Menurut
Soeroso dan Sastrosoebroto (1994), berdasarkan ada tidaknya pirau, kelompok
asianotik terbagi atas 2 kelompok, yaitu kelompok dengan pirau dari kiri ke
kanan dan kelompok tanpa pirau.
Kelompok
dengan pirau kiri ke kanan adalah sebagai berikut:
Defek Septum Ventrikel
Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah lesi
kongenital pada jantung berupa lubang pada septum yang memisahkan ventrikel
sehingga terdapat hubungan antara antar rongga ventrikel (Ramaswamy, et al.
2009). Defek ini dapat terletak dimanapun pada sekat ventrikel, baik tunggal
atau banyak, serta ukuran dan bentuk dapat bervariasi (Fyler, 1996). Insidensi
DSV terisolasi adalah sekitar 2 – 6 kasus per 1000 kelahiran hidup dan terjadi
lebih dari 20% dari seluruh kejadian PJB. Defek ini lebih sering terjadi pada
wanita daripada pria (Ramaswamy, et al. 2009).
Klasifikasi DSV dibagi berdasarkan letak
defek yang terjadi, yaitu:
- Perimembranasea, merupakan lesi yang terletak tepat di bawah katup aorta. Defek Septum Ventrikel tipe ini terjadi sekitar 80% dari seluruh kasus DSV (Rao, 2005).
- Muskular, merupakan jenis DSV dengan lesi yang terletak di otot-otot septum dan terjadi sekitar 5 – 20% dari seluruh angka kejadian DSV (Ramaswamy, et al. 2009).
Gejala klinis DSV cukup bervariasi, mulai
dari asimtomatis, gagal jantung berat, ataupun gagal tumbuh. Semua ini sangat
bergantung kepada besarnya defek serta derajat piraunya sendiri, sedangkan
lokasi defek sendiri tidak mempengaruhi derajat ringannya manifestasi klinis
yang akan terjadi (Soeroso and Sastrosoebroto,1994). Pada DSV kecil dengan
pirau kiri-ke-kanan dan tekanan arteri pulmonalis yang normal, pasien biasanya
tidak menunjukkan gejala dan kelainan ditemukan ketika pemeriksaan fisik. Pada
defek berukuran besar dengan peningkatan aliran darah paru dan hipertensi
pulmonalis, pasien dapat mengalami dispnea, kesulitan makan, gangguan
pertumbuhan, infeksi paru berulang, dan gagal jantung pada awal masa bayi
(Bernstein, 2007).
Defek Septum Atrium
Defek Septum Atrium (DSA) adalah anomali
jantung kongenital yang ditandai dengan defek pada septum atrium akibat gagal
fusi antara ostium sekundum, ostium primum, dan bantalan endokardial. Defek
Septum Atrium dapat terjadi di bagian manapun dari septum atrium, tergantung
dari struktur septum atrium yang gagal berkembang secara normal (Bernstein,
2007).
Insidensi DSA adalah 1 per 1000 kelahiran
hidup dan terhitung 7% dari seluruh kejadian PJB. Prevalensi DSA pada wanita
lebih tinggi daripada pria dengan perbandingan 2:1 (Carr and King, 2008).
Klasifikasi DSA dibagi menurut letak
defek pada septum atrium, yaitu:
- Ostium Primum, merupakan hasil dari kegagalan fusi ostium primum dengan bantalan endokardial dan meninggalkan defek di dasar septum. Kejadian DSA Ostium Primum pada wanita sama dengan pria dan terhitung sekitar 20% dari seluruh kasus PJB (Bernstein, 2007).
- Ostium Sekundum, merupakan tipe lesi DSA terbanyak (70%) dan jumlah kasus pada wanita 2 kali lebih banyak daripada pria (Vick and Bezold, 2008).
- Sinus Venosus, merupakan salah satu jenis DSA yang ditandai dengan malposisi masuknya vena kava superior atau inferior ke atrium kanan. Insidensi defek ini diperkirakan 10% dari seluruh kasus DSA (Vick and Bezold, 2008).
Defek yang terjadi dapat berbagai jenis,
mulai dari yang berukuran kecil sampai sangat besar dan menyebabkan pirau dari
atrium kiri ke atrium kanan dengan beban volume lebih banyak di atrium dan
ventrikel kanan. Gejala pada anak dan neonatus umumnya asimtomatis, namun bila
pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak nafas dan sering mengalami
infeksi paru. Gagal jantung sangat jarang ditemukan (Soeroso and
Sastrosoebroto, 1994). Pada anak dengan pirau kiri-ke-kanan berukuran besar
biasanya mengeluhkan cepat lelah dan dispnea. Gagal tumbuh jarang didapati
(Emmanouilides, et al. 1998).
Defek Septum Atrioventrikularis
Defek Septum Atrioventrikularis (DSAV)
ditandai dengan penyatuan DSA dan DSV disertai abnormalitas katup
atrioventrikular (Bernstein, 2007).
Defek Septum Atrioventrikularis terhitung 4 – 5% dari seluruh kasus PJB.
Predileksi defek ini antara pria dan wanita sama banyaknya (Emmanouilides, et
al. 1998).
