Lebaran memberikan berkah tersendiri, berkah HP Ketimbun SMS. Terhitung dari H-3 lebaran, SMS ucapan perimintaan maaf sudah mengalir dan antri memasuki kotak masuk. Memberikan pekerjaan tersendiri, baca SMS yang ratusan jumlahnya.
Tapi ada yang menarik dari SMS ini, yakni SMS khas lebaran. Selain sebagai permintaan maaf, dari SMS itu kita tahu siapa yang mengirimkan SMS tersebut, atau walau belum membaca SMS-nya kita sudah bisa menebak, bagaimana isi dan gaya kata-katanya.
SMS teman-teman dari Sumatera, mempunyai ciri khas “berpantun”, teman-teman dari Jawa, berciri khas “Puisi”, SMS dari teman-teman di Sulawesi mempunyai ciri khas “tidak neko-neko”, dan dari tempat yang lain, mempunyai ciri khas tertentu. Bahasanya pun beragam, ada bahasa daerah, ada bahasa “Indonesia”, bahkan ada yang berbahasa arab, bisa dipastikan dia dari arab, atau dari mungkin pesantren, yang jelas, banyak SMS yang tidak tahu apa artinya. Hanya berhuznudzon saja, SMS ini adalah SMS permintaan maaf khas lebaran.
Yang menjadi pertanyaan apakah permintaan maaf lewat SMS itu efektif? Gimana dengan kajian fiqihnya? Yang jelas, orang yang menerima SMS tidak semuanya dibaca, karena terlalu banyak, lagi tilawah atau alasan sibuk atau yang lainnya. Ada juga kasus, kopi paste SMS. Seperti plagiat hasil karya. Padahal permintaan maaf itu berasal dari dalam hati tulus, bukan men-kopi SMS orang. Tapi saya sendiri berpendapat, daripada tidak ada kabar sama sekali, mengirim SMS sudah cukup memberikan perhatian, dan juga sudah cukup merepotkan dan menyita waktu untuk membacanya.
Ternyata, keberadaan SMS mempengaruhi gaya minta maaf khas lebaran. Yang menjadi dilema adalah, haruskah menjawab ratusan bahkan hampir ribuan SMS yang masuk, padahal kita sendiri juga sibuk mengirimkan SMS?