Hari ulang tahun NU kemarin, Ahad 17 Juni 2011, cukup meriah, menurut panitia dihadiri oleh sekitar 150.000 kaum nahdiyin, sungguh sebuah jumlah yg sangat besar, Jumlah ini tidak mengejutkan, mengingat NU sudah berumur 80-an, artinya sudah tiga generasi eksis di negeri ini. Yang ingin di ulas disini bukan keberadaan NU yang sudah mengakar pada lapisan masyarakat, tetapi sebuah statement keberadaan “Densus 99”, yang menurut komandan densus 99 pasukan ini akan membantu polisi memerangi terorisme. Pasukan Densus 99 mempunyai beberapa keahlian diantaranya bela diri, menjinakkan bom, kebal dan lain-lain (vivanews.com, edisi ahad, 17 Juni 2011).
Keberadaan Densus 99, melihat lebih luas kita akan menemukan ormas dan organisasi serupa lainnya, sebut saja FPI (Memerangi kemungkaran), Pemuda Pancasila (Pengawal Ideologi), dan masih banyak ormas lain yang mempunyai motif yang sama “memberantas kejahatan”. Ormas-ormas ini diberi latihan semi militer, untuk melaksanakan tugasnya “memberantas kejahatan”. Latar belakang ormas ini berbeda-beda mulai dari latar belakang budaya, agama historis dan lain-lain.
Apa penyebab munculnya ormas dan organisasi dengan motif “memberantas kejahatan”? Ahli hukum dan Tata Negara akan menjawab, hukum dan aparat hukum mengalami abuse of power; padahal hukum dalam sebuah Negara demokrasi adalah tuhan. Sesiolog akan mengatakan bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat dan hukum tidak sejalan sehingga menimbulkan ketimpangan sosial.
Lebih dalam, ilmu psikologi mengulas bahwa tingkah laku dalam kelompok dipengaruhi oleh tingkah laku personal, walau ada teori yang mengatakan bahwa tingkah laku personal akan berbeda tampilannya jika berada dalam suatu kelompok. Terlepas dari perbedaan teori ini, kita dapat melihat bahwa gerak kelompok dipengaruhi oleh gerak dan tingkah laku pribadi. Apabila gerak dan tingkah laku searah dalam kelompok maka akan membentuk sebuah kelompok yang solid. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa tingkah laku personal sangat menentukan gerak dan tingkah laku dalam kelompok.
Apa penyebab timbulnya penyimpangan tingkah laku personal yang mengarah pada kekerasan? Jika dianalisis, kita menemukan banyak faktor penyebab timbulnya kekerasan dan budaya kekerasan dalam masyarakat.
Agama dan Keyakinan. Memang sebuah dilema dalam sebuah Negara demokrasi, antara penghayatan keagamaan dan keyakinan berbenturan dengan hukum. Banyak sisi dalam hukum yang tidak menganulir penghayatan keagamaan, dan tidak mungkinpula hukum menganulir semua aturan-aturan agama yang berbeda-beda. Agama menganjurkan untuk berbuat baik dan membasmi kejahatan. Berbuat baik mungkin akan sejalan dengan hukum, tetapi bagaimana jika pemeluk agama bertindak sebagai pembasmi kejahatan? Padahal jahat atau tidaknya seseorang sangat subjektif dalam sebuah agama, artinya setiap agama mungkin menginterpretasikannya secara berbeda. Ini adalah penyebab timbulnya kekerasan Tahap I (Tahap primer)
Hukum dan Aparat Hukum. Hukum adalah Tuhan pada sebuah Negara. Tanpa hukum, keadilan adalah sebuah euphoria. Negara tanpa hukum akan menjadi Negara otoriter, dan keadilan adalah sebuah yang mustahil. Indonesia adalah sebuah Negara hukum, tetapi melahirkan rakyat yang tidak taat hukum. Banyak penyebab, mengapa rakyat tidak taat pada hukum. Penyebab inilah yang menyebabkan Kekerasan Tahap II (Tahap sekunder).
Budaya dan Pendidikan. Apakah budaya kita yang barbar, sehingga memunculkan tindak kekerasan? Pada dasarnya semua budaya adalah arif. Tetapi budaya akan terus berkembang mengikuti zaman. Budaya akan di ubah dan di godok oleh sebuah system pendidikan agar tetap sejalan dengan zaman agar tidak terjadi ketimpangan. Tragisnya di Indonesia, budaya tidak berkembang, bahkan terkadang budaya ketinggalan zaman. Sehingga masyarakat meninggalkan budaya itu sendiri. Padahal pada dasarnya budaya adalah sarana berekspresi. Menghilangkan sarana berekspresi akan menimbulkan tingkah laku maladaptive. Dalam diri manusia tetap ada sumber emosi yang harus dilepaskan, termasuk ekspesi emosi yang merusak. Peghilangan sarana berekspresi ini menyebabkan Kekerasan Tahap III (Tahap tersier).
Main hakim sendiri, kebenaran adalah milik segolongan orang, ekspresi emosi masyarakat yang tidak tersalurkan adalah sumber-sumber kekerasan yang akan siap meledak. Apa akibatnya jika masyarakat mengalami penyakit ini. Lebih jauh jika kelompok ormas mengidap penyakit ini. Sesuai dengan judul di atas, kita semua pasti bisa menjawabnya.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan sedikit masukan dalam menangani masalah sosial yang kita alamai akhir-akhir ini. Tawuran, sweeping ormas, main hakim sendiri, adalah masalah sosial yang harus dicari akar masalahnya. Permasalahan sosial tidak muncul secara spontan, tetapi merupakan akumulasi tingkahlaku yang maladaptive yang berkembang dalam masyarakat....
Tags
Psikologi Politik