Gangguan Depresi Mayor atau Major Depression merupakan suatu gangguan mood yang paling sering dijumpai dan paling parah (Bjornlund, 2010). Kebanyakan dari kita pasti pernah mengalami keadaan seperti ini sepanjang perjalanan hidup kita sebagai seorang manusia.
Namun begitu, gangguan depresi mayor secara klinis yang sebenar adalah suatu gangguan mood di mana perasaan sedih, marah, kehilangan, atau frustasi mengganggu kehidupan seharian seseorang untuk suatu jangka masa yang lama (National Institute of Mental Health, 2008).
Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Depresi Mayor
Etiologi Gangguan Depresi Mayor tidak diketahui secara jelas namun kemungkinan yang melibatkan gangguan psikologis dan biologis bisa menyumbang kepada terjadinya gangguan depresi mayor. Menurut Potter GG, 2007, dalam Belmaker, 2008, penderita dengan gangguan depresi mayor mungkin mempunyai penyakit jantung yang berkaitan dengan masalah disfungsi endotelial. Penderita dengan personaliti depresi dan ansietas juga sering disebabkan oleh pengalaman sewaktu kecil (Kendler, 2000).
Menurut American Academy of Child and Adolescent Psychiatry (AACAP), resiko untuk terjadinya depresi pada anak-anak dan remaja di masa hadapan bisa ditentukan oleh beberapa parameter, seperti riwayat episode depresi terdahulu, dysthymia, dan gangguan ansietas. Faktor-faktor biologis seperti genetik, kelainan neuroendokrin atau neurodegeneratif juga dikatakan memainkan peran dalam terjadinya depresi.
Gambaran Klinis Ganggguan Depresi Mayor
Tidak semua penderita dengan masalah Gangguan Depresi Mayor mempunyai gejala yang sama.
Gejala yang timbul pada gangguan depresi mayor, adalah:
- Rasa sedih yang persisten, gelisah, atau perasaan “kosong”
- Perasaan putus asa
- Perasaan bersalah, merasa diri tidak berguna
- Iritabilitas, cepat marah, resah
- Hilang minat beraktivitas, termasuk aktivitas seksual
- Lelah dan kepenatan
- Masalah konsentrasi, mengingat sesuatu dan membuat keputusan
- Insomnia, atau tidur berlebihan
- Hilang selera makan, atau makan berlebihan
- Idea atau cobaan bunuh diri
- Nyeri kepala, kekejangan atau masalah pencernaan yang persisten, tidak hilang dengan pengobatan (dikutip dari Depression. National Institute of Mental Health, 2008)
Diagnosis Gangguan Depresi Mayor
Diagnosa gangguan depresi mayor adalah berdasarkan karakteristik perilaku, psikologis dan fisiknya. Biasanya, langkah pertama dalam mendiagnosa gangguan depresi mayor termasuk menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang berkaitan. Pemeriksaan fisik, lab, skrining dan sebagainya bisa membantu dokter untuk menegakkan diagnosa, apakah gejala yang timbul ada kaitan dengan kemungkinan lain. Apabila dokter sudah menyingkirkan semua kemungkinan, barulah pasien akan melalui uji diagnostik psikologi. Pemeriksaan ini termasuklah pemeriksaan simptom yang dialami penderita, tahap kesehatan mental dan sebagainya (Bjornlund, 2010).
Kriteria diagnostik yang digunakan secara meluas untuk gangguan depresi mayor ialah dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Suatu episode depresi mayor ditandai dengan munculnya 5 atau lebih gejala di bawah ini, dalam waktu periode 2 minggu. Salah satu gejala yang timbul harus termasuk poin pertama (depresi mood) atau poin kedua (penurunan minat).
Kriteria ini termasuklah:
- Depresi mood dialami hampir sepanjang hari, dan hampir setiap hari --- Pada anak -anak dan remaja, iritabilitas bisa terlihat
- Penurunan minat secara drastis dalam semua atau hampir semua aktivitas, hampir sepanjang hari, hampir setiap hari
- Terjadi kehilangan atau pertambahan berat badan yang signifikan (contoh : perubahan lebih dari 5% dari berat badan dalam sebulan), atau penurunan atau pertambahan selera makan hampir setiap hari --- Pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai berat badan yang sesuai untuk usianya
- Setiap hari (atau hampir setiap hari) mengalami insomnia atau hipersomnia (tidur berlebihan)
- Agitasi yang berlebihan atau melambat respon gerakan hampir setiap hari
- Rasa lelah atau kehilangan energi hampir setiap hari
- Rasa diri tidak berharga atau salah tempat atau rasa bersalah yang berlebihan atau tidak tepat hampir setiap hari
- Berkurangnya kemampuan untuk berkonsentrasi atau berpikir jernih atau membuat keputusan hampir setiap hari
- Pikiran yang muncul berulang kali tentang kematian atau bunuh diri tanpa suatu rencana yang spesifik, atau munculnya suatu percobaan bunuh diri, atau mempunyai rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
Terapi Gangguan Depresi Mayor
Apabila seorang penderita sudah terdiagnosa menderita gangguan depresi mayor, maka tindakan terapi bisa dilakukan. Biasanya, dokter akan bekerjasama dengan penderita untuk menentukan terapi yang paling sesuai. Diperkirakan hampir 80% dari penderita dengan gangguan depresi mayor bisa diterapi dengan baik, tetapi keberhasilan terapi bergantung kepada terapi yang dipilih (Bjornlund, 2010). Penggunaan obat untuk mengurangi gejala (simptomatis) dan psikoterapi telah terbukti efektif dalam mengobati gangguan depresi mayor, samada secara sendirian maupun kombinasi (Halverson, 2011).
