Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi psychological
well-being. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being seseorang
antara lain:
Usia
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Ryff (1989), ditemukan adanya perbedaan tingkat psychological well-being pada
orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi penguasaan lingkungan terlihat
profil meningkat seiring dengan pertambahan usia. Semakin bertambah usia
seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh
karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi
yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya.
Individu yang berada dalam usia dewasa akhir
memiliki skor psychological well-being yang lebih rendah dalam dimensi tujuan
hidup dan pertumbuhan diri; individu yang berada dalam usia dewasa madya
memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi
penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki
skor yang lebih rendah dalam dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan dan
memiliki skor psychological well-being yang lebih tinggi dalam dimensi
pertumbuhan diri. Dimensi penerimaan diri dan dimensi hubungan positif dengan
orang lain tidak memperlihatkan adanya perbedaan seiring dengan pertambahan
usia (Ryff dalam Ryan & Deci, 2001).
Jenis Kelamin
Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi
yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah
dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotype gender
telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok agresif dan
mandiri, sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan
tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman,
2001).
Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat
stereotype ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersebut dewasa.
Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan
sesamanya, sepanjang hidupnya wanita terbiasa untuk membina keadaan harmoni
dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa wanita
memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan
hubungan yang baik dengan orang lain.
Status sosial ekonomi
Ryff dkk., (dalam Ryan & Decci, 2001)
mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan
diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang
memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya
dengan orang lain yang memiliki status ekonomi yang lebih baik darinya. Menurut
Davis (dalam Robinson & Andrew, 1991), individu dengan tingkat penghasilan
tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki
psychological well-being yang lebih tinggi.
Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai
individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being
yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam
dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang
menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi
hubungan positif dengan orang lain.