Definisi autisme, oleh setiap ahli masih berbeda-beda dalam menjelaskan definisi tentang austisme. Mungkin ini dikarenakan, autis adalah salah satu diagnosa gangguan perilaku yang relatif masih baru. Autisme masih merupakan suatu hal yang menarik perhatian para ilmuwan selama lebih dari setengah abad. Kompleks perilakunya meliputi simptom- simptom beragam, yang sebagian besar muncul sebelum anak menginjak usia tiga tahun (Rodier, 2000; Williams & Wright, 2007).
Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti “Aku ” (Monks dkk, dalam Yuwono, 2009). Menurut Treatment and Educational of Autistic and Communication Handicapped Children Program (TEACCH) (Wall dalam Yuwono, 2009) autisme adalah: ………a lifelong developmental disability that prevents individuals from properly understanding what they see, here and otherwise sense. This results in severe problem of social relationships, communication and behavior.
The Association for Autistic Children in WA pada tahun 1991 (Yuwono, 2009) menyatakan bahwa autisme dipahami sebagai gangguan perkembangan neurobiologis yang dapat mempengaruhi anak dalam belajar, berkomunikasi, dan hubungan dengan orang lain.
Definisi yang lebih operasional dinyatakan oleh The Individuals with Disabilities Education Act dalam Yuwono (2009) bahwa autisme atau autistik merupakan gangguan perkembangan yang secara signifikan mempengaruhi komunikasi verbal dan non-verbal dan interaksi sosial, sering diasosiasikan dengan keterikatan dalam aktivitas yang diulang-ulang dan gerakan stereotype, menolak perubahan lingkungan/perubahan rutinitas sehari-hari dan tidak biasa merespon pengalaman-pengalaman sensorik.
Maka berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang kompleks meliputi gangguan pada aspek perilaku, interaksi sosial, komunikasi, serta gangguan emosi dan persepsi sensori yang muncul pada usia sebelum 3 tahun.
Karakteristik penderita autisme ditandai dengan empat tanda dasar yaitu isolasi sosial, keterbelakangan mental (sekitar 70-75% dari penyandang autism), defisit bahasa, serta stereotip & perilaku yang diulang-ulang (Rodier, 2000; Alloy, Riskind & Manos; 2005; Happe & Frith dalam Gabriels & Hill, 2007; & Yuwono, 2009).
Sedangkan, berdasarkan DSM IV-TR, pengkategorian penyandang Autisme didasarkan pada gejala-gejala yang muncul diantaranya:
Interaksi Sosial (minimal menunjukkan 2 gejala di bawah ini):
- Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju.
- Kesulitan bermain dengan teman sebaya
- Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
- Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah.
Komunikasi Sosial (minimal menunjukkan 1 gejala di bawah ini):
- Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
- Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
- Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
- Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi sosial
Pola perilaku yang repetitive, serta minat dan aktivitas yang terbatas (minimal menunjukkan 1 gejala di bawah ini):
- Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
- Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
- Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Secara spesifik, faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi autis belum ditemukan secara pasti, meskipun secara umum disepakati terdapat keragaman tingkat penyebabnya (Yuwono, 2009). Penyebab terjadinya gangguan autisme diantaranya adalah adanya faktor genetik (Rodier, 2000; Alloy, Riskind & Manos; 2005), metabolik dan gangguan syaraf pusat, infeksi pada masa hamil (rubella), gangguan pencernaan hingga keracunan logam berat, serta struktur otak yang tidak normal seperti hydrochepalus (Yuwono, 2009).
Tags
Autisme