Dari pemahaman mengenai persepsi masyarakat terhadap perceraian seperti yang telah dijelaskan terdahulu memberikan pemahaman bahwa mereka cenderung tidak menyetujui adanya perceraian dan sedapat mungkin dihindari karena hal tersebut masih tetap dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang memalukan jika terjadi pada keluarga mereka sendiri, tetapi masyarakat pada umumnya mempunyai sikap akan menerima terjadinya perceraian di lingkungan mereka, jika memang itu harus terjadi atau tidak bisa untuk tidak terjadi, dan akhirnya masyarakat mengakui bahwa perceraian sudah menjadi hal yang umum dan biasa terjadi. Penelitian ini menjelaskan pendapat responden terhadap apakah masyarakat sekarang ini menerima terjadinya suatu perceraian, dinyatakan ya oleh hampir keseluruhan responden (89,3%), meskipun lebih dari separuh responden (66,6%) tidak setuju atau tidak menganggap bahwa perceraian merupakan jalan keluar untuk menyelesaikan kemelut yang terjadi antara suami istri.
Jika dicermati lebih jauh, dapat dikatakan bahwa muncul dan berkembangnya stigma umum dalam masyarakat tentang perceraian tidak terlepas dari berbagai perubahan dari nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam keluarga luas. Hal ini disebut oleh Karim (dalam Ihromi, 1999) sebagai perubahan pada tekanan–tekanan sosial yang diberikan oleh lingkungan keluarga/kerabat serta teman-teman dan lingkungan ketetanggaan terhadap ketahanan suatu perkawinan. Di samping adanya perubahan idealisme yang berkembang dalam masyarakat, dan perubahan-perubahan sistem nilai dalam keluarga luas yang berkaitan dengan berkembangnya nilai-nilai keluarga konjugal/inti. Sehubungan dengan itu, Tabel berikut memperlihat bagaimana pendapat responden dalam mencermati fenomena perceraian yang dikatakan terus meningkat.
Tabel Pendapat Responden mengenai apa yang terjadi dalam masyarakat dengan meningkatnya kasus perceraian (n = 75)
No | Keterangan | Frekuensi | % |
a | Tidak ada | 0 | 0 |
b | meningkatnya nilai individualitif | 30 | 40 |
c | semakin berkurangnya pengamalan ajaran agama | 54 | 72 |
d | dekadensi moral (perselingkuhan, KDRT) | 50 | 66,6 |
e | tdk ada norma dlm masyarakat utk mencegah perceraian | 33 | 44 |
f | perkawinan bukan lagi dianggap sesuatu yang sakral | 30 | 40 |
g | Tekanan ekonomi | 27 | 36 |
Sumber : Data Primer 2008
Namun demikian penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan bahwa stigma umum dimana masyarakat dapat menerima, memahami atau mentoleransi perceraian yang menyebabkan angka perceraian mengalami peningkatan. Hal ini dibuktikan oleh jawaban responden yang menyatakan masing-masing ya sekitar 49,3% dan tidak sebanyak 44% terhadap pertanyaan, apakah menurut bapak/ibu meningkatnya kasus-kasus perceraian akhir-akhir ini, karena masyarakat dapat menerima, dan mentoleransi adanya perceraian, tapi menurut responden lebih disebabkan oleh beberapa hal seperti tercantum pada Tabel di atas. Jadi apa yang dijelaskan oleh Karim (Ihromi, 1999) berdasarkan pemikiran beberapa orang ahli yang menyatakan bahwa perubahan-perubahan dalam struktur sosial yang mempengaruhi sistem keluarga sekaligus tingkat perceraian yaitu antara lain perubahan nilai-nilai dan norma tentang perceraian tidak dapat dibuktikan oleh penelitian ini.
Dari beberapa data dan penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa responden penelitian memang mengakui adanya perubahan nilai-nilai dan norma-norma mengenai perceraian, seperti perceraian menjadi suatu hal yang lazim dilakukan, status janda relatif tidak lagi mempunyai stereotip negatif di mata masyarakat dan istri relatif mudah/cenderung untuk melakukan gugat cerai, namun di sini responden tetap menganggap perceraian sebagai suatu peristiwa yang relatif memalukan dan sedapat mungkin dihindari terutama jika itu terjadi pada keluarga terdekat mereka. Akan tetapi menariknya responden yang mewakili masyarakat umum akan menerima atau mentoleransi terjadinya sebuah perceraian jika memang itu harus terjadi dan tidak dapat tidak untuk bisa dihindari.