Penggunaan obat antidepresan merupakan terapi pertama untuk penderita gangguan depresi mayor dewasa dengan rekuren dan persisten. Antidepresan bekerja dengan cara menormalkan kembali neurotransmitter yang memberi efek pada mood seseorang, biasanya neurotransmitter serotonin dan norepinefrin. Ada juga obat antidepresan yang bekerja pada neurotransmitter dopamine (National Institute of Mental Health, 2008). Obat yang paling sering digunakan adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). SSRIs meningkatkan jumlah neurotransmitter serotonin dengan cara menghambat reuptake kembali serotonin ke sel presinaps. Hasilnya, jumlah serotonin di synaptic cleft yang akan berikatan dengan reseptor akan meningkat. Contoh obat yang digunakan adalah fluoxetine (Prozac), paroxetine (Paxil) dan sertraline (Zoloft). SSRIs paling sering digunakan karena obat ini efektif dan mempunyai efek samping yang kurang berbanding obat antidepresan yang digunakan dahulu (Bjornlund, 2010). Sesetengah penderita memberi respon baik terhadap obat antidepresan lain, seperti jenis monoamine oxidase inhibitor-A atau antidepresan trisiklik. Tetapi obat ini mempunyai efek samping yang berat (North, 2010). Monoamine oxidase inhibitor bekerja dengan cara menghambat enzim monoamine oxidase, maka jumlah norepinefrin dan serotonin akan meningkat.
Selain terapi farmakologi, salah satu terapi yang penting bagi penderita gangguan depresi mayor adalah psikoterapi. Psikoterapi terdiri dari beberapa jenis, yaitu cognitive therapy, behavioral therapy, interpersonal therapy, group therapy dan marital therapy. Cognitive therapy bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kesadaran yang negatif dan kemudian ini nantinya akan diganti dengan kesadaran positif. Behavioral therapy pula, penderita akan diajari perilaku baru dan skil interpersonal untuk mendapat respon yang diingini dari orang lain. Latihan skil sosial adalah satu jenis behavioral therapy yang mementingkan latihan ketegasan, kompetensi verbal dan non-verbal dan memanfaatkan main peran untuk mengembangkan kemahiran. Interpersonal therapy memudahkan penderita untuk sehat kembali dengan memfokuskan tentang keadaan sekarang, bukan tentang sebelumnya. Tujuannya supaya penderita bisa mengembangkan skil menyelesaikan masalah, sosial dan interpersonal. Group therapy pula, seorang dokter dan satu kumpulan penderita gangguan depresi mayor berusaha bersama-sama untuk mengubah keadaan emosional dan perilaku mereka sendiri. Sementara Marital therapy bisa dilaksanakan oleh seorang individual, pasangan atau ahli keluarga sendiri (North, 2010).
Apabila penderita gangguan depresi mayor tidak memberi respon terhadap terapi farmakologi maupun psikoterapi, maka satu lagi terapi bisa digunakan yaitu Electroconvulsive therapy (ECT) atau terapi syok. Terapi ini bekerja dengan mengalirkan arus listrik melalui otak penderita, dengan sengaja membuat penderita kejang untuk satu jangka masa yang singkat. Langkah ini dipercayai mengubah aktivitas kimia otak, karena pelepasan sejumlah besar neurotransmitter dalam masa yang singkat, hingga hasilnya adalah perubahan dalam mood penderita dan meningkatkan fungsi otak (Bjornlund, 2010). ECT juga digunakan jika suatu respon antidepresan yang cepat diperlukan. Hasil yang terlihat bisa lebih cepat berbanding terapi farmakologi, kira-kira kurang 1 minggu sejak permulaan terapi. ECT dipercayai efektif untuk pengobatan depresi delusi, dan juga terapi pilihan untuk penderita psikotik (Halverson, 2011).