Terapis yang terlibat dalam menangani masalah perkawinan dan keluarga memiliki pandangan bahwa, konflik dan ketegangan tidak dapat dihindari bila dua orang atau lebih hidup bersama, dan cara terbaik untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melibatkan semua anggota keluarga dalam terapi.
Fokus utama dalam dari bentuk terapi ini adalah memperbaiki komunikasi antar anggota keluarga sehingga kebutuhan masing-masing anggota dapat dipenuhi tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan harapan anggota lainnya (Nevid dkk, 2004).
Pada terapi perkawinan yang menjadi klien adalah orang yang sudah menikah atau memiliki hubungan intim lainnya. Masing-masing pihak dalam pasangan menemui terapis yang sama di dalam pertemuan yang sama. Focus terapi perkawinan bukan pada individunya, akan tetapi pada hubungan antara kedua belah pihak yang terganggu (Nietzel dkk, 1998). Konsep penyesuaian dalam perkawinan menghendaki keinginan dari pasangan untuk saling belajar mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan satu sama lain (Laswell & Lasweel, dalam Wahyuningsih, 2002).
Disisi lain terapi keluarga merupakan bentuk penanganan yang bertujuan untuk mengubah pola interaksi di dalam keluarga yang menghasilkan gangguan. Hal ini berdasarkan pada pandangan bahwa masalah individual berhubungan dengan konteks sosial dan konsekuensi sosial (Nietzel dkk, 1998).
Phares (1992), menyebutkan beberapa model terapi keluarga, diantaranya:
Conjoint family therapy
Terapis menemui seluruh anggota keluarga pada saat yang sama. Terapis bisa mengambil peran secara pasif maupun aktif, direktif maupun non-directive.
Concurrent family therapy
Terapis menemui masing-masing anggota keluarga secara individual.
Collaborate family therapy
Terapis yang berbeda bertemu dengan masing-masing anggota keluarga. Selanjutnya terapis yang terlibat dalam proses tersebut bertemu dan mendiskusikan klien dan keluarganya.