Kehilangan (loss) adalah suatu situasi aktual
maupun potensial yang dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu
yang sebelumnya ada, baik sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan
dalam hidup sehingga terjadi perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan
pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama rentang
kehidupannya. Setiap individu akan bereaksi terhadap kehilangan. Respon
terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respon individu terhadap
kehilangan sebelumnya (Potter dan Perry, 1997).
Pengalaman kehilangan bayi pada tahap
kehamilan adalah sangat mengecewakan bagi orang tua, dan berpotensi menimbulkan
akibat-akibat psikologis yang merugikan (Henderson dan Jones, 2006). Peristiwa
kehilangan dapat terjadi tiba-tiba atau bertahap. Pengalaman kehilangan
bersifat unik bagi setiap individu.
Jenis-jenis kehilangan terdiri dari
kehilangan objek eksternal, kehilangan lingkungan yang dikenal, kehilangan
sesuatu atau seseorang yang berarti, kehilangan suatu aspek diri, dan kehilangan
hidup (Potter & Perry, 2005).
Berduka (grieving) adalah keadaan dimana
individu dan keluarga mengalami kehilangan yang aktual atau potensial,
kehilangan ini dapat berupa orang, benda, fungsi, status, dan hubungan (Carpenito,
1984 dalam Rothrock, 2000).
Berduka merupakan reaksi terhadap kehilangan
yang merupakan respon emosional yang normal. Hal ini diwujudkan dalam berbagai
cara yang unik pada setiap individu berdasarkan pada pengalaman pribadi,
ekspektasi budaya dan keyakinan spiritual yang dianutnya. Intensitas dan durasi
respon berduka bergantung kepada persepsi kehilangan, usia, keyakinan agama,
perubahan kehilangan yang dibawa ke dalam kehidupannya, kemampuan personal
untuk mengatasi kehilangan dan sistem pendukung yang ada (Sanders, 1998 dalam
Bobak, 2005).
Menurut Kubler-Ross (dalam Potter dan Perry,
2005), respon berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap
berikut: Tahap pcngingkaran, reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan
adalah syok, tidak percaya, mengerti atau mengingkari kenyataan bahwa
kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah
letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat,
menangis, gelisah, dan seringkali individu tidak tahu harus berbuat apa. Tahap
marah, pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering
diproyeksikan kepada orang lain atau diri sendiri. Orang yang mengalami
kehilangan juga dapat menunjukkan prilaku agresif, berbicara kasar, menyerang
orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh perawat atau dokter tidak
kompeten. Respon fisik antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah,
susah tidur, tangan mengepal.
Tahap tawar-menawar, pada tahap ini terjadi
penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba
membuat kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah-olah kehilangan
itu dapat dicegah.Reaksi sering dinyatakan dengan kata-kata "seandainya
saya hati-hati."
Tahap depresi, pada tahap ini individu
menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat penurut, tidak
mau bicara, menyatakan keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul
keinginan bunuh diri. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan,
susah tidur, letih, turunnya libido. Tahap penerimaan, Tahap ini berkaitan
dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu berpusat pada
objek yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kenyataan kehilangan yang dialaminya dan mulai memandang ke depan. Gambaran
tentang objek atau orang yang hilang akan mulai dilepaskan secara bertahap.
Perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Apabila individu dapat memulai
tahap tersebut dan menerima dengan perasaan yang damai, maka dia dapat
mengakhiri proses berduka serta dapat mengatasi perasaan kehilangan secara
tuntas. Kegagalan untuk masuk ke tahap penerimaan akan mempengaruhi kemampuan
individu tersebut dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
Sedangkan menurut Bowlby dan Park (1970)
serta Davidson (1984) dalam Bobak (2005), tahap berduka dapat diidentifikasi
menjadi empat dimensi berduka, yaitu: Syok dan hilang rasa, dialami orang tua
ketika mereka mengungkapkan perasaan sangat tidak percaya, panik, tertekan,
atau marah. Pengalaman ini dapat diinterupsi oleh letupan emosi. Pengambilan
keputusan sulit dilakukan pada fase ini dan fungsi normal menjadi terganggu.
Fase ini mendominasi selama 2 minggu pertama setelah kehilangan. Para orang tua
mengatakan bahwa mereka seperti berada dalam mimpi buruk dan mereka akan bangun
dan segala sesuatunya akan menjadi baik.
Mencari
dan merindukan, dapat diidentifikasi sebagai perasaan
gelisah, marah, bersalah dan mendua (ambiguitas). Dimensi ini merupakan suatu
kerinduan akan sesuatu yang dapat terjadi dan merupakan proses pencarian
jawaban mengapa kehilangan terjadi. Fase ini terjadi saat kehilangan terjadi
dan memuncak 2 minggu sampai 4 bulan setelah kehilangan. Orang tua mengatakan
bahwa mereka begitu ingin memeluk bayinya, mereka bangun karena mendengar suara
bayi menangis dan mereka mengalami mimpi yang mengganggu.