Gejala dapat timbul pada minggu pertama
dan gagal jantung pada bulan- bulan pertama kelahiran (Soeroso dan
Sastrosoebroto, 1994). Riwayat intoleransi olahraga, cepat lelah, dan Pneumonia
berulang dapat ditemukan, terutama pada bayi dengan pirau kiri-ke-kanan dan
mitral insufisiensi mitral yang berat (Bernstein, 2007).
Duktus Arteriosus Persisten
Seperti namanya, Duktus Arteriosus
Persisten (DAP) disebabkan oleh duktus arteriosus yang tetap terbuka setelah
bayi lahir (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Jika duktus tetap terbuka
setelah penurunan resistensi vaskular paru, maka darah aorta dapat bercampur ke
darah arteri pulmonalis (Bernstein, 2007).
Kelainan ini merupakan 7% dari seluruh
PJB dan sering dijumpai pada bayi BBLR (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Gejala klinis yang muncul tergantung
ukuran duktus. Duktus berukuran kecil tidak menyebabkan gejala dan biasanya
diketahui jika terdapat suara murmur saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada
pasien dengan DAP berukuran besar, pasien akan mengalami gejala gagal jantung.
Gangguan pertumbuhan fisik dapat menjadi gejala utama pada bayi yang menderita
DAP besar (Bernstein, 2007).
Kelompok
tanpa pirau meliputi:
Stenosis Pulmonalis
Obstruksi aliran keluar ventrikel kanan,
baik dalam tubuh ventrikel kanan, pada katup pulmonalis, atau dalam arteri
pulmonalis, diuraikan sebagai Stenosis Pulmonalis (SP). Stenosis Pulmonalis terjadi sekitar 7.1 – 8.1
per 100.000 kelahiran hidup. Defek ini cenderung terjadi pada wanita (Fyler,
1996).
Gejala klinis umumnya asimtomatis
meskipun stenosis cukup besar. Anak bisa saja tampak sehat, tumbuh kembang
normal dengan wajah moon face, dapat berolahraga seperti normal, dan tidak
terdapat infeksi saluran nafas yang berulang (Soeroso and Sastrosoebroto,
1994). Walaupun demikian, pasien yang awalnya tidak menunjukkan gejala dalam
perkembangan penyakitnya dapat timbul gejala yang bervariasi dari dispnea
ringan saat olahraga sampai gejala gagal jantung, tergantung keparahan
obstruksi dan tingkat kompensasi myokardium. Obstruksi sedang-berat dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah paru selama berolahraga sehingga terjadi
kelelahan yang diinduksi olahraga, sinkop, atau nyeri dada (Keane and St. John
Sutton, 2008).
Stenosis Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan
aorta yang dapat terjadi pada tingkat subvalvular, valvular, atau
supravalvular. Kelainan mungkin tidak terdiagnosis pada masa anak-anak karena
katup berfungsi normal, hanya saja akan ditemukan bising sistolik yang lunak di
daerah aorta dan baru diketahui pada masa dewasa sehingga terkadang sulit
dibedakan apakah stenosis aorta tersebut merupakan penyakit jantung bawaan atau
didapat (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Insidensi SA pada anak mendekati
5% dari seluruh kejadian PJB (Bernstein, 2007). Defek ini lebih sering terjadi
pada pria (Emmanouilides, et al. 1998).
Gejala klinis asimtomatis, namun pada
gejala yang cukup berat dapat ditemukan nyeri substernal, sesak nafas, pusing,
atau sinkop pada saat bekerja atau olahraga (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994).
Bayi dengan SA terisolasi dapat disertai denga gagal jantung kronik pada beberapa
bulan awal kehidupan dan menunjukkan tanda dan gejala klasik gagal jantung,
berupa dispnea, kesulitan makan, dan berat badan tidak bertambah
(Emmanouilides, et al. 1998)
Koarktasio Aorta
Koarktasio Aorta (KoA) adalah suatu
obstruksi pada aorta desendens yang terletak hampir selalu pada insersinya
duktus arteriosus (Fyler, 1996). Prevalensi KoA di Amerika Serikat adalah
sebesar 6 – 8% dari seluruh kasus PJB dan prevalensinya di Asia (<2%) lebih
rendah daripada di Eropa dan negara Amerika Utara. Rasio kejadian defek ini
pada pria dan wanita adalah 2:1 (Rao and Seib, 2009).
Gejala yang tampak pada masa neonatus
umumnya merupakan jenis koarktasio yang berat. Gejala dapat hilang timbul
mendadak. Tanda klasik KoA adalah nadi brakhialis yang teraba normal atau
meningkat, nadi femoralis serta dorsalis pedis teraba kecil atau tidak teraba
sama sekali dan harus ditekankan pemeriksaan tekanan darah pada keempat
ekstremitas (Soeroso and Sastrosoebroto, 1994). Pasien dapat menunjukkan gejala
di beberapa minggu awal kehidupan berupa kesulitan makan, takipnea, dan
letargia. Gejala dapat memburuk menjadi gagal jantung dan syok (Rao and Seib,
2009).
Tags
Darah dan Jantung