Dari beberapa penelitian disimpulkan bahwa perempuan mempunyai resiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan depresi daripada laki-laki (Davison dan Neale, 1990; Greist dan Jefferson, 1988; Holmes, 1991; Rathus dan Mevid, 1991; Sarason dan Sarason, dalam Harjdono, 1998). Data statistik di Rumah Sakit menunjukkan perempuan penderita depresi lebih banyak daripada laki-laki (Haijdono, 1998).
Penyebab mengapa perempuan lebih banyak mengalami gangguan depresi dari pada laki-laki tampaknya tetap tidak jelas hingga sekarang. Penemuan Prawitasari dan Kahn (dalam Hasanat, 1991) mengemukakan bahwa perempuan mempunyai kehangatan, emosionalitas, sikap hati-hati, sensitivitas, dan konformitas lebih tinggi daripada laki-laki, sedangkan laki-laki lebih tinggi dalam stabilitas emosi, dominasi dan impulsivitas dari pada perempuan. Dari perbedaan sifat-sifat tersebut dapat dimungkinkan menjadi timbulnya depresi terutama pada perempuan.
Nolen-Hoeksema (dalam Hasanat, 1991) mengatakan bahwa adanya perbedaan tingkat depresi antara laki-laki dan perempuan yang disebabkan adanya perbedaan cara mereka dalam melakukan coping (pemecahan masalah) terhadap stres.
Laki-laki akan cenderung terlibat dalam aktivitas fisik misalnya dengan berolah raga maupun menonton televisi. Sehingga mereka tidak menampakkan suasana hati mereka. Sedangkan pada perempuan cenderung kurang aktif atau bahkan sangat pasif, perempuan lebih sering merenungkan situasi yang mereka hadapi dan menyalahkan diri sendiri. Reaksi yang demikian ini akan memperkuat timbulnya gangguan depresi dan suasana hati yang tidak menentu.