Kekerasan secara Fisik
(physical abuse)
Physical abuse, terjadi ketika orang
tua/pengasuh dan pelindung anak memukul anak (ketika anak sebenarnya memerlukan
perhatian). Pukulan akan diingat anak itu jika kekerasan fisik itu berlangsung
dalam periode tertentu. Kekerasan yang dilakukan seseorang berupa melukai
bagian tubuh anak.
Kekerasan Emosional
(emotional abuse)
Emotional abuse terjadi ketika orang
tua/pengasuh dan pelindung anak setelah mengetahui anaknya meminta perhatian,
mengabaikan anak itu. Ia membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu
sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Ia boleh jadi mengabaikan
kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua
kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu berlangsung konsisten. Orang
tua yang secara emosional berlaku keji pada anaknya akan terusmenerus melakukan
hal sama sepanjang kehidupan anak itu.
Kekerasan secara Verbal
(verbal abuse)
Biasanya berupa perilaku verbal dimana pelaku
melakukan pola komunikasi yang berisi penghinaan, ataupun kata-kata yang
melecehkan anak. Pelaku biasanya melakukan tindakan mental abuse, menyalahkan,
melabeli, atau juga mengkambinghitamkan.
Kekerasan Seksual (sexual
abuse)
Sexual abuse meliputi pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga
tersebut (seperti istri, anak dan pekerja rumah tangga). Selanjutnya dijelaskan
bahwa sexual abuse adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil dan
atau tujuan tertentu.
Kekerasan
seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dalam
kategori berdasar identitas pelaku (Tower, 2002), terdiri dari:
Familial
Abuse
Incest merupakan sexual abuse yang masih
dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Seseorang yang
menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, termasuk dalam
pengertian incest.
Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan
kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak.
Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi
noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang
berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual
assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi,
fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris).
Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa),
meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban.
Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan
trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan
demikian. Mayer berpendapat derajat trauma tergantung pada tipe dari kekerasan
seksual, korban dan survivor mengalami hal yang sangat berbeda. Survivor yang
mengalami perkosaan mungkin mengalami hal yang berbeda dibanding korban yang diperkosa
secara paksa.
Extrafamilial
Abuse
Extrafamilial Abuse, dilakukan oleh orang
lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa
kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa disebut
pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan
”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Pedetrasy merupakan hubungan
seksual antara pria dewasa dengan anak laki-laki (Struve & Rush dalam
Tower, 2002). Pornografi anak menggunakan anak-anak sebagai sarana untuk
menghasilkan gambar, foto, slide, majalah, dan buku (O’Brien, Trivelpiece,
Pecora et al., dalam Tower, 2002). Biasanya ada tahapan yang terlihat dalam
melakukan kekerasan seksual Kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur
kenyamanan korban.
Jika
korban menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif, berupa:
- Nudity (dilakukan oleh orang dewasa).
- Disrobing (orang dewasa membuka pakaian di depan anak).
- Genital exposure (dilakukan oleh orang dewasa).
- Observation of the child (saat mandi, telanjang, dan saat membuang air).
- Mencium anak yang memakai pakaian dalam.
- Fondling (meraba-raba dada korban, alat genital, paha, dan bokong).
- Masturbasi
- Fellatio (stimulasi pada penis, korban atau pelaku sendiri).
- Cunnilingus (stimulasi pada vulva atau area vagina, pada korban atau pelaku).
- Digital penetration (pada anus atau rectum).
- Penile penetration (pada vagina).
- Digital penetration (pada vagina).
- Penile penetration (pada anus atau rectum).
- Dry intercourse (mengelus-elus penis pelaku atau area genital lainnya, paha, atau bokong korban) (Sgroi dalam Tower, 2002).
Menurut
Suharto (1997) mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi:
Kekerasan Anak Secara Fisik
Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan,
pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan
benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak.
Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan
benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan. Dapat
pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok
atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut,
pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap
anak secara fisik umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai
orangtuanya, seperti anak nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang
air atau muntah di sembarang tempat, memecahkn barang berharga.
Kekerasan Anak Secara Psikis
kekerasan secara psikis meliputi
penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku,
gambar, dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini
umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu,
menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang
lain.
Kekerasan Anak Secara
Seksual
Kekerasan secara seksual dapat berupa
perlakuan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui
kata, sentuhan, gambar visual, exhibisionism), maupun perlakuan kontak seksual
secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi
seksual).
Kekerasan Anak Secara Sosial
Kekerasan secara sosial dapat mencakup
penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan
perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses
tumbuh-kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau
tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak
menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak
yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk
melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan
hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik,
psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk bekerja di
pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki) dengan upah rendah
dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata, atau dipaksa
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
Tags
Perkembangan Anak