolik
dan reaksi obat.
Pseudodemensia
Depresi dapat mempengaruhi status kognisi
penyandang, oleh sebab itu sebelum mencari etiologi demensia perlu dipastikan
apakah penyandang mengalami demensia atau pseudodemensia karena depresi.
Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan
status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya.
.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk
sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi
kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat
berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan
atau proses depresi.
Sebaiknya
syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
- Mampu menyaring secara cepat suatu populasi
- Mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999)
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status
Mental Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003; Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk, 2004) tetapi sensitif
untuk mendeteksi gangguan memori ringan (Tang-Wei, 2003).
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein
adalah test yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan nilai
maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar
dan memantau penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27
dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada
penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah
dengan nilai MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang
rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE
adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80 tahun, dan
median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang
berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun.
Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan
suatu pemeriksaan umum pada demensia dan sering digunakan dan ini juga
merupakan suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa
tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6
kategori antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan,
aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai
yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi
kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5,
untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia ringan,
Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3, menggambarkan
suatu derajat demensia yang berat (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003,
Golomb,2001).