Dampak perubahan nilai-nilai perceraian dalam masyarakat dewasa ini tampaknya adalah maraknya terjadi cerai gugat. Pandangan masyarakat mengenai perceraian seperti yang dijelaskan secara panjang lebar di atas dalam perkembangannya turut memberikan warna bagi nilai-nilai perceraian itu sendiri di kalangan wanita, khususnya wanita yang bercerai. Bagaimana masyarakat memandang perceraian maka nilai-nilai apa yang terkandung dalam pemahaman masyarakat itupun menjadi sebuah nilai yang akan ikut menentukan nilai-nilai perceraian bagi wanita.
Oleh karena masyarakat relatif telah mentoleransi terjadinya perceraian, perceraian bukan lagi suatu hal yang tabu untuk dilakukan, maka ketika wanita mengalami masalah perkawinan dan menemukan alasan untuk bercerai, keputusan berceraipun ditempuh sebagai salah satu jalan untuk menyelesaikan kemelut keluarga yang terjadi. Idealisme keluarga yang melihat perkawinan sebagai sesuatu yang harus dipertahankan yang di dalamnya terdapat tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi dan unsur kesetiaan, telah ditindih oleh idealisme individual yang lebih cenderung melihat perkawinan secara pragmatis. Idealisme indivudual semakin mencuat ke permukaan dengan semakin tumbuhnya gerakan-gerakan feminis yang menyuarakan kebebasan dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Suatu hal yang menarik yang ditemui dalam penelitian ini adalah adanya fenomena dalam masyarakat dalam melihat perceraian, khususnya dalam kasus cerai gugat. Masyarakat di sini memposisikan pihak istri sebagai pihak yang bersalah apabila terjadi perceraian. Dalam hal ini istri dianggap menjadi penyebab perceraian. Namun demikian semua itu ditanggapi dingin oleh hampir semua informan. Bagi mereka anggapan tersebut tidak mempengaruhi keputusan apakah mereka menikah lagi atau tidak setelah terjadinya perceraian. Perubahan sikap masyarakat sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas oleh hampir keseluruhan responden (84%) dianggap tidak mempunyai pengaruh terhadap keputusan wanita untuk melakukan perkawinan. Hal ini juga terlihat dari sikap informan yang tetap berkeinginan menikah lagi setelah bercerai, terutama bagi informan yang berusia relatif muda sewaktu bercerai dan mempunyai anak-anak yang relatif masih kecil. Mereka menyatakan membutuhkan pendamping untuk dapat bersama membesarkan dan membiayai kebutuhan anak-anak. Pemikiran informan dapat dikatakan sederhana saja. Untuk informan yang menginginkan menikah lagi berpendapat bahwa sepanjang ada seseorang yang ingin menikah lagi dengan informan dan disetujui maka apa salahnya untuk menikah lagi, tergantung kecocokan saja di antara ke dua belah pihak.
Beranjak dari berbagai macam penyebab yang membuat informan penelitian memutuskan untuk menempuh perceraian, tampaknya mayoritas informan tidak menunjukkan trauma terhadap perceraian itu sendiri.
Dalam semangat relegius, menurut informan pernikahan/perkawinan adalah sesuatu yang sakral, menikah adalah ibadah, kenapa harus menghindarinya. Segala ketakutan dan trauma masa lalu (jika ada) akan terhapus melalui tangan waktu dan kebahagian akan menanti dibalik optimisme. Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan setan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Hanya saja sikap kehati-hatian dengan arti lebih selektif dalam mempertimbangkan siapa yang akan menjadi pendamping dalam perkawinan berikutnya, diakui oleh informan ini sebagai salah satu cara untuk mengantisiapasi agar perceraian tidak terulang lagi.
