LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) adalah sebuah lembaga yang diperuntukkan untuk membina orang-orang yang melakukan kejahatan. Tidak mudah memang, tugas yang diberikan kepada lembaga ini, mengingat kondisi masyarakat binaan mereka adalah orang-orang yang luar biasa dalam hal “kriminal”. Membina orang yang baik-baik saja sangat susah, apalagi membina orang-orang yang memang sudah jelas-jelas seorang kriminal.
Tetapi bagaimanapun sulitnya, ini adalah tugas yang sudah diberikan negara kepada Lapas. Sebagai sebuah lembaga instansi pemerintah yang bertugas membina orang-orang yang memiliki tingkah laku yang menyimpang (kriminal). Dengan adanya Lapas ini, diharapkan orang-orang yang sudah di vonis atas nama hukum mempunyai perilaku yang menyimpang dibina agar dapat dikembalikan ke masyarakat nantinya. Jadi, Lapas ibarat sebuah “lembaga terapi” tingkah laku (dalam ilmu psikologis), untuk mengubah tingkah laku menyimpang menjadi sebuah tingkah laku yang normal.
Lapas, dalam bahasa orang awam, adalah tempat untuk menghukum dan membuat jera para pelaku tindak kriminal. Diharapkan, dengan adanya hukuman yang direpresentatifkan dalam bentuk tahanan lembaga pemasyarakatan, pelaku tindak kriminal agar dapat menyesali perbuatannya, dan tidak mengulangi tindakan tersebut dikemudian hari. Ini juga sejalan dengan definisi diatas, bahwa lapas digunakan untuk mengubah tingkah laku yang menyimpang menjadi tingkah laku yang dapat diterima masyarakat.
Apakah fungsi Lapas ini sudah sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya yang diberikan kepadanya? Yaitu, memberikan pembinaan “terapi tingkah laku” kepada masyarakat binaan Lapas, agar dikemudian hari, penghuni Lapas dapat dikembalikan kemasyarakat dengan perilaku yang sudah berubah? Seberapa efektifkah pembinaan yang dilakukan dalam Lapas dalam mengubah tingkah laku kriminal menjadi tingkah laku yang dapat diterima secara hukum?
Melihat kondisi dan keadaan lulusan “lembaga terapi tingkah laku ini (Lapas)”, disinyalir, Lapas gagal menjalankan fungsinya. Bahkan dalam beberapa berita di media massa, Lapas ibarat sebuah lembaga yang tambah menyuburkan tindakan kriminal, alih-alih mengubah tindakan kriminal menjadi tingkah laku yang normal. Lapas menjadi sebuah sekolah kriminal, dari sebelumnya seseorang masuk menjadi tahanan Lapas, dalam level satu, dan dikemudian hari level kriminalnya akan naik, jika orang tersebut sudah menjalani pendidikan di Lapas. Bagi pelaku kriminal, Lapas ibarat tempat memperdalam Ilmu, dengan berbagi ilmu dengan penghuni Lapas lainnya. Lapas, menjadikan orang jahat tambah jahat.
Keadaan ini diperparah dengan kurangnya kendali pemegang otorotas Lapas dalam mengendalikan warga binaan. Memang susah, mengendalikan mereka (karena memang dasar tingkah laku mereka adalah kriminal), tetapi Lapas sudah diberikan wewenang untuk itu. Ini lebih diperparah dengan adanya permainan antara petugas dengan warga binaan. Kewibawaan Lapas dimata penghuni Lapas (tahanan), hanya sekedar alat mereka, apalagi jika warga binaan tersebut mempunyai “kekuatan”.
Fungsi Lapas sebagai tempat “terapi tingkah laku”, tidak akan pernah terwujud jika tidak ada pembenahan dalam Lapas itu sendiri. Sehingga tidak heran, jika tingkah laku lulusan penghuni Lapas tambah menyimpang, bahkan tambah ahli melakukan tindakan kriminal.
Ini memang perlu renungan dan pembenahan bagi pemegang otoritas Lapas, kembali ke filosofi awal dibangunnya Lembaga Pemasyarakat (Lapas) tersebut.