Kekerasan seksual khususnya pemerkosaan di dalam angkutan umum (angkot) yang dilakukan oleh sopir angkot, menjadi berita utama beberapa media nasional akhir-akhir ini. Tercatat, beberapa kasus yang berdekatan waktunya seperti beruntun tidak putus-putusnya, semakin diberitakan, semakin ditindak, juga semakin marak kejadian ini terjadi.
Orang yang dipandang bertanggung jawab dalam hal ini adalah pemerintah, khususnya pemerintah DKI, karena ketidakbecusannya mengelolah transportasi di Jakarta. Mulai dari kemacetan lalulintas yang tidak kunjung ada penyelesaiannya ditambah lagi aksi kekerasan seksual beberapa sopir angkutan umum menambah kerumitan pengelolaan transportasi di ibukota.
Sebenarnya kekerasan seksual yang dilakukan oleh sopir angkot, tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi hal ini juga terjadi di daerah-daerah lain. Hanya karena kasus yang terekspos lebih banyak di Ibukota (Jakarta), disamping itu, pemilihan calon kepala daerah juga semakin dekat. Jadi ada efek kebiasan pemberitaan disini, yaitu efek pengulangan pemberitaan dan efek politik yang bermain.
Jadi apa sebenarnya penyebab kekerasan seksual yang dilakukan oleh sopir angkot terhadap penumpangnya? Apakah karena pengaruh kemacetan dan kesemrawutan pengelolaan transportasi, yang menyebabkan sopir angkot stress dan melakukan pemerkosaan? Atau karena kurangnya perlindungan yang diberikan oleh pemerintah terhadap konsumen transportasi?
Mungkin, pernyataan diatas ada benarnya. Tetapi tidak menjawab inti permasalahan “terjadinya pemorkesaan” dalam angkutan umum yang dilakukan oleh sopir angkot. Bagaimanapun semrawutnya transportasi, tidak ada hubungan langsung dengan tindakan pemerkosaan. Atau bagaimanapun perhatiannya pemerintah terhadap transportasi, tetap saja ada celah untuk tindakan perkosaan ini, walaupun tindakan tepat yang diambil oleh pemerintah akan dapat meminimalkan insiden yang terjadi.
Menelaah lebih jauh, penyebab terjadinya pemerkosaan dalam angkutan umum sebenarnya adalah sebuah kondisi psikologis yang di-manage oleh budaya. Maksudnya?
Budaya kita, bukanlah sebuah budaya expressive fatalis. Maksudnya adalah kecenderungan budaya kita menyimpan dalam hati kekecewaan daripada mengekspresikannya. Ini kebalikan jika ekspresi itu adalah ekspresi kebahagiaan. Budaya kita menciptakan budaya ramah, sopan, santun dan menjaga perasaan orang lain. Bahkan terkadang, orang lain sudah berbuat dzolim, kita masih meresponnya dengan bermuka manis pada mereka, hanya karena ingin menjaga dan menyenangkan hatinya, jangan sampai tersinggung. Bahkan, sudah terinjak pun, kita masih sempat untuk minta maaf.
Selain itu, budaya kita juga adalah budaya “monggo”. Artinya membiarkan orang lain, walau itu sudah merugikan diri sendiri, tak lain juga karena ingin menyenangkan hatinya. Budaya kita jarang menggunakan kata “tidak” untuk suatu hal. Disamping itu, budaya juga menciptakan ketergantungan pada otoritas. Mendahulukan pemimpin (pemegang otoritas) daripada kepentingan pribadi, baik itu ide, saran, pendapat atau keinginan pribadi pemerang otoritas. Kondisi ini menyebabkan seseorang selalu mengikuti pendapat dan kemauan pemegang otoriti (pemimpin), tanpa ada kemauan untuk menyampaikan ide dan kemauannya sendiri. Jadinya, keekecewaan itu selalu dipendam. Jadilah kita sebagai seorang penggerutu sejati.
Apa hubungannya dengan pemerkosaan yang dilakukan oleh sopir angkutan umum kepada penumpangnya? Jelas ini ada hubungan psikologisnya. Sopir angkot, dalam situasi ini adalah seorang pemegang otoritas, jadi apa maunya, terserah dia, dan penumpang bisanya menggerutu, tanpa bisa mengatakan kata “tidak” (budaya). Jika sopir angkot mau belok sini atau mau melalui jalur ini, ataupun ingin berhenti disini, penumpang tidak mempunyai kuasa untuk menghentikannya karena terikut budaya tadi (budaya monggo walaupun dalam hati sudah menggerutu, tapi tidak bisa diekspresikan melalui kata “tidak”).
Apa jadinya, jika sopir angkutan umum tersebut mempunyai niat jahat? Tentu ini adalah sebuah lahan yang empuk. Penumpangnya monggo-monggo saja (walau hati sudah terbakar), meskipun sudah dirugikan misalnya. Bahkan banyak orang yang sudah menjadi korban juga tidak melaporkan kasus ini, karena mungkin menganggap ini adalah sebuah aib. Jadinya, data yang ada, tidak sebanyak dengan kasus yang terjadi, dan kasus yang terjadipun tidak sebanyak kasus yang terekspos.
Saya tidak mengatakan bahwa semua sopir angkot adalah pemerkosa. Saya yakin, hanya sebagian kecil dari mereka-mereka yang memang punya penyakit. Saya juga tidak mengatakan bahwa budaya kita tidak baik, sehingga menyabkan kasus-kasus ini terjadi. Saya ingin mengatakab bahwa, kita harus bertindak sesuai dengan situasi. Jadilah kita seseorang yang assertive. Katakan tidak jika memang tidak dan katakan setuju jika memang setuju (jangan selalu ingin memendam rasa/menggerutu), tanpa menghilangkan budaya kita yang sopan & santun.
penyebabnya kesambet/kesurupan
BalasHapuskomentar saya adalah : INDONESIA AKAN KIAMAT DULUAN ...!!!!!!!!!
BalasHapus