Disorganisasi,
diidentifikasi saat individu yang berkabung mulai berbalik, dari menguji apa
yang nyata menjadi sadar terhadap realitas kehilangan. Perasaan tertekan, sulit
konsentrasi pada pekerjaan dan penyelesaian masalah, dan perasaan bahwa ia
merasa tidak nyaman dengan kondisi fisik dan emosinya yang muncul. Fase ini
memuncak sekitar 5 sampai 9 bulan dan secara perlahan menghilang. Banyak orang
tua merasa bahwa mereka tidak akan pernah keluar dari rasa kehilangan,
kehilangan pikiran mereka dan merasa nyeri secara fisik.
Reorganisasi,
terjadi bila individu yang berduka dapat berfungsi di rumah dan di tempat kerja
dengan lebih baik disertai peningkatan harga diri dan rasa percaya diri.
Individu yang berduka memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan baru dan
menempatkan kehilangan tersebut dalam perspektif. Reorganisasi memuncak setelah
tahun pertama.
Adapun
jenis-jenis berduka adalah: Berduka normal, terdiri dari perasaan, perilaku,
dan reaksi yang normal terhadap kehilangan seperti kesedihan, kemarahan,
menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktifitas untuk sementara.
- Berduka antisipatif, yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan yang sesungguhnya terjadi.
- Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berduka seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan individu tersebut dengan orang lain.
- Berduka tertutup, yaitu kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
Berduka
juga dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan (Bobak, 2005) yaitu:
- Berduka ringan (uncomplicated bereavement), yaitu merasakan kesedihan tetapi masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan meskipun tidak dengan antusiasme dan energi sebesar sebelum kehilangan. Seseorang yang mengalami berduka ringan tidak mengalami depresi dan merasa lebih baik seiring waktu.
- Berduka Berat (complicated bereavement), kesulitan yang dialami individu dalam berduka atau eksaserbasi masalah-masalah sebelumnya yang menjadi semakin berat selama proses berkabung, seperti:
Mengalami gejala cemas dan depresi yang
mempengaruhi fungsi sosial/keluarga, pekerjaan dan kesehatan fisik. Memiliki
pikiran bunuh diri terus-menerus, yang hampir menjadi konstan atau mengungkapkan
keinginan yang serius untuk bunuh diri atau mengembangkan suatu rencana untuk
bunuh diri.
Berhenti pada fase mencari dan merindukan
yang terbukti oleh rasa marah yang persisten, rasa bersalah atau pemikiran
obsesif tentang kehilangan. Penyalahgunaan bahan kimiawi pengubah perasaan secara
berlebihan. Mengalami kesulitan dalam berhubungan (dengan pasangan, anak-anak,
keluarga, dan orang lain).
Wanita yang mengalami abortus beresiko
mengalami depresi 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak
mengalami abortus (Neugebauer, et al, 1997 dalam Amir, 2005). Depresi merupakan
reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya
faktor pencetus yang jelas. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan
individu tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas, dan
tidak dapat dimengerti orang lain.
Proses
berduka membuat individu mengalami gejala berduka (Bobak, 2005) yaitu:
- Efek fisik yaitu letih, selera makan hilang, masalah tidur, kurang tenaga, berat badan menurun/meningkat, nyeri kepala, pandangan kabur, sulit bernafas, palpitasi, gelisah.
- Efek emosional dan psikologis yaitu menyangkal, rasa bersalah, marah, benci/dendam, pahit/getir, depresi, sedih, merasa gagal, konsentrasi pada masalah, gagal menerima kenyataan, terpaku pada kematian, konfusi waktu (time confusion), iritabilitas (mudah tersinggung).
- Efek sosial yaitu menarik diri dari aktivitas normal, isolasi (emosi dan fisik) dari pasangan, keluarga dan teman-teman.
Stres pada wanita yang mengalami abortus
dapat disebabkan karena wanita tersebut tidak mengetahui apa yang terjadi pada
janinnya dan prosedur perawatan yang mengharuskan wanita tersebut beristirahat
di tempat tidur tanpa penjelasan lebih lanjut (Llewellyn-Jones, 2005).
Pada wanita yang mengalami abortus untuk
pertama kalinya akan timbul kekhawatiran bahwa mereka tidak dapat memiliki anak
lagi. Rasa marah juga dapat timbul setelah kehilangan kehamilan. Perasaan ini
dapat ditujukan pada diri wanita itu sendiri ataupun kepada orang-orang
disekitamya termasuk kepada profesional kesehatan (Henderson & Jones,
2006).
Worden (1991 dalam Bennett & Brown, 1999)
mengidentifikasi empat tahap tugas individu yang berduka yaitu menerima
realitas kehilangan, menerima sakitnya rasa duka, menyesuaikan diri dengan
lingkungan, dan melanjutkan kehidupan (reorganisasi).
Tags
Kehamilan