Pernahkah anda menginjakkan kaki di Bumi Lancang Kuning (Riau)? Berbeda dengan kota-kota yang terletak di pesisir pantai, anda akan disuguhi pemandangan laut, dan menikmati sunset ataupun sunrise adalah sebuah hal lumrah. Berbeda dengan kota-kota yang berada cukup jauh di pedalaman seperti Kota Jambi, Palangkaraya ataupun kota Pekanbaru. Dapatkah kita menikmati sunset atau sunrise disana?
Berawal dari rasa kebosanan akan aktivitas sehari-hari, maklum, tinggal di Pekanbaru sudah memasuki tahun ke-empat, sehingga terbersit ide untuk berburu sunset di suatu senja. Ini mungkin ide yang tidak masuk akal, dimana Kota Pekanbaru dikeliling oleh hutan dan sungai. Jika anda keluar Pekanbaru, maka yang anda lihat hanyalah hamparan perkebunan sawit ataupun karet. Hutan alami sudah sangat langka di Bumi Lancang Kuning. Ini karena pembalakan liar dan alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. Mungkin anda sering mendengar bahwa, Kota Pekanbaru dan daratan Riau pada umumnya adalah kota pengekspor asap nomor satu di Indonesia, ini adalah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Pembakaran lahan sangat berefek besar pada perubahan iklim di kota ini. Jika sebelumnya, kata tetua-tetua disini, jika sudah memasuki bulan-bulan “ber” (September, Oktober, November, Desember), maka sediakan ember, karena hujan akan mengguyur deras. Tapi sekarang cuaca tidak bisa di prediksi, cuaca panas seakan menyamakan Pekanbaru dengan kota yang terletak di Gurun Pasir. Jika hujan datang, maka akan disambut dengan semboyang kota pekanbaru “Kota Berkuah” (Plesetan dari semboyang kota Pekanbaru, Kota Bertuah). Jika banjir datang, siap-siap anda tidak tidur, siapkan pelampung, atau modifikasi tempat tidur anda menjadi sebuah perahu. Memang sebuah dilema jika hujan datang, mengingat kota Pekanbaru terletak di Pedalaman dengan struktur tanah rawa, air tidak bisa langsung di alirkan kesungai ataupun laut. Di perparah lagi dengan alih fungsi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit, resapan air menjadi tidak sempurna.
Lancang Kuning patut bersyukur karena di karunia Sumber Daya Alam yang melimpah. Tidak mengherankan jika disini berada beberapa perusahaan-perusahaan yang berskala internasional beroperasi. Tapi sayang, keberadaan mereka bersimbiosis parasit dengan penduduk setempat. Andil perusahaan ini memang sangat besar dalam merusak lingkungan di Bumi Lancang Kuning, mulai dari penggundulan hutan, hingga pencemaran air oleh limbah-limbah industri mereka. Pengrusakan alam ini berakibat pada rusaknya habitat hidup dan keseimbangan ekosistem alam.
Kembali kecerita awal, sunset di bumi lancing kuning memang diartikan berbeda dengan sunset yang ada dipesisir. Referensi kita selama ini tentang sunset adalah terbenamnya matahari di senja hari di ufuk barat di tambah dengan pemandangan laut yang memantulkan sinar matahari menambah keindahan alam. Ini adalah sebuah keadaan alam yang ideal.
Di Bumi lancing kuning, matahari tidak terbenam di atas laut, tetapi terbenam diatas pohon…pohon sawit….Tak mengherankan jika penduduk di Bumi Lancang Kuning adalah tuan-tuan sawit. Tetapi kenyataan menyatakan sebaliknya. Penduduk disini, khususnya suku Melayu, menjadi budak bahkan bahan buruan pemilik perkebunan. Masyarakat di gusur hingga terbenam di dasar “sawit”. Beberapa pejabat daerah yang “hidupnya diatas pohon”, bersama-sama pemilik modal mengusir dan merusak habitat asli “penghuni pohon”. Masyarakat di gusur, diusir, dan di jadikan tamu di rumah sendiri.
Beruntung, ada KPK yang sudah menangkap beberapa pejabat yang “hidup diatas pohon” ini, walaupun tetap masih banyak pejabat lain yang “hidup diatas pohon” tetap bebas berkeliaran merusak pohon-pohon di Lancang Kuning. Mereka masih hidup diatas pohon membuat indahnya sunset di Bumi Lancang Kuning tercemari oleh mereka.
Semoga esok hari sunset yang terbenam diatas pohon akan terbenam selamanya dan sunrise akan muncul dan kembali bersinar di Bumi Lancang Kuning menumbuhkan pohon-pohon baru yang kuat dan rindang….
Tags
T..Jelajah