Terdapat beberapa teori pembuktian dalam
hukum acara pidana. Hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara
pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang
dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara yang mengajukan bukti
tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu
pembuktian.
Sumber-sumber
hukum pembuktian dalam hukum acara pidana adalah:
- Undang-Undang
- Doktrin atau ajaran
- Yurisprudensi
Dikaji dari perspektif sistem peradilan
pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/ strafprocessrecht)
pada khususnya, aspek “pembuktian” memegang peranan menentukan untuk menyatakan
kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. Hakim di dalam
menjatuhkan suatu putusan, tidak hanya dalam bentuk pemidanaan, tetapi dapat
juga menjatuhkan putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Putusan bebas akan dijatuhkan oleh hakim apabila pengadilan (hakim) berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atau
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Kemudian putusan lepas dari segala tuntutan hukum, akan dijatuhkan oleh hakim
apabila pengadilan (hakim) berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
Beberapa
teori pembuktian dalam hukum acara, yaitu:
Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh
penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian
kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan
keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil
dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim,
dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Kelemahan sistem pembuktian conviction-in
time adalah hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa
semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup.
Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya
terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan
kesalahan terdakwa. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati
dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu
besar, sehingga sulit diawasi.
Conviction-Raisonee
Sistem conviction-raisonee pun, “keyakinan
hakim” tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa.
Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam
sistem pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa
batas maka pada sistem conviction-raisonee, keyakinan hakim harus didukung
dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim harus mendasarkan putusan-putusannya
terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan (reasoning). Oleh karena itu
putusan juga bedasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable).
Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini disebut
juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan
keyakinannya (vrijs bewijstheorie).
Pembuktian menurut
undang-undang secara positif (positief wettelijke stelsel)
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian
dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang, yakni untuk membuktikan
salah atau tidaknya terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti
yang sah”. Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang,
sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim,
yakni apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi
masalah.
Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada
prinsip “penghukuman berdasar hukum”. Artinya penjatuhan hukuman terhadap
seseorang, semata-mata tidak diletakkan di bawah kewenangan hakim, tetapi
diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seorang terdakwa baru
dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar
terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem ini disebut teori pembuktian formal (foemele bewijstheorie).
Pembuktian menurut
undang-undang secara negative ( negatief wettelijke stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang
secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang
secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in
time. Sistem ini memadukan unsur “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan
salah atau tidaknya terdakwa, tidak ada yang paling dominan diantara kedua
unsur tersebut.
Terdakwa dapat dinyatakan bersalah apabila
kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan
alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian
kesalahan itu “dibarengi” dengan keyakinan hakim.
Berdasarkan
sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen untuk
menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, yaitu:
- Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
- Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah
sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative. Sistem pembuktian
negative diperkuat oleh prinsip “kebebasan kekuasaan kehakiman”. Namun dalam
praktik peradilannya, sistem pembuktian lebih mengarah pada sistem pembuktian
menurut undang-undang secara positif. Hal ini disebabkan aspek “keyakinan” pada
Pasal 183 KUHAP tidak diterapkan secara limitatif. Hal-hal yang secara umum
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Hal-hal yang secara umum sudah
diketahui biasanya disebut notoire feiten (Pasal 184 ayat (2) KUHAP).
Secara
garis besar fakta notoir dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
- Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian hal yang benarnya atau semestinya demikian.
- Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian.
Tags
Hukum