Banyak cara
pengendalian vektor hewan pembawa penyakit. Secara garis besar ada 4 cara pengendalian
vektor yaitu dengan menggunakan senyawa kimia, cara biologi, radiasi dan
mekanik/pengelolaan lingkungan (Soegijanto, 2006).
Cara Pengendalian Vektor Menggunakan
Senyawa Kimia
Cara
kimiawi dilakukan dengan menggunakan senyawa atau bahan kimia baik yang
digunakan untuk membunuh nyamuk
(insektisida) maupun jentiknya (larvasida), mengusir atau menghalau nyamuk
(repellent) supaya nyamuk tidak menggigit.
Senyawa Kimia Nabati
Insektisida
nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan aktifnya
berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme pengganggu,
mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung berbagai senyawa bioaktif
seperti alkaloid, terpenoid dan fenolik (Sarjan, 2007). Beberapa keunggulan yang dimiliki insektisida
nabati yaitu tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada komponen
lingkungan sehingga lebih aman daripada insektisida sintetis/kimia, dan cepat
terurai di alam sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran (Naria,
2005).
Insektisida
nabati sebenarnya telah lama dikenal orang. Penggunaan insektisida nabati
seperti nikotin yang terkandung dalam bubuk tembakau (tobacco dust) telah
digunakan sebagai insektisida sejak tahun 1763. Nikotin merupakan racun saraf
yang bekerja sebagai antagonis dari reseptor nikotin asetil kolin. Nikotin juga
merupakan insektisida non sistemik dan bekerja sebagai racun inhalasi dengan
sedikit efek sebagai racun perut dan racun kontak (Djojosumarto, 2008).
Watuguly
(2004) telah melakukan uji toksisitas ekstrak biji mahkota dewa (Phaleria
papuana Warb) terhadap mortalitas nyamuk A. aegypti dan hasil penelitian
menunjukkkan bahwa konsentrasi ekstrak yang dapat membunuh 50% baik pada
stadium larva maupun stadium dewasa berturut turut adalah 0,09255% dan
0,20987% sedangkan konsentrasi ekstrak
yang dapat membunuh 90% baik pada stadium
larva maupun stadium dewasa berturut turut adalah 0,21694% dan 0,35389%
dalam 24 jam waktu pengamatan di laboratorium. Hasil uji efektivitas daya bunuh
semprotan ekstrak daun zodia (Evodia suaveolans) terhadap nyamuk A. aegypti
yang dilakukan oleh Supriadi (2005) menunjukkan daya bunuh terhadap nyamuk A.
aegypti pada jam pertama untuk setiap konsentrasi 12.5%, 25%, 50%, 100% yaitu
berturut-turut sebesar 24%, 36%, 60%, 80%.
Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Wakhyulianto (2005) mengenai uji daya bunuh
ekstrak cabe rawit (Capsicum frutescens L) terhadap nyamuk A. aegypti
menunjukkan bahwa ekstrak cabe rawit mempunyai daya bunuh yang sangat rendah
terhadap nyamuk A. aegypti. Hasill penelitian menunjukkan bahwa pada
konsentrasi ekstrak cabai rawit tertinggi yaitu 100% hanya dapat membunuh
nyamuk A. aegypti sebesar 31,25% dari seluruh jumlah nyamuk A. aegypti yang
digunakan dalam waktu 24 jam setelah perlakuan.
Wahyuni (2005) juga meneliti mengenai daya bunuh serai (Andropogen
nardus) terhadap nyamuk Ae.aegypti dan hasil penelitiannya juga menunjukkan
bahwa serai mempunyai daya bunuh yang sangat rendah terhadap nyamuk A. aegypti.
Hasil penyemprotan ekstrak serai pada konsentrasi tertinggi yaitu sebesar 100%
hanya dapat membunuh 17.6% dari populasi nyamuk setelah 24 jam pengamatan.
