Pengertian Penerimaan diri menurut Hurlock (1973) adalah suatu tingkat kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya. Individu yang dapat menerima dirinya diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga individu lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Rubin (dalam Ratnawati, 1990) menyatakan bahwa penerimaan diri merupakan suatu sikap yang merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri dapat diartikan sebagai suatu sikap penerimaan terhadap gambaran mengenai kenyataan diri.
Penerimaan diri ini mengandaikan adanya kemampuan diri dalam psikologis seseorang, yang menunjukkan kualitas diri. Hal ini berarti bahwa tinjauan tersebut akan diarahkan pada seluruh kemampuan diri yang mendukung perwujudan diri secara utuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Schultz (Ratnawati, 1990) mengenai penerimaan diri. Dia menyatakan bahwa penerimaan diri yang dibentuk merupakan hasil dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri.
Sedangkan menurut Chaplin (2004), penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya.
Penerimaan diri sangat berhubungan erat dengan penerimaan diri terhadap lingkungan. Penerimaan orang tua misalnya. Penerimaan orangtua yaitu suatu efek psikologis dan perilaku dari orangtua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan, kepedulian, dukungan dan pengasuhan dimana orangtua tersebut bisa merasakan dan mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya. (Hurlock, 1973)
Tahap-tahap Penerimaan Diri
Kubbler Rose (1970) dalam Tomb (2003) mendefinisikan sikap penerimaan diri (self acceptance) terjadi bila seseorang mampu menghadapi kenyataan daripada hanya menyerah pada pengunduran diri atau tidak ada harapan. Menurut Kubler Ross (dalam teori Kehilangan/Berduka), sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) individu akan melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap denial, anger, bargainning, depression, dan acceptance.
Ada beberapa tahapan yang akan dilalui orangtua, yang mana tahapan tersebut sesuai dengan teori penerimaan (acceptance) Kubbler Ross. Di bawah ini diberikan ilustrasi penerimaan dari orang tua yang mempunyai anak yang mengalami gangguan autis, yakni:
Tahap denial (penolakan)
Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena umumnya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka. Kadang, orangtua memiliki perasaan yang kuat untuk menolak keadaan bahwa anaknya merupakan anak autis. Tindakan penolakan ini bukan untuk meredakan kesedihan orangtua, tetapi akan semakin menyiksa perasaan orangtua.
Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan untuk memberikan keturunan yang ”sempurna”. Kadang dalam hati muncul pernyataan ”tidak mungkin hal ini terjadi pada anak saya” atau ”tidak pernah terjadi keadaan seperti ini di keluarga kami” (Safaria, 2005).
Orangtua yang menunjukkan koordinasi yang buruk, kurangnya kerjasama dan kehangatan, serta pemutusan hubungan oleh salah satu orangtua, baik berdiri sendiri maupun berkombinasi dengan keterlibatan yang berlebihan dari orangtua yang lain merupakan kondisi yang membuat anak justru akan menghadapi risiko terjadinya gangguan perkembangan yang lebih parah (Santrock, 2007).
Tahap anger (marah)
Tahapan yang ditandai dengan adanya reaksi emosi/marah pada orangtua yang memiliki anak autis dan orangtua menjadi peka dan sensitif terhadap masalah – masalah kecil yang pada akhirnya menimbulkan kemarahan. Kemarahan tersebut biasanya ditujukan pada dokter, saudara, keluarga, atau teman – teman. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk ”Tidak adil rasanya...”, ” Mengapa kami yang mengalami ini?” atau ”Apa salah kami?” (Safaria, 2005).
Tahap bargainning (tawar – menawar)
Tahapan dimana orangtua mulai berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya” dan berpikir tentang upaya apa yang akan dilakukan untuk membantu proses penyembuhan anak. (Safaria, 2005) 2.2.4. Tahap Depression (depresi) Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu, yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil, atau akibat dosa di masa lalu. Ayah pun sering dihinggapi rasa bersalah, karena merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna. (Safaria, 2005) Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saya mereka meninggal. Harapan atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul dalam bentuk pertanyaan ”Akankah anak kami mampu hidup mandiri dan berguna bagi orang lain?”. Pada tahap depresi, orang tua cenderung murung, menghindar dari lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup. (Marijani, 2003)
Tahap Acceptance (penerimaan)
Tahapan dimana orangtua telah mencapai pada titik pasrah dan mencoba untuk menerima keadaan anaknya dengan tenang. Orang tua pada tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka (Safaria, 2005).
Kemampuan penyesuaian diri dari orang tua akan mempengaruhi psikologis dari orang tua sendiri. Orang tua yang mampu menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi psikologis yang sehat dan akan berdampak positif bagi perkembangan anaknya. Sebaliknya, iorang tua yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik akan memiliki kondisi psikologis yang tidak sehat dan akan berdampak negatif bagi perkembangan anaknya yang kadang mengalami gangguan. (Singgih D. Gunarsa, 2003).
Tags
Autisme
lamayan.. bisa buat nambahin bahan buat skripsi..
BalasHapus