Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Seperti yang diungkapkan Santoso dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintah Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural(1997), sebagai menyatakan “Bahwa sosok birokrasi di Indonesia masih menampilkan corak patrimonial, adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama. Model birokrasi kerajaan dan warisan model kolonial cenderung persistent sampai sekarang ini, seperti word view birokrat yang seringkali memanifestasikan warisan budaya aristokratis, orientasi vertical (ke atas) yang lebih mendominasi referensi birokrat, loyalitas ritual yang seringkali bersifat pribadi, kesadaran prestise dan status yang masih kuat, budaya panutan yang sering membayangi partisipasi, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat, dan sebagainya”.
Perilaku birokrasi seperti itulah yang kemudian mengantarkan birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Seperti halnya Santoso, Dwiyanto dalam bukunya yang berjudul Repormasi Birokrasi Publik di Indonesia(2002), menganggap hal ini berkaitan erat dengan proses kesejarahan birokrasi di Indonesia, bahwa “Sejarah perjalanan birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi tetap memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik yang sentralistik maupun sistem politik yang demokratis sekalipun, seperti yang diterapkan di Negara-negara maju, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan politik pemerintah”.
Pendapat keduanya juga disepakati oleh Emmerson dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintah Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural (1997), yang beranggapan birokrasi dewasa ini belum dapat sama sekali melepaskan dari akar historisnya, yaitu “The origin of Indonesia’s modern administrative elite can be traced back, past the colonial era, to the retinues of Javanese royalte; although its earlier aristocratic and Javanese image has been democratized to accord with bthe nation a civil service working in the public interest, the old legacy remain”(“asal muasal elit administrasi Indonesia modern dapat ditelusuri kebelakang, lewat zaman kolonial berlanjut kedinasti keluarga raja-raja Jawa; walaupun pada awalnya kesan aristokratik Jawa telah mengalami nasionalisme dan demokratisasi sejalan dengan gagasan pegawai sipil yang melayani kepentingan publik, sisa-sisa peninggalan masa lampau tetap berlanjut”).
Dengan demikian perilaku birokrasi di Indonesia mereflesikan percampuran atau perpaduan antara karakteristik birokrasi modern yang legal rasional, dengan karakteristik birokrasi yang berakar dalam sejarah.
Karakteristik birokrasi di Indonesia mengantarkan perilaku birokrasi pemerintahan yang sangat dipengaruhi oleh budaya patrimonialisme dan patron-client, yang menguasai hubungan-hubungan antara birokrat maupun hubungan antara birokrat dengan komponen lain. Dalam konteks kontemporer Syukur dalam bukunya Budaya Birokrasi di Indonesia, memandang bahwa “Birokrasi pada masa Orde Baru menampilkan neo-patrimonialisme, yaitu sebuah rezim modern yang berbasiskan kewibawaan tradisional. Dalam rezim ini pemimpin eksekutif mempertahankan otoritas lewat ideologi dan hukum. Ia ditandai dengan pertukaran loyalitas aparatur birokrasi dengan imbalan material dari pengusaha, dan fenomena demikianlah sampai saat ini masih merambah politik formal dan sistem administrasi pemerintahan. Hal ini merupakan menifestasi dari hubungan patron-client dalam wujudnya yang lebih modern”.
Jadi konsep neo-patrimonialisme memiliki atribut yang bersifat modern dan rasional dalam bentuk institusi birokrasi, tetap juga memperlihatkan atribut yang patrimonial tertanam dalam bentuk pola perilaku.
Faktor kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya perilaku negatif seperti korupsi, dengan adanya nilai atau tradisi pemberian hadiah kepada pejabat. Seperti yang diungkapkan oleh Mas’oed dalam buku yang berjudul Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia(2002), yaitu “Akar kultural pada masyarakat Indonesia yang nepotis juga memberikan dorongan bagi terjadinya tindak korupsi. Secara struktural, perilaku negatif juga dapat diakibatkan oleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi pemerintah dalam penguasaan sebagian besar informasi kebijakan dan pengaturan kegiatan ekonomi”.
Substansi dari persoalan perilaku birokrasi yang korup pada dasarnya merupakan bagian dari bentuk feodalisme yang terus dipelihara oleh sistem birokrasi. Hal ini menciptakan kehidupan birokrasi yang kental dengan upaya kooptasi penguasa negara terhadap institusi birokrasi. Apalagi dominasi negara mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat, yang kemudian menjadikan birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik.
Pendapat Mas’oed tersebut dalam teori Crouch disebut sebagai bentuk bureaucratic polity(2001), yang ciri-cirnya sebagai berikut:
- Lembaga politik yang dominant adalah birokrasi.
- Lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi.
- Massa diluar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi”
Analisis ini menjelaskan, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan lewat institusi birokrasi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi, tetapi juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri melepaskan diri dari cengkeraman penguasa negara.