Balai
penelitian Tanaman Obat dan Aromatik telah melakukan penelitian terhadap
beberapa jenis tanaman aromatik yang berpotensi untuk menanggulangi masalah
nyamuk dan lalat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman serai wangi yang
mengandung sitronela dan geraniol; zodia yang mengandung evodiamie,
rutaecarpine dan linalool; geranium yang mengandung geraniol; selasih yang
mengadung eugenol; cengkeh yang mengandung eugenol; serai dapur yang mengandung
citral; nilam yang mengandung patchouli alkohol; adas yang mengandung anetol,
berpotensi sebagai penghalau (repellent) terhadap nyamuk A. aegypti dengan daya
proteksi berkisar antara 60 - 80% selama 2 - 4 jam.
Sedangkan
tanaman rosemari yang mengandung mirsen, sineol, kapur barus, linalool dan
lainnya, cengkeh dan serai wangi, berpotensi sebagai anti lalat dengan daya
usir berkisar antara 60 - 70% (Kardinan, 2008).
Senyawa Kimia Non Nabati
Menurut
Pawenang dalam Wahyuni (2005), senyawa kimia non nabati yaitu dapat berupa
derivat-derivat minyak bumi seperti minyak tanah dan minyak pelumas yang
mempunyai daya insektisida. Caranya minyak dituang diatas permukaan air
sehingga terjadi suatu lapisan tipis yang dapat menghambat pernapasan larva
nyamuk.
Debu
higroskopis misalnya tanah diatom (diatomaceous earth) juga dapat dimanfaatkan
sebagai insektisida. Tanah ini diperoleh dari penambangan timbunan fosil yang
terdiri atas cangkang sejenis ganggang bersel tunggal (Bacillariophyceae). Tanah ini dimanfaatkan sebagai insektisida
karena mampu menyerap cairan dari tubuh serangga sehingga serangga mati karena
mengalami dehidrasi (Djojosumarto, 2008).
Senyawa Kimia Sintetis
Menurut Novizan dalam Simanjuntak (2005),
insektisida sintetis pada umumnya bersumber dari bahan dasar minyak bumi yang
diubah struktur kimianya untuk memperoleh sifat-sifat tertentu sesuai dengan
keinginannya, diantaranya adalah:
- Golongan organo chlorine, insektisida ini cara kerjanya sebagai racun terhadap susunan saraf pusat dengan gejala keracunan muncul dalam 4 stadium berurutan, gelisah, kejang, lumpuh dan mati.
- Golongan organo phosphate, insektisida ini cara kerjanya untuk menghambat enzyme cholinesterase dan efektif melawan serangga yang telah resisten terhadap chlorinated hydrocarbon.
- Golongan carbamate, insektisida ini tidak mempunyai elemen chlorine ataupun phosphate tapi cara kerjanya hampir sama dengan organo phospat yakni dengan menghambat kadar enzyme cholinesterase.
Cara Pengendalian Vektor Secara
Biologi
Pengendalian
biologi dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup, baik dari mikroorganisme,
hewan invertebrata atau hewan vertebrata. Pengendalian ini dapat berperan
sebagai patogen, parasit, atau pemangsa. Beberapa jenis ikan, seperti ikan
kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa
yang cocok untuk larva nyamuk. Nematoda seperti Romanomarmus dan R. culiciforax
merupakan parasit pada larva nyamuk (Soegijanto, 2006).
Beberapa
golongan virus, bakteri, fungi atau protozoa dapat berperan sebagai patogen
dengan cara mengembangkannya sebagai
pengendali biologi larva nyamuk di tempat perindukannya. Bacillus
thuringiensis (Bt) merupakan species bakteri dari genus Bacillus yang sudah
banyak dikembangkan sebagai insektisida. Bt merupakan insektisida racun perut.
Saat sporulasi, bakteri menghasilkan kristal protein yang mengandung senyawa
insektisida α-endotoksin yang bekerja merusak sistem pencernaan serangga
(Djojosumarto, 2008). Ada dua varitas atau subspecies Bt yang efektif digunakan
untuk mengendalikan nyamuk yaitu Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt.