Perubahan pada nilai dan norma-norma tentang perceraian, dimana masyarakat tidak lagi melihat perceraian sebagai sesuatu yang memalukan dan harus dihindarkan, menurut informan kenapa wanita harus bertahan dengan kondisi perkawinan yang tidak diharapkan dan enggan bercerai ketika dihadapkan oleh status janda yang negatif di tengah masyarakat, tentu tidak demikian halnya. Tidak seperti perceraian pada masa lalu dimana perceraian dapat menyebabkan seseorang terutama wanita kehilangan lingkungan dan kehidupan sosialnya.
Dalam hal ini wanita sebagai istri dalam rumah tangga tidak lagi harus mengalah atau bersifat pasrah dalam menyikapi kehidupan perkawinannya, karena istri pun merasa mempunyai hak memperoleh kebahagiaan dalam perjalanan perkawinan tersebut. Adanya pergeseran orientasi utama perkawinan untuk membentuk keluarga dan kebahagian anak-anak kepada orientasi kebahagian hubungan pasangan suami istri dalam perkawinan memberi warna dan pemikiran bagi wanita dalam memberikan pemahaman nilai terhadap perkawinan dan perceraian. Implementasinya adalah munculnya suatu keputusan untuk menarik diri dari lembaga perkawinan yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Apakah dengan demikian dalam hubungan perkawinan seorang wanita akan begitu mudah untuk memutuskan ikatan perkawinannya, atau begitu mudahnya sesorang untuk melakukan kawin cerai kemudian kawin dan cerai lagi. Apakah perubahan nilai-nilai perceraian yang secara tidak langsung menyebabkan perkawinan kehilangan maknanya. Tentunya tidaklah semudah itu menyatakan hal yang demikian. Semua ini membutuhkan pemahaman dan kajian yang lebih mendalam. Jika dilihat dari maraknya kasus perselingkuhan, maka dapat dikatakan bahwa dewasa ini makna perkawinan telah luntur dari makna sucinya (sakral) akibat pergeseran nilai yang mengedepankan kepentingan sesaat. Tidak jarang, perceraian dan perselingkuhan menjadi peristiwa yang kerap terjadi di sekitar kita akibat kurangnya internalisasi nilai-nilai luhur perkawinan dalam ajaran agama.
Akan tetapi sebaliknya, menurut sebagaian informan penelitian, perkawinan bermakna sebagai tanda dimulainya dan disyahkannya status “berumah tangga”. Perkawinan berarti bermakna pembentukan suatu rumah yang dibangun bersama-sama dengan hak dan kewajiban masing-masing. Dengan kata lain, perkawinan merupakan pusat kehidupan keluarga dan pembentukan pribadi para anggota keluarga secara lahiriah dan batin. Dari makna perkawinan tersebut, kita dapat melihat bahwa perkawinan itu pada dasarnya mempunyai makna penting, suci dan bertujuan untuk menggapai kebahagiaan dan kesejahteraan kehidupan berkeluarga. Makna perkawinan disini maksudnya adalah makna dalam arti nilai yang ingin diraih atau dicapai melalui suatu perkawinan. Perkawinan tidak hanya untuk pemuasan dorongan seksual semata, karena apa yang yang terjadi di tengah masyarakat pemuasan seksual relatif dapat dilakukan atau dipuaskan di luar lembaga perkawinan. Mereka diharapkan untuk melahirkan anak, mengakuinya, merawat dan mengasuhnya. Selain itu juga dituntut untuk mempertahankan ikatan perkawinan selama hidup. Jadi perkawinan bukan soal main-main seperti beli sepatu atau baju, kalau tidak cocok langsung bisa saja diganti dengan yang baru.
Meskipun masyarakat dikatakan relatif mentoleransi terjadinya suatu perceraian, tapi informan tidak mengharapkan terjadinya perceraian lagi dalam kehidupan perkawinan mereka. Akan tetapi hal yang lain dapat disampaikan di sini bahwa ternyata perubahan nilai-nilai perceraian dalam masyarakat turut memberikan pemahaman baru bagi wanita dalam memaknai hubungan perkawinan mereka. Setelah mengalami perceraian, hampir keseluruhan informan mengakui bahwa pada perkawinan mereka berikutnya tidak lagi memasukkan unsur rasa cinta sebagai dasar perkawinan seperti halnya pada perkawinan mereka terdahulu.
Tags
Perkembangan Dewasa