Klasifikasi cedera kepala penting untuk menentukan jenis tindakan yang akan diambil. Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).
Cedera Kepala Berdasarkan Mekanismenya
Cedera kepala berdasarkan mekanismenya dikelompokkan menjadi dua yaitu:
Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan (IKABI, 2004).
Cedera Kepala Berdasarkan Morfologinya
Berdasarkan morfologi cedera kepala, dibedakan menjadi (Cedera kepala menurut Tandian, 2011):
Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
- Fraktur linier --- Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
- Fraktur diastasis --- Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.
- Fraktur kominutif --- Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
- Fraktur impresi --- Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
- Fraktur basis kranii --- Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis). Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring ke posisi yang sehat.
Cedera kepala di area intrakranial
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.
Cedera otak fokal yang meliputi:
- Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH) --- Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.
- Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut --- Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
- Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik --- Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma. Subdural hematom kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar (durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan kejang.
- Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH) --- Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara lain adanya penurunan kesadaran. Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari trauma yang dialami.
- Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH) --- Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut luas dengan manifestasi edema cerebri.
Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011):
Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Fasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya perdarahan subarahnoit traumatika yang menyebabkan terhentinya sirkulasi diparenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas edema otak luas disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difus.
Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus dikelompokkan menjadi.
- Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI --- Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghbungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan .
- Kontsuio cerebri --- Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak. Lokasi kontusio yang begitu khas adalah kerusakan jaringan parenkim otak yang berlawanan dengan arah datangnya gaya yang mengenai kepala.
- Edema cerebri --- Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
- Iskemia cerebri --- Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
Cedera kepala yang sudah di uraikan di atas menurut (Judikh Middleton, 2007) akan menimbulkan gangguan neurologis/tanda-tanda sesuai dengan area atau tempat lesinya yang meliputi
Lobus frontal atau bagian depan kepala dengan tanda-tanda:
- Adanya gangguan pergerakan bagian tubuh (kelumpuhan)
- Ketidakmampuan untuk melkukan gerakan rumit yang di perlukan untuk menyelesaikan tugas yang memiliki langkah-langkah, seperti membuat kopi
- Kehilangan spontanitas dalam berinteraksi dengan orang lain
- Kehilangan fleksibilitas dalam berpikir
- Ketidakmampuan fokus pada tugas
- Perubahan kondisi kejiwaan (mudah emosional)
- Perubahan dalam perilaku sosial
- Perubahan dalam personalitas
- Ketidakmampuan dalam berpikir (kehilangan memory)
Lobus parietal, dekat bagian belakang dan atas dari kepala:
- Ketidakmampuan untuk menghadirkan lebih dari satu obyek pada waktu yang bersamaan
- Ketidakmapuan untuk memberi nama sebuah obyek (anomia)
- Ketidakmampuan untuk melokalisasi kata-kata dalam tulisan (agraphia)
- Gangguan dalam membaca (alexia)
- Kesulitan menggambar obyek
- Kesulitan membedakan kiri dan kanan
- Kesulitan mengerjakan matematika (dyscalculia)
- Penurunan kesadaran pada bagian tubuh tertentu dan/area disekitar (apraksia) yang memicu kesulitan dalam perawatan diri
- Ketidakmampuan fokus pada perhatian fisual/penglihatan
- Kesulitan koordinasi mata dan tangan
Lobus oksipital, area paling belakang, di belakang kepala:
- Gangguan pada penglihatan (gangguan lapang pandang)
- Kesulitan melokalisasi obyek di lingkungan
- Kesulitan mengenali warna (aknosia warna)
- Teriptanya halusinasi
- Ilusi visual-ketidakakuratan dalam melihat obyek
- Buta kata-ketidakmampuan mengenali kata
- Kesulitan mengenali obyek yang bergambar
- Ketidakmampuan mengenali gerakan dari obyek
- Kesulitan membaca dan menulis
Lobus temporal : sisi kepala di atas telinga:
- Kesulitan mengenali wajah (prosoprognosia)
- Kesulitan memahami ucapan (afasiawernicke)
- Gangguan perhatian selektif pada apa yang dilihat dan didengar
- Kesulitan identifikasi dan verbalisai obyek
- Hilang ingatan jangka pendek
- Gangguan memori jangka panjang
- Penurunan dan peningkatan ketertarikan pada oerilaku seksual
- Ketidakmampuan mengkategorikan onyek (kategorisasi)
- Kerusakan lobus kanan dapat menyebabkan pembicaraan yang persisten
- Peningkatan perilaku agresif
Batang otak : dalam di otak:
- Penurunan kapasitas vital dalam bernapas, penting dalam berpidato
- Menelan makanan dan air (dysfagia)
- Kesulitan dalam organisasi/persepsi terhadap lingkungan
- Masalah dalam keseimbangan dan gerakan
- Sakit kepala dan mual (vertigo)
- Kesulitan tidur (insomnia, apnea saat tidur)
Cerebellum : dasar otak:
- Kehilangan kemampuan untuk mengkoordinasi gerakan halus
- Kehilangan kemampuan berjalan
- Ketidakmampuan meraih obyek
- Bergetar (tremors)
- Sakit kepala (vertigo)
- Ketidakmampuan membuat gerakan cepat
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi:
Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
- Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera kepala sedang-berat
Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
- Amnesia paska trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
- Penurunan kesadaran sacara progresif
- Tanda neorologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium (mansjoer, 2000)