H-14) dan Bacillus sphaericus (Bs) (WHO, 2005). Penelitian yang dilakukan
Widiyanti, dkk (2004) mengenai toksisitas jamur Metarhizium anisopliae terhadap
larva nyamuk A. aegypti dalam 200 ml
air, jamur ini dapat membunuh 50% (LC menunjukkan
bahwa pada tingkat pengenceran 2,955 x 10) larva nyamuk instar III untuk waktu
pengamatan 24 jam setelah perlakuan.
Cara Pengendalian Vektor Secara Radiasi
Pada
pengendalian ini nyamuk dewasa jantan diradiasi dengan bahan radioaktif dengan
dosis tertentu sehingga menjadi mandul. Kemudian nyamuk jantan yang telah
diradiasi ini dilepaskan ke alam bebas. Meskipun nanti akan berkopulasi dengan
nyamuk betina tapi nyamuk betina tidak akan dapat menghasilkan telur yang
fertil. Apabila pelepasan serangga jantan mandul dilakukan secara terus
menerus, maka populasi serangga di lokasi pelepasan menjadi sangat rendah
(Soegijanto, 2006).
Salah
satu cara pemandulan nyamuk vektor adalah dengan cara radiasi ionisasi yang
dikenakan pada salah satu stadium perkembangannya. Radiasi untuk pemandulan ini
dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron, namun dari ketiga sinar tersebut
yang umum digunakan adalah sinar gamma. Untuk mendapatkan vektor mandul,
radiasi dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau dewasa. Tetapi
hasil optimum dapat diperoleh apabila radiasi dilakukan pada stadium pupa.
Stadium pupa merupakan stadium perkembangan dimana terjadi
transformasi/perkembangan organ muda menjadi organ dewasa. Pada stadium ini
umumnya spermatogenesis dan oogenesis sedang berlangsung, sehingga radiasi
dalam dosis rendah 65-70 Gy (Gray) sudah dapat menimbulkan kemandulan.
Hasil
penelitian lainnya menunjukkan bahwa radiasi pada dosis 65 Gy yang dilakukan
pada stadium pupa nyamuk A. aegypti sudah bisa memandulkan 98,53% dan 100% dengan radiasi 70 Gy. Umur pupa pada
saat diradiasi memiliki kepekaan yang berbeda-beda, semakin tua, kepekaannya
terhadap radiasi akan semakin menurun. Radiasi secara umum dapat menimbulkan
berbagai akibat terhadap nyamuk, baik kelainan morfologis maupun kerusakan
genetis (Nurhayati, 2005).
Cara Pengendalian Vektor Secara Mekanik
dan Pengelolaan Lingkungan
Menurut
Soegijanto (2006) beberapa cara yang
dapat digunakan untuk mencegah nyamuk kontak dengan manusia yaitu
memasang kawat kasa pada lubang ventilasi rumah, jendela, dan pintu.
Cara yang sudah umum dilakukan adalah
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui gerakan 3M yaitu:
- Menguras tempat-tempat penampungan air dengan menyikat dinding bagian dalam dan dibilas paling sedikit seminggu sekali
- Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh nyamuk dewasa
- Menanam/menimbun dalam tanah barang-barang bekas atau sampah yang dapat menampung air hujan.
Menurut
WHO (1997) pengendalian vektor yang paling efektif adalah manajemen lingkungan,
termasuk perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan aktivitas monitoring untuk
manipulasi atau modifikasi faktor lingkungan dengan maksud untuk mencegah atau
mengurangi vektor penyakit manusia dan perkembangbiakan vektor patogen.
Pada tahun 1980, WHO Expert Committee on
Vector Biology and Control membagi tiga jenis manajemen lingkungan, yaitu:
- Modifikasi lingkungan fisik yang merupakan tempat kediaman vektor.
- Manipulasi lingkungan tempat kediaman vektor sebagai hasil aktivitas direncanakan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang kurang baik perkembangbiakan vektor.
- Merubah perilaku atau tempat tinggal manusia untuk mengurangi kontak vektor patogen dengan manusia.